Mengenai Saya

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur didirikan pada tanggal 21 Pebruari 1961 dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 167/SK/XI/66. Tujuan Kami, Mengembangkan Perdagangan Internasional (Ekspor) , Menggiatkan Usaha Kecil dan Menengah ( UKM ) dan Industri, Optimalisasi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia , Meningkatkan Pendapatan Devisa Ekspor Non Migas. Visi dan Misi Kami, Meningkatkan Sumber Daya Manusia , Memperluas Jaringan Pemasaran , Meningkatkan Daya Saing di Pasar Global , Meningkatkan Nilai Tambah Produk Ekspor

05 Juni 2009

Ekspor Furnitur Menurun, Aturan Ekspor jangan Rugikan Daerah Penghasil Rotan


Asosiasi Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) mencatat penurunan produk ekspor furnitur Indonesia pada kuartal I 2009 mencapai 50 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Realisasi anjloknya ekspor ini jauh melampaui perkiraan sebelumnya yang sebesar 30 persen.
Situasi ekspor belum bangkit, pantauan di Surabaya, Semarang ekspor merosot ke 45 persen sampai 50 persen, di triwulan pertama, triwulan kedua nampaknya seperti itu,” kata Ketua Asmindo Jatim Johanes Sumarno.
Dengan kondisi ini, Sumarno sudah berulang kali menyampaikan bahwa dampaknya akan merambat ke pemutusan hubungn kerja (PHK) karyawan yang bergantung pada ekspor ini.
“Saya khawatir ada PHK di industri furnitur,” ucapnya.
Bahkan yang paling parah lagi, sekarang ini para pembeli pasar ekspor melakukan tindakan posisi tawar yang tinggi, dimana pembeli banyak yang menawar atau meminta diskon lebih rendah 30 persen dari harga tahun 2008.
Ekspor produk furnitur atau permebelan per tahun mencapai 2 miliar dolar AS, dan kerajinan mencapai 600 juta dolar AS, sehingga total ekspor anggota Asmindo mencapai 2,6 miliar dolar AS per tahun.
Dikatakan, Industri kerajinan rotan sedang dalam keadaan memprihatinkan, karena adanya pelemahan permintaan. Kondisi industri rotan semakin buruk. Ekspor belum bangkit, turunnya semakin tajam mencapai 45-50 peresen dan masih akan terus berlanjut.
Pengusaha asing, katanya, yang biasanya mengekspor hingga 30 kontainer per bulan turun menjadi 10 kontainer per bulan.
Menurutnya, permintaan para pembeli di Timur Tengah juga menurun. Padahal, sebelumnya pasar itu diharapkan dapat menjadi pasar alternatif.
Ekspor bahan baku rotan, katanya, juga sedang mengalami pelemahan, sehingga jika ekspor rotan ditutup, akan menyebabkan petani rotan semakin kesulitan dalam memasarkan produk rotannya.
Menurut dia, pemerintah dapat menutup keran ekspor rotan dengan catatan membuat buffer stock dengan menyangga seluruh rotan milik petani.
Padahal, katanya, untuk membuat buffer stock itu diperlukan dana Rp500 juta-Rp1 miliar.
Sebaliknya, jika ekspor rotan tetap diperbolehkan, harus ada wajib pasok ke terminal-terminal bahan baku rotan di dalam negeri.
Menurut dia, setiap terminal bahan baku rotan minimal seluas 1.500 hektare dengan kapasitas sedikitnya 200 ton.
Eksportir bahan baku rotan harus dibedakan izinnya dengan eksportir kerajinan rotan, agar tidak terjadi penyalahgunaan dengan menyelundupkan rotan mentah.
Pasokan rotan lebih banyak dibandingkan dengan kebutuhan, karena industri tidak dapat menyerap 100 persen rotan domestik. Apalagi, telah banyak rotan sintetis dari plastik yang mulai banyak digunakan para perajin.

Penghasil rotan
Rencana pemerintah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 12/M-DAG/Per/6/2005 tentang ketentuan ekspor rotan jangan malah merugikan daerah penghasil.
“Jika Mendag akan merevisi kebijakan ekspor rotan, dampaknya langsungnya ke daerah penghasil, yaitu turunnya harga rotan asalan dari petani dan ancaman pemutusan hubungan kerja akibat tutupnya industri pengelolaan setengah jadi,” katanya.
Dia mengemukakan rotan adalah komoditas hasil hutan yang 80 persen berada di hutan Indonesia. Dalam pengelolaan komoditas ini yang terkait langsung adalah mulai dari petani, pengumpul, hingga pabrik pengelolaan bahan baku rotan dan pabrik mebel rotan.
“Jadi bukan hanya satu aspek yang harus diperhatikan, melainkan harus semua yang terlibat dalam proses produksi rotan itu sendiri,” katanya.
Aturan Ekspor Rotan
Departemen Perdagangan mempersiapkan revisi Permendag No.12/M-DAG/PER/6/ 2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan, tetapi masih tetap membuka keran ekspor komoditas itu untuk periode Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 77.000 ton sama dengan tahun sebelumnya.
Kepala Sub Direktorat Ekspor Produk Kehutanan, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Departemen Perdagangan Lamsudin Sitindaon mengatakan, pihaknya juga mempersiapkan perkembangan realisasi ekspor rotan untuk dilaporkan ke presiden.
“Kami sedang membuat laporan kepada presiden tentang perkembangan ekspor rotan dan pasokan industri domestik. Menteri Perindustrian telah mengirimkan surat kepada presiden tentang keluhan industri kerajinan rotan,” ujarnya.
Dia membantah jika sebelum 2005, ekspor rotan dilarang, tetapi diperbolehkan untuk jenis tertentu.
Hal tersebut menyusul tuntutan pelaku industri rotan yang tergabung dalam Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) untuk merevisi peraturan tersebut agar keran ekspor rotan ditutup.
Depdag, katanya, sedang mempersiapkan laporan realisasi ekspor rotan selama periode Juli 2008-Juni 2009. Dia tidak dapat menjelaskan hal-hal yang akan direvisi dalam peraturan itu.
Pelaku industri rotan dalam negeri meminta agar keran ekspor rotan ditutup untuk menjamin ketersediaan bahan baku rotan.
Selama periode Juli 2008-Juni 2009, Depdag telah membatasi kuota ekspor rotan asalan jenis sega dan irit 25.000 ton, rotan setengah jadi dalam bentuk hati dan kulit rotan yang diolah dari jenis sega dan irit 16.000 ton.
Kuota ekspor rotan setengah jadi dalam bentuk rotan poles, hati dan kulit rotan yang diolah dari jenis bukan sega dan irit 36.000 ton.
Sekjen AMKRI Hatta Sinatra menilai, revisi permendag No. 12/M-DAG/PER/6/2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan tidak dapat memperbaiki industri kerajinan rotan, karena masih tetap memperbolehkan ekspor komoditas itu.
“Revisi itu bagi kami tidak ada artinya dan jalan di tempat. Substansinya tetap ekspor bahan baku rotan dilanjutkan,” ujarnya.
Menurut dia, jika masih tetap dibuka keran ekspor, pasokan untuk industri rotan di dalam negeri akan tetap sulit.
Dia mengungkapkan, bahan baku rotan merupakan bahan baku strategis yang harus dimanfaatkan demi kemajuan dan pertumbuhan industri barang jadi rotan nasional.
Hatta menambahkan revisi tersebut masih membolehkan ekspor dengan memberikan kuota ekspor periode Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 77.000 ton sama dengan periode Juli 2008-Juni 2009. (*)

Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar