Mengenai Saya

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur didirikan pada tanggal 21 Pebruari 1961 dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 167/SK/XI/66. Tujuan Kami, Mengembangkan Perdagangan Internasional (Ekspor) , Menggiatkan Usaha Kecil dan Menengah ( UKM ) dan Industri, Optimalisasi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia , Meningkatkan Pendapatan Devisa Ekspor Non Migas. Visi dan Misi Kami, Meningkatkan Sumber Daya Manusia , Memperluas Jaringan Pemasaran , Meningkatkan Daya Saing di Pasar Global , Meningkatkan Nilai Tambah Produk Ekspor

19 Maret 2009

Volume Susut, Nilai Ekspor NonMigas Jatim Naik




Akibat dampak krisis global, volume ekspor nonmigas Jatim pada Februari lalu sebesar 293 ribu ton atau menyusut 8,97 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Tapi, dari sisi nilai, ekspor nonmigas Jatim justru meningkat. Pada Februari lalu, nilai ekspor Jatim mencapai USD 523 juta atau meningkat 17,02 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
‘’Meski volumenya turun, nilai ekspor nonmigas Jatim naik. Itu, antara lain, dampak menguatnya nilai tukar dolar AS,’’ kata Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Disperindag Jatim Saiful Jasan beberapa waktu lalu.
Selain itu, dia menyebut saat ini para eksporter lebih selektif dalam mengirimkan barangnya ke luar negeri. ‘’Mereka kini cenderung mengekspor produk bernilai tinggi dan lebih menguntungkan. Sebab, hampir semua negara membatasi impor, terutama dari sisi kuantitas,’’ tuturnya.
Dia optimistis bulan ini nilai ekspor nonmigas Jatim bisa meningkat sekitar 15 persen dibandingkan Februari. Penurunan volume ekspor diprediksi akan berkurang. ‘’Persentase penurunan volume ekspor mulai berkurang. Ini pertanda baik bahwa ekspor akan berkembang bulan ini. Kami targetkan, volume ekspor bulan ini akan susut hanya sekitar 5 persen,’’ jelasnya.
Dia menilai saat ini kalangan eksporter mulai bisa menyesuaikan dengan keadaan. Buktinya, beberapa eksporter memilih komoditas lebih menguntungkan untuk dijual ke luar negeri.

redaksi

Dunia "Demam" Menjadi Proteksionis


Dunia saat ini sedang dihinggapi latah melakukan program stimulus ekonomi yang bertujuan untuk memaksimalkan penggunaan produk lokalnya masing-masing.
Termasuk Indonesia yang akan mengkampanyekan penggunaan produk lokal. Namun kampanye itu tidak lantas menjadikan Indonesia sebagai negara proteksionis.
Plt Menko Perekonomian dan Menkeu Sri Mulyani mengatakan, hari-hari ini dunia sedang dijangkiti finansial institusinya yang sedang sakit, ekonominya slowing down, industri turun, PHK naik, semua berlomba-lomba melakukan stimulus package untuk membeli produk dalam negeri.
Namun ia menegaskan, langkah Indonesia mengkampanyekan produk dalam negeri bukanlah upaya proteksionisme melainkan upaya waspada terhadap kondisi perkembangan dunia yang sedang berlangsung.
“Kita tidak menjadi prokteksionis tetapi we have waspada, tahun 2009 ini akan menjadi tantangan yang berat,” ucapnya. Sri Mulyani menjelaskan, saat ini semua negara
mulai memasang barikade karena mereka sudah tidak percaya diri terhadap dampak krisis dunia yang semakin parah.
“Kalau negara semua sakit, seperti depperin melakukan dorongan 2 hari lalu yaitu the return of economic nationalism pakai sepatu Indonesia, batik Indonesia, beli lah produk Indonesia, maka seluruh dunia pun sama. Hillary Clinton bilang pakailah produk Amerika, stimulus paket akan digunakan untuk membeli produk AS. Lalu Eropa marah, lalu ikut juga pakai produk Eropa jangan pakai produk lain,” paparnya panjang lebar.
“China juga melakukan yang sama, kalau AS nggak beli, tapi seluruh dunia sudah pakai produk China yah,” selorohnya.

Masih dalam Koridor WTO
Wacana kewajiban penggunaan produk dalam negeri khususnya untuk belanja pemerintah dan badan usaha milik negara (BUMN) dinilai masih dalam batas aturan WTO.
Upaya pemerintah menaikan pos tarif saat ini pun masih belum mencapai pada angka maksimal yang dilarang WTO yaitu hingga 40 persen.
Sementara, Deputi Menko Perekonomian Bidang Perindustrian dan Perdagangan Edy Putra Irawady mengatakan, bahwa upaya pemerintah dengan menerapkan penggunaan barang dalam negeri bagi keperluan pemerintah tidak ada kaitannya dengan proteksionisme dalam arti negatif.
“Itu masalah hak pemerintah sebagai pembeli, pemerintah itu punya dua badan sebagai otoriti dan pembeli seperti di Amerika itu ada internal order,” kata Edy.
Selain itu, dalam ketentuan organisasi perdagangan dunia (WTO) Indonesia tidak ikut dalam kesepakatan government procurement agreement karena Indonesia hanya mengikuti ketentuan umum WTO.
“Hanya 13 negara yang teken. Jadi tidak ada urusan dengan WTO, di Asia hanya Singapura,” ucapnya.
Dikatakannya dalam ketentuan umum anggota WTO yang berada di luar kesepakatan 13 negara tadi. Masing-masing negara bisa melakukan upaya proteksi halal atau yang dibolehkan WTO.
Dalam schedule 21 WTO masing-masing negara mempunyai jadwal ketentuan tarif yang akan diterapkannya. Misalnya ia mencontohkan untuk ketentuan yang masih dibolehkan oleh WTO yaitu batas tarif maksmal sampai 40 persen.
Bahkan langkah proteksionisme masih bisa dibolehkan dengan skema safeguard, anti dumping, anti subsidi dan beberapa pembatasan dengan alasan lingkungan, masalah moral dan perlindungan terhadap konsumen.
“Proteksionisme itu hak kita, untuk kepentingan nasional, konsumen, kesehatan, keamanan, untuk melindungi perbutan curang dan ilegal. Ini lebih pada perlindungan sesuai dengan WTO, masih dengan koridor WTO,” jelas Edy.

Tak Perlu Takut
Aksi proteksionisme AS terhadap produk lokalnya yang digelar dalam program ‘Buy American’ memang tidak terhindarkan dalam kondisi krisis. Indonesia yang lebih miskin dari AS pun seharusnya tidak takut melakukan proteksi barang lokalnya.
Indonesia sedang menggalakkan regulasi penggunaan produk dalam negeri dan kampanye-kampanye lain yang serupa. Namun Menteri Perindustrian Fahmi Idris membantah kalau kampanye produk lokal itu meniru proteksi AS dengan program Buy American.
Diakui Fahmi, proteksionisme yang dilakukan oleh banyak negara saat ini tidak bisa terhindarkan. Negara Amerika yang begitu liberal pun melakukan upaya semacam ini dengan menggalakan gerakan buy American.
Meski telah banyak diprotes oleh anggota WTO, namun Fahmi melihat Amerika begitu cueknya, padahal negeri Paman Sam ini terkenal sebagai negara yang sangat liberal dibidang ekonomi bahkan sebagai kiblatnya liberalisme.
“Jadi kita bukan meniru Amerika, Amerika justru meniru dari kita. AS sangat-sangat proteksioanisme, bayangkan rajanya kapitalisme sekarang mengubah haluan, orang-orang pada marah AS tenang-tenang saja,” tandas Fahmi.
Menurut Fahmi, saat ini masing-masing negara melakukan upaya-upaya dalam mengatasi krisis global, termasuk Indonesia pun melakukannya.
“Bailout itu juga merupakan bentuk dari proteksionistis,” ucap Fahmi.
Indonesia juga tidak bisa terhindari melakukan upaya semacam ini, dan Indonesia tidak akan takut melakukannya karena setiap negara memiliki kepentingannya masing-masing.
“Indonesia ini yang masih miskin, masih lemah kalau tidak melakukan semacam itu kelewatan bener, Amerika saja begitu,” ujarnya.

Redaksi

Buyer

18 Maret 2009

Ekspor Karet Indonesia Turun



Pengurangan volume ekspor karet telah melebihi angka yang ditetapkan oleh International Tripartite Rubber Council (ITRC), sehingga kinerja ekspor tidak berjalan optimal.
Direktur Ekspor Komoditas Hasil Pertanian dan Kehutanan Ditjen Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan Yamanah A.C mengatakan, efektivitas pelaksanaan pengurangan volume ekspor karet (Agree Export Tonage Scheme/AETS) belum optimal.
“Masih nunggu SK Menteri Perdagangan tentang pengurangan volume ekspor karet tahun ini. Jadi, belum melibatkan Bea dan Cukai,” ujarnya.
Peraturan itu akan mengatur mekanisme pengurangan volume ekspor karet tahun ini menyusul pengurangan oleh International Tripartite Rubber Council (ITRC) selama tahun ini sebesar 915.000 ton.
Total pengurangan sebesar 915.000 ton terdiri dari 700.000 ton melalui skema kesepakatan ketiga negara (AETS), sedangkan 215.000 ton dampak dari peremajaan pohon karet dengan penebangan karet yang dinilai telah tua dan tidak produktif lagi.
Indonesia mendapatkan alokasi pengurangan volume ekspor sebanyak 116.000 ton pada kuartal I/2009.
Pada kuartal I/2009, Indonesia memangkas volume ekspor sebanyak 116.000 ton. Pada Januari dipangkas sebanyak 45 persen atau sebesar 52.200 ton, selama Februari 35 persen atau sebesar 40.600 ton dan selama Maret 25 persen atau sebanyak 29.000 ton.
Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) yang ditunjuk sebagai National Tripartite Rubber Council (NTRC) oleh pemerintah bertugas untuk mengatur alokasi volume ekspor anggotanya.
Gapkindo memberikan alokasi ekspor kepada setiap perusahaan atau eksportir berdasarkan realisasi ekspor selama 2008. Pengurangan ekspor dilakukan setiap bulan dan jika realisasi ekspor suatu perusahaan dalam sebulan lebih rendah, mekanismenya diatur Depdag.
“Bukan kuota, melainkan alokasi ekspor. Misalkan realisasi suatu perusahaan lebih rendah dari jatah yang diberikan, maka ada mekanismenya. Saya tidak dapat menyebutkan mekanisme itu,” ujar Direktur Eksekutif Gapkindo Suharto Honggokusumo.
Dia mengatakan selama Januari 2009, Indonesia telah mengurangi volume ekspor karet lebih dari 52.200 ton.
Menurut Suharto, rendahnya realisasi volume ekspor akan mendongkrak harga karet di pasar internasional. “Kalau yang realisasinya rendah ya bagus untuk mendongkrak harga.”

Redaksi

Pengusaha Keramik Memerlukan Kredit Perbankan


Pelaku industri keramik yang tergabung dalam Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) menyayangkan perilaku perbankan yang kurang perhatian terhadap sektor ini.
“Perbankan masih memilih-milih dalam pemberian kreditnya. Kenapa lembaga perbankan tidak melihat sektor komoditas seperti ini yang punya market sendiri. Kita menghasilkan Rp 15 triliun sendiri untuk negara, tetapi kenapa perbankan tidak melihat industri ini, itulah yang membuat kita kecewa,” kata Ketua umum Asaksi Achmad Wijaya disela-sela acara seminar di Jakarta.
Achmad mengatakan, proses lembaga perbankan di Indonesia sangat kaku dalam hal menunjang sektor riil.
“Kita mengharapkan pemerintah untuk melanjutkan proporsi yang saat ini masih baik agar tidak turun, perbankan juga harus ikut berpartisipasi agar memberikan pinjaman,” katanya.
Pinjaman tersebut menurutnya diperlukan agar pelaku industri keramik dapat mengembangkan tempat usahanya. Dia juga optimistis ekonomi akan segera pulih setelah paket stimulus di seluruh negara berjalan.
“Kita mempunyai pegangan bahwa ekspor akan kembali. Kenapa ekspor akan kembali. Karena stimulus yang dijanjikan diseluruh dunia itu kalau mengucurnya sama-sama maka ekonomi pun akan bergerak,” katanya.
Achmad menjelaskan, industri keramik sebagai industri komoditas, dan sampai hari ini 80 persen industri masih jalan terus.
“Tidak turun, walaupun ekspor disaat sekarang masih banyak hambatan, tetapi di tiga benua Australia, Amerika dan Inggris tidak ekspor, namun kita punya pasar yang disebut emerging market atau secondary ASEAN contoh Myanmar, Kamboja, Srilanka, dan pasar sendiri yang masih dikembangkan,” katanya.
Menurut Achmad, porsi domestik masih baik karena ada 2 titik yang disebut market renovasi, dan untuk pasar proyek. Ada daerah dimana pengembangan rumah susun sederhana yang memakan volume keramik lebih banyak dibanding mall, kantor dan hotel.
“Namun yang sampai detik ini tidak membantu kita adalah lembaga perbankan dan masih memilih-milih, tidak menurunkan suku bunga dan sedikit pinjaman baru, makanya secara makro dan mikro tidak berjalan,” tukas Achmad.

Bahan Baku
Industri keramik dalam negeri terancam kekurangan bahan baku. Hal itu dipicu adanya spekulan bahan baku keramik yang mengekspor ke luar negeri memanfaatkan momentum lonjakan harga.
Ekspor bahan baku keramik mencapai 20 persen dari total kapasitas terpasang industri 330 juta meter persegi.
Achmad Wijaya pun memprediksi hingga tahun 2010, bahan baku industri keramik bisa defisit sebesar 20 juta ton per tahun.
“Kami meminta pada Depdag terutama Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia untuk menghentikan kegiatan eskpor bahan baku,” ujarnya.
Aktifitas ekspor bahan baku semacam ini sudah terjadi sejak lima tahun terakhir terutama untuk bahan baku tanah liat, silika, pemutih, silikon, kaolin, dan lain-lain.
Bahan baku tersebut selama ini diekspor ke berbagai negara, seperti China, Thailand, Vietnam, dan Taiwan.
“Pemerintah seharusnya mengeluarkan instruksi untuk mempidanakan oknum yang mengekspor bahan baku ilegal dan mencabut izinnya,” ujarnya.
Mengenai ekspor produk keramik, tahun ini ditargetkan mencapai 350 juta dolar AS, hingga semester I-2008 nilai ekspor mencapai 150 juta dolar AS dengan negara tujuan ekspor utama di negara Asia dan Eropa.
“Selama ini memang ada kecenderungan peningkatan ekspor karena adanya kebijakan bea masuk dan kebijakan safeguard yang telah diterapkan beberapa tahun terakhir,” ujarnya.
Keramik Eropa
Produsen keramik tableware asal Inggris yang telah berumur 250 tahun, yakni Wedgwood mencoba pasar keramik untuk kalangan atas di Indonesia.
Wedgewood merupakan group usaha Royal Doulton Inggris. Brand Ambassador Wedgwood Ceramics International Thomas Rowland Wedgwood mengatakan keramik premium Wedgwood adalah satu-satunya produk keramik untuk kalangan atas.
“Kami melihat gaya hidup masyarakat Indonesia terus mengikuti lifestyle. kami sebagai produsen yang memiliki reputasi kelas atas di dunia tertarik untuk ikut serta menggarap pasar konsumen kelas atas di sini agar bisa menikmati fungsi, keindahan dan perpaduan seni keramik ala Eropa,” ujarnya.
Di Singapura, Wedgwood telah memiliki gerai sebanyak 2 toko, Malaysia 1, Jepang 2, Amerika Serikat 600, dan China 16.
Direktur PT Multifortuna Sinar Delta Lisa Atmadiredja, yang distributor tunggal keramik premium Wedgwood mengatakan dengan dibukanya gerai pihaknya menargetkan penjualan sekitar Rp 250 juta per bulan. “Di gerai ini, harga keramik jenis soup tureen adalah yang termahal atau mencapai Rp 8 juta per buah, sementara piring cake ada yang seharga Rp400.000 per buah,” kata Lisa. Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik (Asaki) Achmad Widjaya mengatakan penjualan sektor keramik premium di Indonesia masih mengandalkan produk impor untuk menjaga kualitas dan kepercayaan konsumen eksklusif.

Redaksi

Ekspor Tekstil 2009 bakal Turun


Pemerintah memperkirakan ekspor tekstil 2009 akan masih berada di kisaran 8 miliar dolar AS atau turun dari 2008 yang sebesar 10,8 miliar dolar AS. Hal ini menyusul melemahnya ekonomi negara-negara tujuan ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT).
Hal ini berbeda dengan optimistis kalangan pengusaha yang memperkirakan ekspor TPT akan mengalami kenaikan ekspor dari 10,7 miliar dolar AS di 2008 menjadi 11,07 miliar dolar AS pada 2009.
“Ekspor tahun 2008 sekitar 10,7 miliar dolar AS, memang belum bisa direka masih dilakukan berbagai-bagai pembicaraan pasti berkurang, cuma berkurangnya jadi berapa belum bisa dilihat. Banyak yang memperkirakan, kalau pun berkurang tidak di bawah angka 8 (8 miliar dolar AS),” kata Menteri Perindustrian Fahmi Idris.
Fahmi menjelaskan meskipun sekarang ini terjadi krisis namun permintaan kebutuhan pokok seperti TPT di negara-negara maju akan masih ada meski secara volume akan berkurang.
“Walaupun terkena krisis bagaimana pun produk yang penting mereka tidak bisa menghindari misal makanan, termasuk pakaian, paling jumlahya yang dikurangi, namun membeli pakaian bagi negara iklim 4 tidak bisa dihindari,” paparnya.
Ia mencontohkan untuk negara-negara seperti Jepang terkenal sebagai pasar yang menerapkan selera tinggi bagi TPT, kualitas tinggi dan perubahan mode yang cepat.
Sehingga kata dia untuk bisa menggenjot ekspor, pasar potensial Jepang harus digenjot.
“Selera pasar harus diikuti selera pasar, kita tidak bisa mendikte selera dan kemauan pasar,” ucapnya.
Seperti diketahui Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat bahwa ekspor TPT tahun 2008 mencapai 10,8 miliar dolar AS dengan target ekspor pada 2009 11,07 miliar dolar AS.

Langkah Pengamanan
Untuk mengamankan sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Departemen Perindustrian telah menyiapkan 3 langkah yakni pengamanan pasar dalam negeri, peningkatan daya saing dan mendorong ekspor.
Langkah-langkah ini diharapkan bisa meredam dampak krisis global terhadap sektor TPT yang sangat rentan terhadap gejolak krisis.
Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengatakan, untuk pengamanan pasar yaitu dalam rangka penggunaan bahan baku dalam negeri, Depperin mengusulkan adanya pemberian insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) bagi industri garmen yang membeli kain tekstil produksi lokal.
Selain itu, Depperin juga mengusulkan kewajiban menggunakan produksi dalam negeri antara lain untuk pengadaan pakaian seragam pemerintah, kain furnitur, gorden, karpet, serta tekstil kebutuhan rumah sakit dan lain-lain.
Untuk mempermudah pengawasan produk TPT lokal dan ilegal di pasar dalam negeri khususnya batik, Depperin akan menerapkan penggunaan label batik merek “Batik Indonesia” bagi batik cap, tulis, kombinasi cap dan tulis dalam negeri. Hal ini untuk membedakan dengan batik printing.
Sedangkan untuk meningkatkan daya saing industri, Depperin berusaha akan mempertahankan tarif energi untuk sektor TPT hulu dan antara yang nilai biaya energinya sekitar 14 persen sampai 17,5 persen dengan penghapusan ketentuan tarif multi guna dan penalti daya maksimal plus.
Kebijakan itu juga ditujukan bagi industri padat karya lainnya yang proses produksinya berlangsung secara terus menerus 24 jam.
Depperin akan mengusulkan dilanjutkannya restrukturisasi mesin industri TPT sebesar Rp 255 miliar yang merupakan bagian dari alokasi program restrukturisasi permesinan yang totalnya sebesar Rp 360 miliar. “Kami juga meminta biaya Terminal Handling Charge (THC) ditinjau kembali,” serunya.
Fahmi mengatakan biaya THC yang sebesar 113 dolar AS per kontainer 20 kaki seharusnya diturunkan menjadi 50 dolar AS. Sedangkan untuk kontainer 40 kaki yang tadinya sebesar 157 dolar AS menjadi 97 dolar AS. Sistem pembayarannya juga diusulkan memakai mata uang rupiah.
“Tarif PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) yang irasional harus ditinjau. Di beberapa daerah PBB-nya 1,5 hingga 1,8 kali NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) dan tidak seragam dalam satu daerah,” jelasnya.
Untuk mendorong ekspor TPT, Depperin mengusulkan jaminan asuransi terhadap kegiatan ekspor termasuk dari Askrindo, Bank Exim, meminta perbankan menyediakan cadangan untuk membiayai modal kerja untuk persedian bahan baku.
Dikatakannya, krisis ekonomi global telah melemahkan ekspor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia karena menurunnya permintaan pasar. Sementara itu, pasar domestik juga terganggu akibat masuknya produk impor secara legal maupun ilegal dari negara pesaing ekspor Indonesia seperti China.
Industri TPT merupakan industri andalan ekspor yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Pada 2007, jumlah tenaga kerja sektor TPT mencapai 1,234 juta orang di luar industri skala kecil dan rumah tangga. Sekitar 75 persen produksinya di ekspor dengan tujuan utama Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang.
Dikatakannya harga bahan baku TPT mengalami fluktuasi tajam sehingga menyulitkan industri dalam membuat perencanaan bisnis dan tidak adanya stabilitas harga jual produknya.
“Pembeli cenderung menekan harga bahkan untuk produk yang sedang dikapalkan. Harga serat kapas yang sudah dibeli secara kontrak turun drastis dari 96 sen dolar AS menjadi 52 sen dolar AS,” jelasnya.

Kredit Permesinan
Pengusah tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri mendesak Jepang untuk segera mempertimbangkan kemudahaan pembiayaan kredit permesinan tekstil buatan Jepang. Mengingat ekspor mesin tekstil buatan Jepang anjlok 25 persen pada tahun 2008 akibat krisis.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno usai acara seminar pasar tekstil Jepang di Departemen Perindustrian (Depperin), Jakarta, belum lama ini.
“Perlu upaya penjajakan skema pembiayaan yang memberi kemudahan finansial bagi pengusaha tekstil Indonesia untuk membeli produk mesin dari Jepang,” katanya.
Pemberian skema keringanan pembiayaan mesin tekstil menurut Benny sangat penting, karena saat ini banyak mesin-mesin di Industri tekstil lokal sudah banyak yang tua.
Sedangkan dari sisi Jepang, dengan adanya skema kemudahaan pembiayaan pembelian mesin termasuk dengan memberikan potongan kredit akan membantu menjual mesin-mesin mereka yang tidak laku sehingga bisa menekan pemutusan hubungan kerja (PHK) di Jepang.
“Bagi Jepang tentunya akan membantu kinerja ekspor mesin tekstil, bagi Indonesia membantu program restrukturisasi mesin tekstil Indonesia,” ucapnya.
Seperti diketahui pada tahun 2008 lalu, banyak produk-produk Jepang yang menumpuk tidak ada yang membeli sebagai dampak krisis global. Misalnya untuk kendaraan bermotor turun 3,7 persen, produk elektronika turun 9,3 persen, produk mesin turun 4,3 persen dan khusus mesin tekstil turun tajam hingga 25,7 persen.
“Apabila kerjasama ini bisa dilakukan akan menyelamatkan industri mesin Jepang sendiri. Mesin tekstil kalau dia kasih kita, pasarnya di kita, dan bisa menekan PHK disana,” seru Benny.

Redaksi

Disepakati Perdagangan Bebas ASEAN - Australia - New Zealand


Sejumlah 98,10 persen produk ekspor Indonesia akan menikmati tarif 0 persen di Australia pada 2010 menyusul berlaku efektifnya perjanjian perdagangan bebas Asean-Australia dan Selandia Baru (AANZ-FTA).
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan untuk tahun pertama berlakunya perjanjian itu, Oktober 2009, sebanyak 93 persen dari ekspor Indonesia akan masuk ke pasar Australia dengan bea masuk 0 persen, sedangkan untuk pasar Selandia Baru terdapat 78,8 persen dari total ekspor Indonesia ke negara itu.
Pada tahun berikutnya 2010, bea masuk 0 persen akan dinikmati 98,1 persen total ekspor Indonesia dan 79,95 persen untuk pasar Selandia Baru.
“Itu merupakan komitmen dari Australia dan Selandia Baru,” ujarnya, belum lama ini.
Indonesia, katanya, memberikan komitmen untuk membebaskan bea masuk 0 persen terhadap kurang lebih 85 persen dari pos tarif negara itu secara bertahap dalam jangka waktu 2009-2014 (normal track).
“Mitra negosiasi kita lebih maju jadi kita punya waktu 5 tahun untuk menurunkan bea masuk yang 85 persen itu. Setiap tahun, akan kita turunkan 17 persen,” tuturnya.
Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional Departemen Perdagangan Gusmardi Bustami mengatakan, perundingan tersebut akan berlaku efektif pada Juli tahun ini.
“Implementasi AANZ-FTA bergantung pada kecepatan ratifikasi dari 12 negara yang masuk dalam perundingan tersebut.”
Pada tahun ini, terdapat beberapa produk impor dari Australia yang akan mendapatkan bea masuk 0 persen, di antaranya binatang hidup termasuk sapi, ikan, udang, mentega, telur, keju, pohon-pohon hidup, garam lainnya, bunga potong, produk plastik, produk kulit, dan produk karet. Sebelumnya, produk impor tersebut dikenakan bea masuk 5 persen-10 persen.
Untuk beberapa produk, seperti sapi hidup dan susu, penurunan bea masuk akan dikenakan 2017 hingga 2020 (termasuk produk sensitif).
Australia, katanya, akan mempercepat penurunan bea masuk untuk tekstil dan produk tekstil (TPT) dan sepatu yang kini dikenakan bea masuk 5 persen-17,5 persen, dari 2012-2020 menjadi 2009-2015.
Penurunan bea masuk yang lebih cepat bagi produk Indonesia dibandingkan dengan komitmen Australia kepada Malaysia dan Thailand juga terhadap 25 produk otomotif.
Mendag berharap dengan dimulainya negosiasi ini, Australia dan Selandia Baru melihat Indonesia tidak hanya sebagai pasar, tetapi juga sebagai basis produksi untuk pasar Asean.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Elektronika Indonesia Rahmat Gobel menuturkan, kerja sama tersebut akan mendorong pertumbuhan industri di Tanah Air.
Pasalnya, Australia memiliki standar kualitas yang tinggi terhadap produk yang masuk ke negaranya. “Ini bisa menjadi dorongan bagi kita untuk meningkatkan kualitas produk agar layak masuk pasar negara itu.”
Ekspor Naik 5 Persen
Ketua Joint Feasibility Study Indonesia-Australia FTA Mochtar mengatakan, hasil studi kelayakan bersama (joint feasibility study) menyimpulkan kerja sama bilateral tersebut akan meningkatkan volume ekspor sebesar 5 persen dan akan menyumbangkan 0,5 persen terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) setelah diimplementasikannya Asean-Australia FTA (AANZ-FTA).
Selain kerja sama regional dalam kerangka Asean-Asutralia dan Selandia Baru, Indonesia juga akan menjalin kerja sama bilateral perdagangan bebas dengan Australia dan Selandia Baru.

Produk Elektronik
Penerapan kerjasama perdagangan bebas ASEAN Australia-New Zealand Free Trade Agreement (FTA) pada Oktober 2009 diharapkan bisa menjadi sarana menembus pasar Australia bagi produk-produk andalan Indonesia termasuk produk elektronik.
Ketua Umum Gabungan Elektronik Indonesia (Gabel) Rachmat Gobel mengatakan Indonesia berpotensi mengambil kue pasar produk elektronik asal China di pasar Australia yang selama ini sudah bercokol di Australia.
“Seperti diketahui produk China banyak beredar di Australia. Kerjasama ini diharapkan bisa mulai mengambil posisi karena pasti lebih murah impor dari kita dari pada dari China,” ucap Rachmat.
Selama ini kata dia, standar kualitas produk yang bisa masuk ke pasar Australia terbilang tinggi, sehingga diharapkan bisa mendorong peningkatan kualitas produk elektronik Indonesia.
Sementara itu Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan kerangka kerjasama perdagangan bebas termasuk dengan Australia dan New Zealand bisa menjadi penyeimbang penetrasi pasar antara negara-negara lainnya termasuk China.
“Penyelesaian perundingan ini memiliki arti strategis bagi ASEAN dan khususnya Indonesia karena dapat menyeimbangkan persaingan antara ASEAN dan RRT dalam memasuki pasar Australia dan New Zealand,” tambah Mari.

Produk Kertas
Direktur Penjualan dan Pemasaran Riau Andalan Pulp dan Paper (RAPP) Kusnan Rahmin mengatakan, bea masuk 0 persen tentunya menguntungkan, produk kertas kita akan lebih bisa bersaing.
Departemen Perdagangan mencatat jumlah ekspor produk kertas Indonesia ke Australia per tahunnya bisa mencapai 150 juta dolar AS. Diharapkan dengan adanya pembebasan bea masuk akan semakin memperkuat nilai ekspor.
Kusnan menambahkan, meski Indonesia mendapat fasilitas pembebasan tarif bea masuk, namun Indonesia masih berpotensi terkena penerapan anti dumping produk kertas yang bisa mencapai bea masuk tambahan 27 persen sampai 30 persen.
“Setiap tahunnya Australia mengevaluasinya, mereka selalu cek,” katanya.

Kertas Murah Asal Eropa
Indonesia mewaspadai limpahan produk kertas murah asal Eropa menyusul banyaknya perusahaan-kertas di negara Eropa, Skandinavia dan Amerika Utara yang tutup akibat krisis global.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Penjualan dan Pemasaran Riau Andalan Pulp dan Paper (RAPP) Kusnan Rahmin dalam acara orientasi wartawan kehutanan, Masa Depan Industri Kehutanan di Tengah Krisis Finansial Global, di Bogor, pekan lalu.
“Sekarang kertas dari perusahaan-perusahaan Eropa yang tutup dikirim kemana-mana produknya, kita mau bilang dumping, tapi perusahann sudah mati,” ungkapnya.
Ia memperkirakan harga produk-produk kertas tersebut lebih murah sampai 20 persen, jumlahnya bisa mencapai puluhan ribu ton yang berasal dari nagara-negara Skandinavia dan Amerika.
Penutupan pabrik-pabrik kertas tersebut, kata dia, telah berdampak bagi Industri kertas mentah (pulp) dalam negeri sehingga permintaan pulp akan turun. Namun dari sisi produk jadi kertas (paper) justru menjadi keuntungan karena mengurangi persaingan.
“Maka saingan kita berkurang untuk kertas, tapi secara pulp kita kehilangan pasar karena pabrik tutup di Eropa dan AS,” jelasnya.
Harga pulp pada tahun ke depan diperkirakan akan masih terus turun karena imbas krisis. Namun kata dia, khusus untuk RAPP akan tetap memfokuskan pasar China yang selama ini menjadi negara konsumen kertas terbesar di dunia.
“Untuk China permintaan lumayan tinggi meski krisis global, semakin tinggi penduduk maka konsumsi kertas pun semakin tinggi,” ujarnya.
Pada tahun 2007 jumlah permintaan kertas mencapai 38,7 juta ton, diantaranya 7,05 juta diserap oleh China, Jepang, 3,1 juta ton, ASEAN (5) 1,4 juta ton, India 0,89 juta ton dan lain-lain.

Redaksi
Sejumlah 98,10 persen produk ekspor Indonesia akan menikmati tarif 0 persen di Australia pada 2010 menyusul berlaku efektifnya perjanjian perdagangan bebas Asean-Australia dan Selandia Baru (AANZ-FTA).
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan untuk tahun pertama berlakunya perjanjian itu, Oktober 2009, sebanyak 93 persen dari ekspor Indonesia akan masuk ke pasar Australia dengan bea masuk 0 persen, sedangkan untuk pasar Selandia Baru terdapat 78,8 persen dari total ekspor Indonesia ke negara itu.
Pada tahun berikutnya 2010, bea masuk 0 persen akan dinikmati 98,1 persen total ekspor Indonesia dan 79,95 persen untuk pasar Selandia Baru.
“Itu merupakan komitmen dari Australia dan Selandia Baru,” ujarnya, belum lama ini.
Indonesia, katanya, memberikan komitmen untuk membebaskan bea masuk 0 persen terhadap kurang lebih 85 persen dari pos tarif negara itu secara bertahap dalam jangka waktu 2009-2014 (normal track).
“Mitra negosiasi kita lebih maju jadi kita punya waktu 5 tahun untuk menurunkan bea masuk yang 85 persen itu. Setiap tahun, akan kita turunkan 17 persen,” tuturnya.
Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional Departemen Perdagangan Gusmardi Bustami mengatakan, perundingan tersebut akan berlaku efektif pada Juli tahun ini.
“Implementasi AANZ-FTA bergantung pada kecepatan ratifikasi dari 12 negara yang masuk dalam perundingan tersebut.”
Pada tahun ini, terdapat beberapa produk impor dari Australia yang akan mendapatkan bea masuk 0 persen, di antaranya binatang hidup termasuk sapi, ikan, udang, mentega, telur, keju, pohon-pohon hidup, garam lainnya, bunga potong, produk plastik, produk kulit, dan produk karet. Sebelumnya, produk impor tersebut dikenakan bea masuk 5 persen-10 persen.
Untuk beberapa produk, seperti sapi hidup dan susu, penurunan bea masuk akan dikenakan 2017 hingga 2020 (termasuk produk sensitif).
Australia, katanya, akan mempercepat penurunan bea masuk untuk tekstil dan produk tekstil (TPT) dan sepatu yang kini dikenakan bea masuk 5 persen-17,5 persen, dari 2012-2020 menjadi 2009-2015.
Penurunan bea masuk yang lebih cepat bagi produk Indonesia dibandingkan dengan komitmen Australia kepada Malaysia dan Thailand juga terhadap 25 produk otomotif.
Mendag berharap dengan dimulainya negosiasi ini, Australia dan Selandia Baru melihat Indonesia tidak hanya sebagai pasar, tetapi juga sebagai basis produksi untuk pasar Asean.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Elektronika Indonesia Rahmat Gobel menuturkan, kerja sama tersebut akan mendorong pertumbuhan industri di Tanah Air.
Pasalnya, Australia memiliki standar kualitas yang tinggi terhadap produk yang masuk ke negaranya. “Ini bisa menjadi dorongan bagi kita untuk meningkatkan kualitas produk agar layak masuk pasar negara itu.”
Ekspor Naik 5 Persen
Ketua Joint Feasibility Study Indonesia-Australia FTA Mochtar mengatakan, hasil studi kelayakan bersama (joint feasibility study) menyimpulkan kerja sama bilateral tersebut akan meningkatkan volume ekspor sebesar 5 persen dan akan menyumbangkan 0,5 persen terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) setelah diimplementasikannya Asean-Australia FTA (AANZ-FTA).
Selain kerja sama regional dalam kerangka Asean-Asutralia dan Selandia Baru, Indonesia juga akan menjalin kerja sama bilateral perdagangan bebas dengan Australia dan Selandia Baru.

Produk Elektronik
Penerapan kerjasama perdagangan bebas ASEAN Australia-New Zealand Free Trade Agreement (FTA) pada Oktober 2009 diharapkan bisa menjadi sarana menembus pasar Australia bagi produk-produk andalan Indonesia termasuk produk elektronik.
Ketua Umum Gabungan Elektronik Indonesia (Gabel) Rachmat Gobel mengatakan Indonesia berpotensi mengambil kue pasar produk elektronik asal China di pasar Australia yang selama ini sudah bercokol di Australia.
“Seperti diketahui produk China banyak beredar di Australia. Kerjasama ini diharapkan bisa mulai mengambil posisi karena pasti lebih murah impor dari kita dari pada dari China,” ucap Rachmat.
Selama ini kata dia, standar kualitas produk yang bisa masuk ke pasar Australia terbilang tinggi, sehingga diharapkan bisa mendorong peningkatan kualitas produk elektronik Indonesia.
Sementara itu Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan kerangka kerjasama perdagangan bebas termasuk dengan Australia dan New Zealand bisa menjadi penyeimbang penetrasi pasar antara negara-negara lainnya termasuk China.
“Penyelesaian perundingan ini memiliki arti strategis bagi ASEAN dan khususnya Indonesia karena dapat menyeimbangkan persaingan antara ASEAN dan RRT dalam memasuki pasar Australia dan New Zealand,” tambah Mari.

Produk Kertas
Direktur Penjualan dan Pemasaran Riau Andalan Pulp dan Paper (RAPP) Kusnan Rahmin mengatakan, bea masuk 0 persen tentunya menguntungkan, produk kertas kita akan lebih bisa bersaing.
Departemen Perdagangan mencatat jumlah ekspor produk kertas Indonesia ke Australia per tahunnya bisa mencapai 150 juta dolar AS. Diharapkan dengan adanya pembebasan bea masuk akan semakin memperkuat nilai ekspor.
Kusnan menambahkan, meski Indonesia mendapat fasilitas pembebasan tarif bea masuk, namun Indonesia masih berpotensi terkena penerapan anti dumping produk kertas yang bisa mencapai bea masuk tambahan 27 persen sampai 30 persen.
“Setiap tahunnya Australia mengevaluasinya, mereka selalu cek,” katanya.

Kertas Murah Asal Eropa
Indonesia mewaspadai limpahan produk kertas murah asal Eropa menyusul banyaknya perusahaan-kertas di negara Eropa, Skandinavia dan Amerika Utara yang tutup akibat krisis global.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Penjualan dan Pemasaran Riau Andalan Pulp dan Paper (RAPP) Kusnan Rahmin dalam acara orientasi wartawan kehutanan, Masa Depan Industri Kehutanan di Tengah Krisis Finansial Global, di Bogor, pekan lalu.
“Sekarang kertas dari perusahaan-perusahaan Eropa yang tutup dikirim kemana-mana produknya, kita mau bilang dumping, tapi perusahann sudah mati,” ungkapnya.
Ia memperkirakan harga produk-produk kertas tersebut lebih murah sampai 20 persen, jumlahnya bisa mencapai puluhan ribu ton yang berasal dari nagara-negara Skandinavia dan Amerika.
Penutupan pabrik-pabrik kertas tersebut, kata dia, telah berdampak bagi Industri kertas mentah (pulp) dalam negeri sehingga permintaan pulp akan turun. Namun dari sisi produk jadi kertas (paper) justru menjadi keuntungan karena mengurangi persaingan.
“Maka saingan kita berkurang untuk kertas, tapi secara pulp kita kehilangan pasar karena pabrik tutup di Eropa dan AS,” jelasnya.
Harga pulp pada tahun ke depan diperkirakan akan masih terus turun karena imbas krisis. Namun kata dia, khusus untuk RAPP akan tetap memfokuskan pasar China yang selama ini menjadi negara konsumen kertas terbesar di dunia.
“Untuk China permintaan lumayan tinggi meski krisis global, semakin tinggi penduduk maka konsumsi kertas pun semakin tinggi,” ujarnya.
Pada tahun 2007 jumlah permintaan kertas mencapai 38,7 juta ton, diantaranya 7,05 juta diserap oleh China, Jepang, 3,1 juta ton, ASEAN (5) 1,4 juta ton, India 0,89 juta ton dan lain-lain.

Redaksi

Target Terkoreksi, Tantangan dan Peluang Ekspor


Demikian halnya dengan kinerja ekspor sepanjang 2008, capaian dan kinerja selama tahun ini diharapkan menjadi pelajaran para pemangku kepentingan untuk meningkatkan kinerja ekspor pada tahun berikutnya yang penuh dengan tantangan.
Pada awal tahun ini, pemerintah sangat yakin dengan menargetkan pertumbuhan ekspor sebesar 14,5 persen, mengandalkan kenaikan harga dan volume komoditas sawit dan pertambangan.
Komoditas sawit misalnya, saat itu harganya terus meroket sejak awal tahun ini dari 900 an dolar AS per ton hingga menyentuh level tertinggi selama 2008 sebesar 1.300 dolar AS per ton pada 15 Juli tahun ini.
Tidak hanya sawit, harga komoditas perkebunan dan pertambangan lainnya pun mengalami kenaikan. Namun, pada kenyataannya, kenaikan harga itu tidak bertahan lama dan hanya sampai pada semester I 2008.
Sejak pertengahan tahun, harga komoditas ekspor mulai menukik dan terus anjlok hingga kuartal terakhir tahun ini. Target ekspor pun terkoreksi, bahkan pemerintah mengoreksi target hingga dua kali, pertama diturunkan dari 14,5 persen menjadi 13,5 persen hingga akhirnya ditargetkan sebesar 10 persen-11 persen.(lihat tabel)
Krisis keuangan yang melanda Amerika Serikat juga memberikan dampak kepada penurunan ekspor, mengingat negara itu termasuk pasar tradisional utama bagi produk Indonesia.

Kinerja Ekspor
Kinerja ekspor selama 2008 tidak berjalan mulus, terutama memasuki kuartal terakhir, ekspor melemah baik nilai maupun volume. Pelemahan ekspor tidak hanya dialami Indonesia, negara-negara lain pun mengalami hal yang sama.
Indonesia mulai mendiversifikasi negara sasaran ekspor seiring dengan potensi resesi ekonomi di AS. Ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam turun dari 12 persen selama ini, menjadi hanya 5 persen.
Lalu, bagaimana dengan kinerja ekspor nonmigas tahun ini yang mulai terganggu akibat krisis keuangan global.
Jika melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) kinerja ekspor nonmigas hingga Oktober 2008 masih bertumbuh sebesar 21,5 persen.
Data BPS menunjukkan nilai ekspor nonmigas Indonesia sebesar 92,2 dolar AS miliar masih tumbuh sebesar 21,5 dolar AS dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 75,9 dolar AS miliar.
Adapun, tren pertumbuhan ekspor nonmigas dari 2003 hingga 2007 bertumbuh rata-rata sebesar 18,3 persen. Untuk dikatakan aman, minimal tahun ini ekspor nonmigas harus bertumbuh sebesar 18,3 persen.
Hingga Oktober ekspor itu masih bertumbuh sebesar 21,5 persen. Dengan skenario kinerja ekspor pada dua bulan terakhir tahun ini yang paling buruk pun, ekspor masih dapat tumbuh di atas 18,3 persen. Jadi, dapat dikatakan kinerja ekspor tahun ini masih aman.
Kinerja ekspor masih terbantu selama semester I/2008, di mana selain harga beberapa komoditas sedang pada puncaknya pada awal tahun, volume ekspor komoditas itu juga kebanyakan meningkat.
Berbagai langkah kebijakan pun diambil pemerintah, misalnya revisi peraturan pungutan ekspor minyak kelapa sawit yang menjadi andalan ekspor nonmigas, yaitu pungutan ditiadakan saat harga 700 dolar AS per ton. Padahal sebelumnya pungutan ekspor 0 persen hanya pada saat harga internasional CPO mencapai 550 dolar AS per ton.
Terbukti kebijakan itu mampu mendongkrak volume ekspor komoditas itu di tengah pelemahan permintaan dan harga sawit.
Mengenai sulitnya pembiayaan yang juga menjadi penghambat kinerja ekspor, pemerintah mengeluarkan kebijakan rediskonto wesel ekspor with recourse untuk menjamin pembiayaan ekspor.

Kinerja Impor
Tingginya ekspor pada awal tahun ternyata diikuti dengan melonjaknya impor. Periode Januari-Oktober 2008 total nilai impor nonmigas sebesar 63,7 miliar dolar AS, naik sebesar 48,21 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Impor selama November dan Desember pun diperkirakan tetap besar sehingga impor tahun ini diprediksi 30 persen-40 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Kenaikan ini cukup fantastis mengingat rata-rata pertumbuhan impor nonmigas selama 2003-2007 hanya sebesar 18,3 persen.
Artinya, semakin jauh jarak pertumbuhan ekspor dengan pertumbuhan impor akan semakin menggerus devisa negara.
Surplus neraca perdagangan (ekspor-impor) Januari-Oktober 2008 sebesar 28,5 miliar dolar AS turun sebesar 13,1 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 32,9 miliar dolar AS.
Padahal, dari 2003 hingga 2007, rata-rata pertumbuhan surplus neraca perdagangan sebesar 18,5 persen. Lonjakan impor pada saat kinerja ekspor normal inilah yang patut diwaspadai, sehingga perlu ada instrumen untuk menguranginya.
Memang, pemerintah sejak krisis berusaha untuk mengurangi impor selain untuk menghemat devisa juga untuk memberdayakan produk lokal dan menjaga pasar domestik tetap bergairah.
Misalnya, dengan mengeluarkan Permedag No. 44/2008 yang membatasi impor produk mainan anak-anak, garmen, elektronik, alas kaki dan makanan dan minuman.
Selain itu, juga dibentuk tim terpadu pengawasan barang beredar (TPBB) yang diketuai Menteri Perdagangan.
Mendag juga mengeluarkan Permendag No. 41/M-DAG/PER/10/2008 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3).
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Perdagangan Mochtar mengatakan untuk impor bahan baku memang sulit ditekan. Hal ini membuat pemerintah lebih banyak menekan impor barang konsumsi.
Permasalahannya, impor bahan baku sangat dominan, yaitu sebesar 77,9 persen dari keseluruhan impor. Impor bahan baku penolong periode Januari-Oktober 2008 sebesar 87,4 miliar dolar AS naik sebesar 91,7 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang 45,6 miliar dolar AS.
Sulit untuk mengurangi impor bahan baku penolong, karena memang dibutuhkan untuk keberlangsungan industri.
Impor, dapat ditekan melalui barang konsumsi. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan perlambatan industri manufaktur akibat krisis global ini, katanya, hanya dapat menekan impor 10 persen.
Permasalahannya, bagaimana caranya mengurangi impor bahan baku yang memang dibutuhkan industri.

Redaksi

Eksportir Manfaatkan Intervensi BI, Pergerakan Rupiah di Perkirakan Masih Terbatas


Nilai tukar rupiah pada perdagangan pekan mendatang diperkirakan masih tertekan. Intervensi BI di level 12 ribu per dolar AS dimanfaatkan eksportir sehingga rupiah sulit menguat di bawah level support-nya.
Analis valas dari bank CIMB Niaga Bernard Simorangkir mengatakan, setelah sepekan lalu mengalami penurunan signifikan terhadap dolar AS, pergerakan rupiah diperkirakan masih terbatas.
Pasar menilai dolar merupakan mata uang paling likuid di tengah kemelut sektor keuangan global. “Rupiah diprediksikan akan bergerak di kisaran 11.800-12.300 per dolar AS,” katanya.
Menurutnya, peningkatan permintaan dolar korporasi menjelang akhir bulan, akan terus menekan rupiah. Hal ini ditambah terbatasnya pasokan dolar di pasar domestik. Dengan merosotnya pemasukan ekspor dan tidak adanya capital inflow, BI menjadi satu-satunya pemasok dolar yang konsisten menjaga rupiah di level 12 ribu per dolar AS.
“Bila rupiah melemah, BI selalu membawa rupiah kembali ke level support di 12 ribu per dolar AS,” katanya.
Namun, intervensi BI ini dimanfaatkan para eksportir, yang justru melakukan pembelian dolar di level support 12 ribu dan baru melepas dolar ketika sudah berada di atas posisi 12.200-an.
Mereka tahu BI selalu menstabilkan rupiah ke level 12 ribu, sehingga menunggu intervensi BI untuk menambah pembelian dolar. “Inilah yang membuat rupiah sulit bergerak di bawah 12 ribu,” ulasnya.
Sementara dari eksternal, sentimen negatif berasal dari meningkatnya premi resiko emerging market seiring kekhawatiran memburuknya situasi perbankan Eropa Timur.
Adapun rencana pemerintah Obama menyelamatkan sektor perumahan dengan dana sebesar 275 miliar dolar AS ternyata mendongkrak penguatan dolar terhadap mata uang kuat utama lainnya.
“Investor cenderung memilih dolar AS sebagai safe haven dan menyulitkan mata uang lokal terapresiasi,” katanya.
Rencana penyelamatan sektor perumahan itu ditujukan untuk mengurangi biaya kredit perumahan sembilan juta keluarga AS dan menahan laju penurunan harga di AS yang semakin parah.
Rinciannya, sebesar 50 miliar dolar AS untuk membantu sektor perkreditan rumah, 25 miliar dolar AS untuk membiayai perusahaan perumahan Fannie Mae dan Freddie Mac dan 200 miliar dolar AS untuk penerbitan surat berharga AS demi menaikkan modal kedua perusahaan perumahan tersebut.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, beberapa pekan di pasar spot antarbank melemah tajam 135 poin menjadi 12.095/12.125 per dolar AS. Sedangkan rupiah diperdagangkan di level 7.863 atas dolar Singapura, di angka 15.233 terhadap mata uang gabungan negara Eropa dan di posisi 7.694 atas dolar Australia.

Menguat Maret-April
Rupiah diperkirakan belum bisa menguat selama belum ada sentimen positif dari dalam negeri. Bercermin dari tahun 2007-2008 rupiah akan stabil saat masuk Maret-April, setelah melemah pada awal tahun.
Hal tersebut diungkapkan pengamat ekonomi INDEF, M. Ikhsan Modjo. Di tahun 2007-2008 keseimbangan rupiah berada di level Rp 9.800 per dolar AS. “Setiap awal tahun cenderung mengalami kenaikan tetapi pelan-pelan mulai mencapai keseimbangan. Kecenderungannya memasuki bulan Maret-April rupiah akan stabil,” katanya dalam sebuah seminar di Jakarta.
Dalam APBN 2009, proyeksi rupiah mengalami perubahan dari Rp 9.400 per dolar AS menjadi Rp 11 ribu per dolar AS. Langkah pemerintah dianggap masuk akal sebab pola over shooting dari tahun ke tahun tidak banyak mengalami perubahan. Walaupun saat ini rupiah cenderung naik melewati titik psikologis Rp 12 ribu per dolar AS. tetapi segera menemukan titik keseimbangan baru.
Saat ini, ujar Ikhsan, tekanan terhadap rupiah masih sangat kuat. Sebab, para investor pada saat krisis global seperti ini lebih tertarik untuk berinvestasi ke negara maju seperti Amerika. Sekarang pemodal lebih mempertimbangkan faktor keamanan atau flight to quality. Jadi para investor asing lebih banyak ke negara maju seperti Amerika.
Dana masuk untuk swasta ke negara berkembang termasuk Indonesia dari tahun ketahun semakin menurun. Tahun 2007, dana swasta yang masuk ke negara-negara berkembang mencapai 1 triliun dolar AS. Tahun 2008 menunjukan penurunan diperkirakan hanya mencapai 100-126 miliar dolar AS. Dana itu semakin sedikit setelah didistribusikan ke negara berkembang yang mencapai sekitar 33 negara. Kondisi di dalam negeri yang kurang kondusif juga menjadi salah satu faktor melemahnya rupiah.
Ikhsan memperkirakan rupiah akan menguat seiring dengan sentimen positif yang akan diciptakan oleh kondisi ekonomi dan politik dalam negeri. Untuk itu diharapkan jangan terlalu bergantung kepada faktor eksternal atau ekonomi global.

Redaksi

17 Maret 2009

Tambahan Stimulus Rp 15 T Dorong Pertumbuhan 4 Persen


Panitia Anggaran DPR dalam pembahasan paket stimulus menyetujui sebesar Rp 15 triliun. Namun DPR berharap tidak ada sisa anggaran lebih penggunaan anggaran dalam penggunaan dana tersebut. Hal tersebut dikatakan wakil ketua Panitia Anggaran DPR, Suharso Monoarfa.
“Kalau besarannya kita terima tinggal programnya yang masih kita sisir lagi. Kita berharap dana stimulus tidak ada sisa anggaran lebih penggunaan anggaran (silpa),” katanya.
Kalau terjadi silpa, lanjutnya, DPR akan mengurangi anggaran sebesar kelebihan dana tersebut. Besaran silpa nantinya juga tidak masuk dalam APBN-P 2009.
Pemerintah selain mengajukan paket stimulus yang sudah disetujui sebesar Rp 56,3 triliun, juga mengajukan paket stimulus tambahan sebesar Rp 15 triliun. Stimulus tambahan ini Rp 2,8 triliun untuk subsidi solar. Diskon beban puncak listrik industri sebesar Rp 1,4 triliun. Tambahan belanja infrastruktur, KUR dan BLK, Rp 10,2 triliun serta Rp 0,6 triliun untuk PNPM.
Program stimulus yang diusulkan pemerintah, masih dianggap belum mencerminkan kriteria stimulus. DPR melihat untuk belanja langsung sebesar Rp 7,8 triliun dikhawatirkan tidak tepat sasaran untuk menciptakan lapangan kerja.
Dana itu diambilkan dari paket stimulus sebesar Rp 10,2 triliun untuk infrastruktur. Dengan dana Rp 7,8 triliun pemerintah berharap dapat menciptakan lapangan kerja untuk 2,4 juta tenaga kerja.
“Tetapi dari data yanag ada di pemerintah, dari 2,4 juta tenaga kerja sekitar 900 orang baru masuk calon tenaga kerja,” tegasnya.
Pasalnya terdapat 110 ribu tenaga kerja tetapi mereka masuk balai latihan kerja. Jadi program itu bukan untuk menciptakan lapangan kerja. Program itu hanya untuk percepatan ketrampilan kerja.
Jadi saat ini perdebatannya pada penciptakan lapangan kerja yang berdampak pada ekonomi secara luas. Keputusan DPR akan dilakukan dalam pembahasan akhir dengan pemerintah nanti malam.

Cair 1 Maret
Pemerintah per 1 Maret 2009 mulai mencairkan dana stimulus fiskal senilai Rp 73,3 triliun. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan 4 persen dan investasi 10-11 persen.
Hal tersebut diungkapkan Menkeu Sri Mulyani dalam acara ‘BUMN Executive Breakfast Meeting’. “Dalam 5 hari ini, pemerintah membuat program stimulus fiskal yang baru semalam disetujui DPR. Pemerintah menargetkan awal Maret sudah diluncurkan,” katanya.
Stimulus ini, jelasnya, dalam bentuk tarif perpajakan. Sementara stimulus yang lain untuk infrastruktur dan untuk menjaga daya beli masyarakat seperti PNPM serta subsidi solar.
Menurut Menkeu, tahun 2009 merupakan situasi ekonomi paling sulit, apalagi bertepatan dengan pemilu yang ada kemungkinan terjadi gejolak. Meskipun pemerintah tetap berharap pertumbuhan 4,5 persen dan investasi mencapai 10-11 persen. Caranya dengan mengandalkan BUMN untuk menggerakan ekonomi. Hal ini untuk menangkap stimulus fiskal yang dilakukan pemerintah.
“Kita lakukan revisi growth jadi 4,5 persen. Saya nggak malu menurunkan growth, sambil coba lihat seluruh dunia minusnya seberapa dalam,” katanya.
Walaupun pertumbuhan ekonomi 2008 mencapai 6 persen tidak dapat diteruskan 2009 ini. Dalam pembicaraan dengan seluruh menkeu ASEAN+3 mengalami kendala yang sama yaitu resesi. Target pertumbuhan Malaysia 5,5 persen, Philipina 4,6 persen, Muangthai 3,1 persen.
Kalau ada kementerian lembaga atau gubernur tidak bisa menjalankan stimulus pasti karena punish. Seluruh dunia sekarang melakukan stimulus karena siklus ekonomi menuju ke bawah. “Jadi sudah menjadi keniscayaan karena ekonomi dunia lagi nyungsep,” ujarnya.
Pemerintah menargetkan awal Maret 2009 Paket Stimulus Fiskal 2009 khususnya untuk infrastruktur yang nilainya Rp 12,2 triliun bisa terlaksana di lapangan.
Menteri Keuangan sekaligus Menko Perekonomian Sri Mulyani, dalam 5 hari kerja kita akan selesaikan seluruh dokumen. Kita berharap awal Maret payung hukum dan segala macam,
Pada kesempatan yang sama, Menneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta mengatakan dengan penyelesaian dokumen untuk pelaksanaan stimulus ini dalam 5 hari kerja, selama semester II-2009 dalam waktu 6 bulan semua anggaran stimulus bisa terserap secara penuh. “Dalam 5 hari ini sudah harus diselesaikan segala sesuatunya, sehingga bisa goal pada Maret, dan bisa terserap secara penuh selama 6 bulan,” jelasnya.

Insentif PPh 21
Dengan disetujuinya Paket Stimulus Fiskal pemerintah senilai Rp 73,3 triliun, maka insentif PPh Pasal 21 bagi para karyawan akan bisa terlaksana.
“Untuk (insentif) PPh 21 itu nanti pelaksanaannya berdasarkan 1 tahun fiskal, jadi tahun pajak ini. Selama tahun pajak ini,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Di tempat yang sama, Dirjen Pajak Darmin Nasution mengatakan pihaknya sudah menyiapkan draft aturan untuk insentif PPh Pasal 21 bagi karyawan ini. Namun Darmin belum mengatakan apakah karyawan yang mendapatkan insentif ini didasarkan kepada sektor atau besaran gajinya. “Bentuk aturannya nanti PMK (Peraturan Menteri Keuangan), tidak berlaku surut, mungkin berlakunya mulai pajak Februari 2009 yang dibayarkan Maret 2009,” tukasnya.

Redaksi

Ketua GPEI Jatim : Stimulus Tarif pelabuhan Belum Sentuh Pemilik Barang


Stimulus pemerintah dalam bentuk pemberian diskon tarif jasa kepelabuhanan sebesar 5 persen belum menyentuh secara langsung kepada pelaku usaha (khususnya eksportir). Diskon yang berlaku efektif 15 Pebruari 2009 selama tiga bulan ke depan itu, baru menyentuh sektor pelayaran dan perusahaan bongkar muat, namun untuk stimulus bagi pelaku usaha eksportir dan importer belum tercapai.
Demikian pernyataan beberapa pelaku usaha kepelabuhanan di Tanjung Perak, Surabaya, menanggapi pemberian diskon tarif jasa kepelabuhanan yang ditetapkan melalui surat Dirjen Perhubungan Laut Dephub No. KM120/1/1/DJPL-2009 tentang Pemberian Keringanan Tarif Jasa Pemanduan, Jasa Penundaan dan Container Handling tertanggal 11 Februari 2009.
Ketua DPD Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur, Isdarmawan Asrikan mengakui, bahwa stimulus yang diberikan kepada pelaku usaha dalam bentuk pemberian diskon tarif jasa kepelabuhanan sebesar 5 persen masih belum menyentuh langsung bagi pemilik barang eksportir maupun importer.
“Potongan tarif (diskon) adalah tarif jasa pemanduan, penundaan dan container handling yang ditanggung oleh pihak pelayaran. Sementara, terminal handling surcharge (THC) yang ditanggung oleh pihak eksportir masih tetap,” kata Isdarmawan yang juga eksportir kopi.
Dikatakan, kebijakan pemeritah yang memberikan stimulus agar pelaku usaha termasuk pemilik barang dapat berkembang dan bersaing di pasar domestic maupun internasional. Namun, stimulus tersebut belum dapat dinikmati, mengingat biaya THC untuk container 20 feet masih tetap sebesar 95 dolar AS dan untuk container 40 feet sebesar 145 dolar AS.
Dalam hal ini, kata Isdarmawan, yang diuntungkan adalah pihak pelayaran karena surcharge yang diperoleh akan naik, sedangkan eksportir tidak memperoleh manfaat dari pemberian potongan tarif.
Oleh karena itu, GPEI Jatim akan melakukan pembahasan lebih lanjut pemberian diskon jasa kepelabuhanan dengan harapan pemberian stimulus tersebut dapat dirasakan manfaatnya oleh pelaku usaha.
Lebih lanjut Isdarmawan mengemukakan, krisis finansial global beberapa bulan terakhir ini sangat berdampak terhadap penurunan kinerja eksportir. Belum lagi banyaknya hambatan seperti tingginya bunga kredit di perbankan masih sekitar 15-16 persen meskipun BI rate mengalami penurunan sebesar 8,25 persen.
Idealnya, katanya, dengan turunnya BI rate tersebut bunga pinjaman sudah pada kisaran 13 persen.
Belum lagi adanya peraturan yang mewajibkan penggunaan Letter of Credit (LC) untuk ekspor. Untuk negoisasi wessel ekspor atas dasar L/C at sight (atas unjuk), bank pemerintah masih menggunakan cara document collection dengan cara tidak mau membayar secara langsung dan masih menunggu untuk dibayar terlebih dahulu oleh opening bank (buyer bersangkutan, red).
“Eksportir masih harus menunggu 2-3 minggu untuk pembayaran tersebut, hal itu mengakibatkan cash flow eskportir terhambat,” ujarnya.
Bank pemerintah juga tidak mau melayani wessel ekspor diskonto dengan Usance L/C. Usence L/C merupakan bentuk cara pembayaran L/C dengan sistem diskonto selain sistem at sight. Padahal, dalam pihak beberapa bank asing yang mau menerima usence L/C tersebut. Hal tersebut akan mengganggu kelancaran ekspor.
Senada dengan Ketua DPD Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Jawa Timur, Judy Poerwoko mengatakan, diskon jasa kepelabuhanan yang diberikan tidak mengena kepada pelaku usaha khususnya importer.
“Importir masih belum merasakan stimulus yang diberikan baik mengenai diskon jasa kepelabuhanan maupun penurunan tarif yang signifikan kepada pelaku usaha,” ujarnya.
Namun, kata Judy maksud baik pemerintah memberikan stimulus untuk menggairahkan pelaku usaha nasional akibat dampak krisis finansial yang menurunkan kinerja importir.
Oleh karena itu, GINSI akan melakukan pembahasan lebih lanjut yang transparan terhadap perusahaan pelayaran yang telah menikmati diskon jasa kepelabuhanan. Jika tarif turun tentunya perusahaan pelayaran juga memberikan diskon kepada importir, tapi selama ini belum ada pemberitahunan lebih lanjut.

Pelindo
Sebelumnya, Menteri Perhubungan Syafii Djamal mengatakan, persetujuan pemberian diskon jasa kepelabuhanan yang terkait langsung dengan penggunaan BBM untuk mendorong perkembangan dunia usaha di tengah krisis ekonomi global.
Menhub mengakui, persetujuan penurunan tarif jasa pemanduan, jasa penundaan, dan pelayanan peti kemas relatif kecil dibandingkan dengan tarif jasa kepelabuhanan secara keseluruhan. “Yang penting turun, soal kecil itu relatif.”
Dia mengungkapkan Pelindo I hingga Pelindo IV melaporkan merugi jika diskon sebesar 5 persen terhadap jasa pemanduan hingga pelayanan peti kemas diterapkan selama 3 bulan. “Namun, ini penting untuk memberikan keringanan bagi usaha pelayaran,” tegasnya.
Ketua Umum DPP Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Johnson W. Sutjipto menyatakan penurunan tiga komponen jasa pelayanan pelabuhan itu akan mengurangi beban usaha di tengah kekurangan muatan akibat krisis keuangan global.
“Kami memberikan apresiasi atas peran aktif Menhub Jusman Syafii Djamal dalam memfasilitasi pertemuan antara asosiasi pemakai jasa pelabuhan dan PT Pelabuhan Indonesia untuk membuat kesepakatan penurunan tarif,” kata Johnson.
Kepala Humas Pelindo III Iwan Sabatini sebelumnya menyatakan, pemerintah dan operator pelabuhan telah sepakat mengevaluasi penurunan tarif pelayanan jasa kepelabuhanan sebesar 5 persen mulai 15 Februari.
“Selaku operator, kami siap melakukan itu [penurunan tarif] sepanjang secara formal sudah ditetapkan oleh pemerintah,” ujarnya.
Dia mengatakan penurunan tarif jasa kepelabuhanan sebesar itu hanya berlaku terhadap kegiatan pelayanan di pelabuhan yang berbasis BBM, seperti jasa pandu, tunda, dan bongkar muat peti kemas.
Menurut informasi, berdasarkan hasil pertemuan di Dephub, penurunan tarif 5 persen itu akan dievaluasi dalam 3 bulan mendatang mengikuti perkembangan harga BBM.
Namun, apabila dalam 3 bulan sejak 15 Februari terjadi lagi penurunan BBM, tarif itu akan ditinjau kembali.
Penurunan tarif kepelabuhanan itu terungkap dalam pertemuan yang dipimpin Sesditjen Perhubungan Laut Dephub Jimmy A. Nikijuluw yang dihadiri direksi Pelindo II, III, dan IV, serta pengurus DPP INSA, DPP Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI), dan DPP Gafeksi.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama PT. Terminal Petikemas Surabaya (TPS) M Zaini mengatakan, pada prinsipnya mendukung kebijakan pemerintah yang memberikan diskon jasa kepelabuhanan.
Meski, kata Zaini pemberlakuan potongan (discount) tariff jasa bongkar muat petikemas baik Internasional maupun domestic sebesar 5 persen tersebut akan berdampak pada pengurangan pendapatan perusahaan, namun demi kepentingan nasional untuk memberikan stimulus kepada pelaku usaha.
“Potongan sebesar 5 persen ini diberikan bagi komponen-komponen kegiatan yang terkait dengan bongkar dan muat petikemas di dermaga kami,” ujarnya.
Namun, beberapa komponen biaya yang bukan merupakan bongkar muat masih tetap seperti biasanya. Komponen yang mendapat potongan adalah jasa bongkar dan muat petikemas full dan empty, bongkar muat petikemas transhipment, shifting petikemas di atas kapal serta jasa buka dan tutup palka kapal.
Potongan/discount akan diberikan secara otomatis bagi kapal-kapal yang sandar di PT. TPS mulai tanggal 15 Februari 2009 pukul 00:00 WIB.
Diharapkan oleh Manajemen PT. TPS, pemberian potongan (discount) ini bisa menjadi stimulus bagi pelaku ekspor dan impor, khususnya di Jawa Timur.

Redaksi

16 Maret 2009

Wajib L/C


Pelaksanaan wajib letter of credit (L/C) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.1/M-DAG/PER/1/2009 telah disempurnakan dengan No. 10/M-DAG/PER/3/2009 tetapi masih menyisakan masalah bagi pelaku usaha khususnya eksportir.
Permasalahannya, untuk negoisasi wessel ekspor atas dasar L/C at sight (atas unjuk), bank pemerintah masih menggunakan cara document collection dengan cara tidak mau membayar secara langsung dan masih harus menunggu untuk dibayar terlebih dahulu oleh opening bank (buyer bersangkutan, red).
Sehingga, eksportir masih harus menunggu 2-3 minggu untuk menerima pembayaran hasil ekspor, hal ini tentunya akan mengakibatkan cash flow eskportir terhambat.
Bank pemerintah juga tidak mau melayani wessel ekspor diskonto dengan Usance L/C. Padahal usence L/C merupakan bentuk cara pembayaran L/C dengan sistem diskonto selain sistem at sight. Sementara beberapa bank asing mau menerima wessel ekspor diskonto atas usence L/C tersebut. Seharusnya bank pemerintah harus lebih tanggap dan membantu kelancaran dalam melayani pembayaran wessel ekspor baik at sight maupun usen L/C hasil ekspor tersebut.
Sementara, komoditas pertanian yang wajib menggunakan L/C melalui bank devisa domestik meliputi kakao, karet, kopi dan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/ CPO) serta timah batangan dan produk pertambangan lainnya yang total terdiri dari 47 pos tarif.
Pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan wajib L/C dengan latar belakang bahwa transaksi ekspor komoditas tersebut untuk mendapat kepastian pembayaran, mendukung upaya pelestarian sumber daya alam dan memperlancar perolehan hasil devisa ekspor.
Melihat maksud pemberlakuan wajib L/C tersebut, tentu semua pihak seharusnya setuju, bahkan perlu didukung terutama untuk meningkatkan perolehan devisa negara di tengah krisis global saat ini.

Redaksi