Mengenai Saya

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur didirikan pada tanggal 21 Pebruari 1961 dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 167/SK/XI/66. Tujuan Kami, Mengembangkan Perdagangan Internasional (Ekspor) , Menggiatkan Usaha Kecil dan Menengah ( UKM ) dan Industri, Optimalisasi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia , Meningkatkan Pendapatan Devisa Ekspor Non Migas. Visi dan Misi Kami, Meningkatkan Sumber Daya Manusia , Memperluas Jaringan Pemasaran , Meningkatkan Daya Saing di Pasar Global , Meningkatkan Nilai Tambah Produk Ekspor

09 Juli 2009

Pengembangan Terminal Kayu Diserahkan Kepada Swasta

Rata PenuhKamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengusulkan kepada pemerintah agar pembangunan dan pengelolaan Terminal Kayu Terpadu (TKT) diserahkan kepada swasta, agar cepat terwujud guna mengatasi keluhan kelangkaan bahan baku bagi industri pengolahan berbasis komoditas tersebut.
Serahkan saja kepada pembangunan dan pengelolaan TKT ke swasta dengan skema BOT (‘Built, Operate, and Transfer/sistem guna serah) agar TKT segera terwujud untuk membuat kesinambungan pengadaan bahan baku dan peningkatan daya saing industri pengolahan kayu di Indonesia,” kata Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri, Riset, dan Teknologi, Rachmat Gobel.
Ia yakin kalangan dunia usaha akan tertarik berinvestasi di bidang tersebut, karena dari sisi bisnis, TKT sangat diperlukan oleh para industri pengolahan kayu, terutama usaha kecil dan menengah (UKM) yang bergerak di bidang produksi mebel dan kerajinan berbasis kayu.
Rachmat mendorong asosiasi pengolahan kayu seperti Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) dan asosiasi terkait lainnya, serta PT Usaha Kita Makmur (UKM) yang didirikan Kadin Indonesia untuk membantu pemasaran produk hasil industri kecil dan menengah (IKM) terlibat dalam investasi pembangunan dan pengelolaan TKT, bekerjasama dengan pemerintah pusat dan daerah.
“Pembangunan dan pengelolaan oleh swasta merupakan terobosan untuk mengatasi lambannya pembangunan TKT yang telah diusulkan lebih dari dua tahun yang lalu,” ujarnya.
Ia menegaskan TKT sangat dibutuhkan kalangan IKM terutama industri mebel dan kerajinan yang sampai saat ini masih mengeluhkan kelangkaan bahan baku kayu, pasca pengetatan peredaran kayu di dalam negeri terkait maraknya pencurian kayu (“illegal logging”).
“Konsep pembangunan dan pengelolaan TKT bisa mencontoh pasar swalayan besar. Jadi setiap produsen mebel dan kerajinan bisa membeli kayu sesuai dengan kebutuhan, kualitas dan ukuran kayu yang mereka kehendaki. Bahkan, TKT tidak hanya menyediakan berbagai jenis kayu, tapi juga komoditas terkait lainnya, seperti lem dan aksesoris untuk mebel dan kerajinan,” ujar Rachmat.
Oleh karena itu, Kadin, lanjut dia, berencana akan memberikan masukan kepada pemerintah untuk mewujudkan terminal kayu secepatnya. “Selama ini IKM mebel dan kerajinan kesulitan mendapatkan kayu, padahal kebutuhan mereka kecil, sehingga kalau membeli dalam jumlah sedikit harganya mahal, tapi dengan adanya TKT harga bisa bersaing,” kata Rachmat.
Sementara itu, dalam pertemuan dengan sejumlah asosiasi, lembaga pemerintah pusat, dan daerah, di Departemen Perindustrian, Menperin Fahmi Idris mengakui bahwa dalam pembangunan TKT, kalangan dunia usaha perlu dilibatkan, di samping pemerintah pusat dan daerah.
Pada kesempatan itu, Fahmi juga mengatakan pihaknya akan mengundang pemerintah daerah (pemda) yang wilayahnya menjadi lokasi TKT untuk berembuk bersama di Depperin, memantapkan konsep TKT agar memiliki konsep dan visi yang sama.
“Kami berharap pemda mengirim pejabat yang berwenang untuk itu (pembangunan TKT),” ujarnya. Rencananya rapat akan dilakukan pekan depan dan pembangunan TKT akan dilakukan di wilayah Kendal (Jawa Tengah), Tuban dan Gresik (Jawa Timur), Bitung (Sulawesi Utara) dan Papua. Fahmi menargetkan pembangunan TKT tersebut selesai pada 2011, dengan kebutuhan investasi pembangunan fisik mencapai Rp13 miliar sampai 14 miliar.

Rampung 2011
Sementara, Menteri Perindustrian (Menperin), Fahmi Idris mengatakan, pembangunan empat unit terminal kayu terpadu (TKT) dan tiga unit pusat pengolahan industri rotan terpadu (PPIRT) ditargetkan akan rampung pada 2011.
“Pemerintah mentargetkan proses pembangunan selesai pada awal 2010, seluruh TKT dan tempat pengolahan industri rotan akan efektif beroperasi sekitar 2011,” kata Fahmi Idris.
Depperin bersama sejumlah pemerintah provinsi (pemprov) dan kabupatan/kota berkoordinasi untuk membangun TKT dan PPIRT guna mempermudah pengolahan industri serta memberikan aturan yang jelas untuk produksi kayu dan rotan terkait legalisasinya.
Pemerintah membangun empat unit TKT yang berlokasi di Tuban, Kabupaten Gresik Jawa Timur, Kendal (Jawa Tengah), Bitung-Menado (Sulawesi Utara) dan Papua. Sedangkan tiga unit PPIRT berada di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Kalimantan Tengah dan Palu (Sulawesi Tengah).
Fahmi mengungkapkan, PPIRT yang berlokasi di Palu sudah mulai beroperasi bahkan sudah dilakukan pelatihan bagi pelajar Sekolah Menengah Kejuruaan (SMK) jurusan rotan.
Pembangunan PPIRT di NAD dan Kalimantan Tengah sedang dalam proses dengan menggunakan anggaran pendapatan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) pemprov masing-masing 2009 dengan biaya fisik sekitar Rp13 miliar hingga Rp14 miliar.
“Rata-rata pembangunan fisik menghabiskan dana yang sama setiap unitnya,” kata Fahmi.
Sementara itu, TKT di Jawa Tengah masih dalam proses pembangunan, sedangkan TKT di Tuban-Jawa Timur, Bitung-Menado dan Papua masuk proses perencanaan.
Fahmi mengungkapkan pembiayaan untuk pembangunan TKT dan PPIRT tersebut berdasarkan perjanjian melalui nota kesepahaman antara Depperin dan pemprov setempat, seperti pemerintah pusat menanggung peralatan dan mesin yang dibutuhkan terminal, sedangkan pemprov bertanggung jawab terhadap pembangunan infrastruktur dan pengadaan lahan.
Terkait dengan target pembangunan TKT dan PPIRT yang meleset, Fahmi menjelaskan memang rencana semula pembangunan terminal dan pengolahan industri rotan tersebut akan selesai pada 2008, namun terhambat beberapa masalah seperti pengadaan lahan dan kesulitan dalam pengadaan sebagian peralatan. Menteri menyebutkan, pembangunan TKT dan PPIRT tersebut bertujuan untuk memecahkan persoalan tentang bahan baku untuk industri pengolahan jenis kayu dan rotan yang tidak laku dijual, memberikan legalitas serta meningkatkan produksi domestik. (*)

Redaksi

Sektor Riil Stagnan Tingginya Suku Bunga Komersial

Kalangan dunia usaha meminta pemerintah tegas soal kebijakan penurunan suku bunga agar industri dalam negeri bisa menahan gempuran barang-barang impor.
Penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) hingga di level tujuh persen langkah yang bagus, namun sayangnya tidak langsung diikuti pemangkasan suku bunga perbankan,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesai (Apindo) Sofjan Wanandi.
Sofyan menjelaskan, dunia usaha yang dicerminkan sektor riil saat ini belum sepenuhnya bisa bergerak selain karena dampak krisis ekonomi global juga dipengaruhi masih tingginya suku bunga komersial.
Pada Juni 2009 BI Rate tercatat 7 persen turun sebesar 25 basis poin dari periode Mei 2009. Penurunan tersebut merupakan yang ke enam kalinya berturut-turut pada tahun ini atau turun 2,25 persen dari akhir 2008 yang tercatat 9,25 persen.
Ia mengakui, saat ini dunia usaha juga dihadapkan pada penguatan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama dolar AS. Namun belum berdampak besar terhadap kinerja ekspor dalam jangka pendek, karena pesanan produksi dan pembelian bahan baku dilakukan setiap triwulanan atau bahkan ada yang dalam satu semester.
Sofjan menuturkan, tidak mempermasalahkan sudah berapa besar penurunan BI Rate, namun yang penting bagaimana perbankan cepat merespon dengan menurunkan suku bunga pinjaman.
Suku bunga pinjaman perbankan saat ini masih tinggi atau pada kisaran 14-18 persen, yang mengakibatkan dunia usaha sulit membuat perencanaan bisnis hingga satu semester ke depan.
Diutarakan Sofjan, suku bunga pinjaman harus ditekan sampai di level 12 persen hingga akhir tahun, agar dunia usaha pada semester II 2009 dapat merealisasikan ekspansi ke tahun berikutnya.
“Suku bunga lebih rendah agar dapat mendorong ekspansi bisnis tidak hanya sektor usaha menyerap tenaga kerja seperti tekstil dan garmen, elektronik, alas kaki, tetapi juga sektor usaha kecil menengah (UKM),” tegasnya.
Menurutnya, kondisi perbankan saat ini sudah tidak terlalu mengkhawatirkan karena cenderung memiliki likuiditas yang lebih dari mencukupi. Bahkan sebagian besar di antara perbankan banyak menempatkan dananya pada instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
“Perbankan selalu saja beralasan cost of fund (biaya dana) masih tinggi sehingga memungkinkan peningkatan NPL (kredit bermasalah). Padahal tidak demikian, karena dana banyak diserap ke surat utang negara yang menjanjikan suku bunga lebih tinggi,” tegasnya.
Ia menuturkan jika kondisi ini terus berlangsung hingga akhir tahun, bukan tidak mungkin industri dalam negeri sulit untuk bangkit hingga akhir tahun ini.
Industri diutarakan Sofjan, terutama sektor manufaktur dihadapkan pada gempuran barang-barang impor yang hampir menguasai 50 persen pangsa pasar produk dalam negeri. Ia menegaskan, sulit bagi produk produk dalam negeri memenangkan persaingan atas besarnya tekanan produk-produk impor terutama barang berasal dari Cina.

Pasar Ekspor
Senada dengan Sofjan, Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko menginginkan, pemerintah dapat menindaklanjuti program pengembangan dunia usaha untuk mendorong ekspor.
“Suku bunga merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung kinerja ekspor perusahaan,” kata Eddy. Untuk meningkatkan pangsa pasar ekspor sepatu dijelaskannya, perusahaan harus berhadapan dan mampu bersaing dengan negara-negara lain seperti China, Vietnam, Philipina yang merupakan basis produksi sepatu dunia.
Menurutnya, suku bunga perbankan di tiga negara tersebut jauh lebih rendah dari suku bunga di Indonesia. Suku bunga di China berkisar 5-6 persen, Vietnam 6 persen, Filipina 9 persen, Malaysia 9-11 persen.
Ia menambahkan, biaya tenaga kerja yang disebut-sebut lebih murah di Indonesia dibanding negara lain ternyata saat ini sudah berubah.
“Biaya karyawan di tiga negara tersebut sudah lebih murah dibanding di tanah air. Jadi ‘competitive advantage’-nya (daya saing) produksi industri dalam negeri sudah makin turun,” ujarnya.
Hingga akhir 2008, nilai ekspor produksi sepatu nasional mencapai 1,8 miliar dolar AS.
“Jika suku bunga dalam negeri tidak turun signifikan dari saat ini, maka nilai ekspor sepatu 2009 sulit diprediksi akan naik. Nilai ekspor yang tetap sama dengan akhir tahun lalu (1,8 miliar dolar AS) sudah cukup bagus,” tegasnya. Industri persepatuan diminta fokus meningkatkan kapasitas ekspor, tetapi harus juga memikirkan pangsa pasar dalam negeri yang telah tergerus sekitar 50 persen, karena telah dibanjiri sepatu produk impor.
“Di satu sisi kita disuruh berhadapan dengan negara pesaing, namun di sisi lain tidak ada insentif bagi perusahaan dalam negeri terutama sektor yang banyak menyerap tenaga kerja,” tutur Eddy.
Ia berkilah, di seluruh negara manapun bahwa perusahaan beorientasi ekspor yang menghasilkan devisa dan menggunakan ribuan tenaga kerja mendapat perhatian khusus.

Penguatan Kurs
Sementara, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, kinerja ekspor nonmigas Indonesia tidak akan terpengaruh menguatnya kurs Rupiah terhadap Dolar AS yang terjadi dalam satu bulan terakhir.
“Penguatan kurs tidak akan mengganggu ekspor,” ujar Mendag.
Pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS membuat ekspor sangat menguntungkan, sebaliknya penguatan nilai tukar membuat ekspor menjadi kurang menarik.
Mendag menjelaskan meski terjadi penguatan kurs namun tingkat inflasi yang rendah akan memberikan keuntungan bagi eksportir dengan makin efisiennya biaya produksi dan distribusi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat masih terjadi penurunan nilai ekspor pada April dibanding Maret 2009 sebesar 1,81 persen menjadi 8,46 miliar dolar AS. Kinerja ekspor April 2009 dibanding April 2008 turun 22,55 persen.
Ekspor nonmigas selama April 2009 mencapai 7,21 miliar Dolar AS atau turun 1,71 persen dibanding Maret 2009. Jika dibanding antara April 2009 dengan April 2008, penurunan nilai ekspor nonmigas yang terjadi sebesar 14,63 persen.

Pemberian Insentif
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Sandiaga Uno mengatakan, pemerintah harus memberikan insentif agar bank bisa menurunkan suku bunga kredit sesuai penurunan suku bunga acuan (BI-Rate).
“Pemerintah bisa saja mengeluarkan insentif kepada bank-bank agar menurunkan suku bunga kreditnya sesuai dengan acuan BI-Rate,” kata Sandiaga Uno.
Sandiaga menuturkan pemerintah harus melakukan intervensi terhadap bank-bank swasta yang belum menurunkan suku bunga kreditnya, padahal Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 7,00 persen.
Sandiaga mengungkapkan seharusnya bank sudah menurunkan suku bunga kreditnya, namun saat ini tidak menurunkan suku bunganya.
Sandiaga mengatakan, apabila bank menurunkan suku bunga kreditnya akan berpengaruh terhadap dunia bisnis khususnya pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Saat ini bank masih menerapkan suku bunga kredit bagi pelaku UMKM mencapai 16 persen hingga 24 persen, Kadin berharap dalam waktu dekat bank bisa menurunkan suku bunga kredit sebesar 10 persen.
Sandiaga menjelaskan justru seharusnya bank atau pemerintah memberikan suku bunga yang lebih kecil kepada pelaku UMKM dibanding pelaku bisnis besar yang hanya dikenai suku bunga kisaran 10 persen hingga 12 persen.
Alasannya, UMKM lebih banyak memberikan kontribusi kepada bank dibanding pelaku bisnis besar yang mengajukan kredit.
Selain itu, pembayaran suku bunga yang dilakukan pelaku UMKM mampu memberikan subsidi kepada pelaku bisnis menengah ke atas, padahal seharusnya yang harus disubsidi yakni pebisnis UMKM.
Lebih lanjut, Sandiaga mengungkapkan penurunan suku bunga harusnya berdampak positif terhadap pemberian kredit UMKM karena sektor ini memberikan kontribusi dalam pertumbuhan ekonomi nasional.
Pada awal Juni 2009, BI menurun suku bunga acuan sebesar 25 bps mencapai 7,00 persen, namun penurunan tersebut tidak ikuti penurunan suku bunga kredit perbankan.
Penurunan BI-Rate tersebut berdasarkan hasil evaluasi menyeluruh terhadap perkembangan ekonomi di dalam dan luar negeri. Perekonomian Indonesia masih tumbuh 4,4 persen pada triwulan pertama 2009 yang didukung pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan pemerintah. (*)

Redaksi

Bunga Bank Tinggi Picu Lambatnya Industri Tekstil Butuh Investasi Rp. 60 Triliun

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat menilai, lambatnya pertumbuhan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia selama tiga tahun belakangan
karena tingginya suku bunga kredit perbankan. Sejak beberapa tahun lalu suku bunga kredit perbankan sangat tinggi dengan kisaran 16-24 persen. Hal ini menyebabkan penyaluran kredit perbankan terhambat aturan yang ‘rigid’ (kaku) dan ‘interest rate’ (suku bunga) yang tidak kompetitif,” kata Ade Sudrajat.
Sesuai data API, pada tahun 2005 industri tekstil dan produk tekstil di Indonesia berjumlah 2.650 perusahaan dengan tingkat penyerapan tenaga kerja 1,176 juta. Sedangkan pada tahun 2008 jumlahnya meningkat menjadi 2.750 perusahaan dengan tingkat penyerapan tenaga kerja 1,312 juta.
“Saya kira ada yang salah dengan industri tekstil kita yang hanya bertambah 100 perusahaan dengan penambahan tenaga kerja 130 ribu. Seharusnya bisa tumbuh sampai 40 persen dengan melihat makin banyaknya kaum pengangguran di Indonesia,” kata Ade. Selain bunga bank yang sangat mahal, menurut Ade, era Otonomi Daerah (Otda) yang menghasilkan “penguasa-penguasa” baru di daerah-daerah juga memicu kurang bergairahnya industri tekstil di Tanah Air.
“Pemerintah Daerah melalui berbagai Peraturan Daerah (Perda) yang dikeluarkan banyak membuat kebijakan yang tidak pro investasi,” tutur Ade.
Ia mencontohkan, di bidang pertekstilan saja terdapat 107 perijinan yang harus diurus pengusaha. Sebagian besar perijinan tersebut dibuat oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan lima oleh Pemerintah Provinsi. Adapun Pemerintah Pusat tidak membuat perizinan khusus, cuma pengenaan bea masuk barang impor yang dikelola oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Menyangkut peralatan tekstil di Indonesia, Ade berharap pemerintah memperpanjang pemberian insentif 10 persen untuk pembelian mesin baru hingga 2011 guna mengganti mesin tekstil yang sudah berumur di atas 20 tahun.
Negara lain seperti China dan India pemerintahnya memberikan insentif pembelian mesin hingga 10 tahun sehingga kedua negara itu saat ini menjadi penghasil serat sintetis terbesar di dunia.
Senada dengan Ade, Ketua Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSYFI) Koestardjono Prodjolalito mengatakan, kalangan perbankan di Indonesia mengambil keuntungan terlalu besar dari pengusaha dengan menetapkan bunga kredit yang sangat tinggi.
“Sekarang bank-bank pemerintah merasa bangga karena mampu meraup keuntungan triliunan rupiah,” kritik Koestardjono.
Industri serat sintetis di Indonesia yang tahun 2002 berjumlah 18 perusahaan kini tinggal 12 dengan kemampuan menghasilkan serat sintetis sebanyak 1,5 juta ton per tahun.

Butuh Investasi
Industri tekstil dan produk tekstil dalam waktu lima tahun ke depan membutuhkan investasi dana sekitar Rp60,09 triliun untuk dapat meningkatkan ekspor dan penjualan di dalam negeri.
Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat mengatakan, dana sebesar itu dibutuhkan untuk pengadaan bahan baku serat, benang, kain, pakaian jadi, upah tenaga kerja dan pembelian mesin-mesin baru.
“Kalau tidak ada investasi baru kita sulit meningkatkan nilai ekspor tekstil kita ke luar negeri,” kata Ade.
Ia menjelaskan, target rata-rata pertumbuhan penjualan tekstil periode 2010-2015 yaitu ekspor ke negara tujuan utama sembilan persen, penjualan dalam negeri enam persen, dan pasar ASEAN 30 persen.
Selama 2008 sektor industri tekstil dan produk tekstil memberikan kontribusi bagi surplus perdagangan barang Indonesia sebesar 23,04 persen atau sekitar 10,79 miliar dolar AS yang terdiri atas ekspor 5,15 miliar dolar AS, penjualan domestik 5,22 persen serta investasi 0,42 miliar dolar AS dengan tingkat penyerapan tenaga kerja sebanyak 1,31 juta.
Adapun negara utama tujuan ekspor tekstil Indonesia yaitu Amerika Serikat, Jepang, Uni Eropa, Timur Tengah dan Cina.
Nilai ekspor tekstil ke Amerika Serikat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir sejak 2005 hanya tumbuh satu hingga dua persen dengan nilai ekspor tahun 2008 mencapai 4,241 juta dolar AS.
Sedangkan ekspor tekstil Indonesia ke Jepang tahun 2008 mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi mencapai 45 persen dibanding tahun 2007 dengan nilai 503 juta dolar AS.
Meski mengalami kenaikan yang cukup signifikan, menurut Ade, Indonesia perlu membangun kerjasama dengan Vietnam untuk memperbesar nilai ekspor tekstil ke Jepang.
“Kita akan suplai kain ke Vietnam, lalu mereka ekspor garmen ke Jepang. Langkah tersebut dilakukan karena produk Vietnam dan Kamboja tidak dikenakan bea masuk ke pasar Jepang,” kata Ade.
Adapun ekspor tekstil ke Uni Eropa mengalami penurunan selama 2008 dengan nilai 1,670 juta dolar AS karena mahalnya bea masuk barang ke negara-negara Uni Eropa yakni sebesar 13-15 persen.
Sementara itu penyerapan tekstil dan produk tekstil dalam negeri terus meningkat dengan nilai penjualan mencapai 5,22 miliar dolar AS tahun 2008.
“Pasar domestik sangat diandalkan karena pertumbuhan penduduk yang tinggi dan diprediksi pada akhir 2014 akan mencapai 250 juta. Ini tentu akan mendorong daya beli masyarakat yang meningkat,” kata Ade.
Pasar tekstil dalam negeri dikuasai oleh tekstil lokal sekitar 70 persen dan 30 persen sisanya merupakan bahan impor.
“Pemerintah harus mengantisipasi banyaknya barang ilegal yang masuk ke Indonesia terutama dari Cina dengan harga yang lebih murah,” kata Ade. (*)

Redaksi

IMPOR KEMBALI BARANG EKSPOR yang ditolak diluar negeri

Impor barang ekspor yang ditolak oleh pembeli di luar negeri dalam kuantitas yang sama dengan kuantitas pada saat diekspor dapat dilaksanakan tanpa angka pengenal impor (API), hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan nomor 31/M-DAG/PER/7/2007 pasal 3 huruf h.
Berdasarkan ketentuan pasal 11 huruf g Peraturan Menteri Ke-uangan RI nomor 124/PMK.04/2007 tentang Registrasi Importir, dikecualikan dari kewajiban untuk melakukan registrasi importir diantaranya adalah bagi importir yang melakukan pemenuhan kewajiban pabean tertentu yang berkaitan dengan barang-barang yang mendapat persetujuan impor tanpa API/APIT dari instansi terkait yang menerbitkan API/APIT.
Memperhatikan ketentuan tersebut, atas impor kembali barang ekspor yang ditolak pembeli di luar negeri, eksportir tidak perlu melakukan registrasi kepabeanan (memiliki NIK).
Eksportir hanya perlu menga-jukan izin impor tanpa API kepada Direktur Impor, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Depdag.
Setelah mendapatkan surat izin impor tanpa API tersebut, eksportir dapat melakukan impor kembali tanpa memiliki NIK setelah mendapat izin dari Kepala Kantor Pabean tempat pemasukan.
Para pelaku usaha (eksportir) tidak menginginkan adanya penolakan terhadap barang atau komoditi yang diekspor, oleh karena itu diperlukan kemudahan dan kebijakan khusus terhadap impor barang tolakan.
Di tempat terpisah, Isdarmawan Asrikan, Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur menyampaikan bahwa “pada dasarnya eksportir tidak menghendaki adanya penolakan terhadap barang ekspornya sehingga harus diimpor kembali, yang sering terjadi karena adanya penurunan harga atau perbedaan kualitas serta kesengajaan pembeli yang nakal.”
Permasalahan tersebut diharapkan mendapat tanggapan lebih serius dari Pemerintah, sebab dalam proses penolakan tersebut eksportir dihadapkan pada posisi sulit, kalau tidak menjual barang atau komoditi yang dijual lebih rendah dari harga pokok (rugi, red) terpaksa harus menarik kembali barang tersebut dan hal ini dianggap sebagai barang impor.
Sementara itu, saat mengimpor barang tolakan tersebut terkadang mengalami hambatan dilapangan diantaranya masalah regulasi / ijin yang pengurusannya memerlukan waktu dan biaya, hal tersebut akan semakin menurunkan nilai barang yang diimpor.
“Saat mengimpor barang tolakan kita sering mengalami kesulitan, khususnya masalah regulasi yang harus minta persetujuan ke pusat. Seyogyanya perijinan atau persetujuan tersebut cukup ditangani oleh Dinas Perdagangan di daerah dan saat prosesnya dilapangan kalau perlu didampingi surveyor.” Imbuhnya. (*)

Redaksi

Tingkatkan Ekspor Mebel Ke Jepang


Krisis ekonomi global tidak menyurutkan Indonesia untuk menggenjot ekspor mebel ke pasar internasional, khususnya Jepang, dengan mengikuti pameran furniture internasional “Interior Lifestyle” yang berlangsung di Tokyo pada 3-5 Juni 2009.
Menurut Atase Perdagangan Kedutaan Besar RI (KBRI) di Tokyo Tulus Budhianto di Tokyo, Senin, keikutsertaan perusahaan-perusahaan Indonesia dalam salah satu ajang ekspo terbesar di Asia adalah untuk membangkitkan kembali minat Jepang terhadap produk mebel Indonesia, sekaligus melihat perkembangan trend pasar furniture internasional.
“Di pasaran Jepang dan internasional, tuntutan kualitas sudah bisa kita penuhi. Namun yang terpenting adalah meneguhkan jaminan untuk mempertahankan kontinuitas pasokan produk Indonesia dimata para importir Jepang dan negara-negara lainnya,” kata Tulus.
Tulus mengatakan, kehadiran perusahaan Indonesia bisa menjadi semacam bukti kepada Jepang dan juga puluhan importir manca negara lainnya akan keandalan produk mebel Indonesia. Selera pasar Jepang dan negara lainnya juga bisa diketahui jika Indonesia bisa terus terlihat dalam pameran-pameran internasional.
“Itu sebabnya kita tetap perlu mengikuti berbagai pameran Internasional meski di tengah situasi krisis ekonomi global. Artinya kita menciptakan prospek sehingga nanti saat pasar sudah kembali pulih, maka Indonesia bisa meraih keuntungan dari pasar yang sudah tumbuh tersebut,” katanya.
Interior Lifestyle merupakan salah satu pameran interior tahunan terbesar di Asia yang di gelar di ibukota Jepang sejak 1990. Pada 2008, pameran yang bisa disetarakan dengan “Internationale Frankfuter Herbsmesse”, salah satu ajang ekspo furniture besar di Eropa, melibatkan sebanyak 652 peserta dan di kunjungi lebih dari 30.000 orang yang berasal dari berbagai negara.
Peserta rutin biasanya datang dari Australia, Inggris, Denmark, Italia, Korea Selatan, India, Taiwan, Arab Saudi dan juga tidak ketinggalan negara-negara anggota ASEAN. Dalam pameran kali ini, KBRI Tokyo menyertakan sedikitnya tiga perusahaan dari Indonesia yaitu PT. Joshua Cahaya Sentosa, PT. Palem Craft Jogja dan PT. Wirasindo Santakarya.

Diminati
Bagi publik Jepang sendiri, kualitas mebel Indonesia cukup diminati, apalagi produk dari Indonesia dinilai memiliki disain yang unik. Hal itu terlihat dari terus meningkatnya nilai ekspor ke Negeri Sakura sejak 2006.
Sejak tiga tahun lalu, ekspor mebel ke Jepang berturut-turut tercatat sebesar 24,1 miliar dolar AS (2006), naik menjadi 26,4 miliar dolar, kemudian menjadi 32,5 miliar dolar pada 2008. Tahun 2009, saat berlangsungnya krisis, ekspor Indonesia hingga April tercatat sebesar 6,4 miliar dolar.
Pertumbuhan ekspor mebel di dalam negeri sendiri tetap tumbuh, yakni sekitar delapan persen selama 2008, walau telah terjadi kenaikan biaya produksi yang cukup besar. Ekspor ke Jepang sendiri diperkirakan akan mengalami penurunan selama 2009.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Ambar Tjahjono, pemerintah memang dituntut melakukan strategi promosi yang lebih kreatif agar dapat memperluas pasar ekspor tersebut, misalnya dengan mengikuti pameran-pameran besar. (*)

Redaksi

05 Juli 2009

Eksportir Minta Permendag No. 56 DIPERPANJANG


Kalangan eksportir meminta pemerintah memperpanjang pemberlakuan Permendag 56/2008 tentang pengaturan ekspor lima produk tertentu hingga terbentuknya Asean Single Window (ASW).
“Kami minta diperpanjang sampai ASW selesai. Kalau ASW selesai tentunya kita sudah dibentengi dari luar,” kata Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno.
Menurut Benny, selama ini impor ilegal dari China biasanya transit di negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, sebelum akhirnya masuk ke Indonesia. Jika ASW sudah terbentuk secara penuh pada 2012 maka pengawasan impor akan lebih maksimal.
Benny mengatakan pemberlakuan Permendag 56/2008 itu telah sangat membantu berkurangnya produk ilegal masuk ke Indonesia. “Penyerapan garmen dalam negeri naik menjadi 72 persen dan impornya 18 persen saja,” ujarnya.
ASW merupakan sistem layanan publik online yang terintegrasi untuk pelayanan, pengawasan dan penanganan atas lalulintas barang ekspor dan impor antar negara-negara ASEAN.
Untuk negara-negara ASEAN-6 (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina,Singapura dan Thailand) harus sudah mengoperasikan sistem nasionalnya (NSW/National Single Window) dan mulai bergabung dengan Sistem ASW pada 2009.
Sedangkan untuk negara-negara CLMV atau ASEAN-4 (Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam) harus sudah bergabung dengan Sistem ASW paling lambat pada akhir 2012.
Namun, hingga saat ini baru Indonesia dan Malaysia yang siap melakukan interkoneksi NSW secara “live” (langsung) mulai 1 Juli 2009 untuk formulir Surat Keterangan Asal (SKA) form D (SKA ASEAN).
Permendag 56/2008 yang berlaku sejak 1 Januari 2009 mengatur impor produk elektronik, garmen, makanan dan minuman, mainan anak, dan alas kaki hanya melalui lima pelabuhan berlaku hingga 31 Desember 2009.
Impor lima produk tersebut hanya boleh dilakukan importir terdaftar (IT) dan harus dilakukan verifikasi impor sebelum pengapalan.
Senada dengan Benny, Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko juga sepakat agar pengetatan impor lima produk diperpanjang.
“Dampaknya memang positif, kita memang perlu perpanjangan,” ujarnya.
Menurut Eddy, produk alas kaki impor yang ilegal memang ditengarai menurun jumlahnya di pasar lokal, namun ia tetap meminta pemerintah lebih ketat mengawasi pelabuhan kecil yang berpotensi menjadi pintu masuk penyelundupan.
“Sekarang ini banyak juga yang masuk ilegal, kami sedang selidiki. Kalau memang demikian, pelabuhan masuknya ditambah saja tapi sistem pengawasannya harus ketat,” ujarnya.
Eddy mengatakan telah mengusulkan beberapa pelabuhan seperti Tanjung Pinang (Kepulauan Riau), Batam, Padang dan Palembang untuk dijadikan pintu masuk impor lima produk tersebut. “Itu pelabuhan yang perlu dijaga lebih ketat,” tuturnya.

Ekspor Sepatu
Pada kesempatan lain, Edy Wijanarko mengatakan, ekspor sepatu Indonesia selama kuartal II tahun ini diperkirakan mulai tumbuh positif lima persen akibat membaiknya permintaan dari Uni Eropa.
“Memang lagi potensinya ada, tapi seharusnya kita bisa lebih dari itu,” ujarnya.
Eddy menjelaskan, pasar Eropa yang mencakup 37 persen dari total ekspor sepatu Indonesia mulai meningkatkan permintaannya sehingga kinerja ekspor kuartal kedua membaik. “Baru Eropa saja yang membaik, Amerika Serikat belum,” ujarnya.
Pada kuartal I/2009 ekspor sepatu nasional menurun 4 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, dari 467,5 juta dolar AS menjadi 448,8 juta dolar AS.
Sebelumnya Eddy memperkirakan, ekspor sepatu nasional akan membaik pada September 2009.
Selain ekspor yang membaik, Eddy mengatakan produk lokal juga mulai menguasai pasar domestik.
Aprisindo mencatat, sejak penerapan Peraturan Menteri Perdagangan No. 56/2009 tentang aturan impor produk tertentu, sepatu impor legal menurun hingga 30 persen sepanjang kuartal I/2009.
Selama ini, produk sepatu impor menguasai 60 persen atau sekitar Rp38,4 triliun dari total pasar di dalam negeri senilai Rp64 triliun.
“Penjualan sepatu lokal meningkat tujuh persen, tapi mungkin sebenarnya bisa lebih dari itu kalau tidak terjadi krisis,” tuturnya.

Tekstil Terpukul
Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ernovian Gismy mengatakan, derasnya serangan barang impor ke Indonesia sangat memukul pengusaha di Indonesia.
Sehingga tidak kurang 30 persen dari 1105 anggota API terpaksa beralih usaha dan menutup sebagian cabangnya di daerah serta tidak sedikit yang menutup seluruh usahanya. Hingga Maret 2009, kata dia, tidak kurang dari 40 ribu karyawan sektor pertekstilan telah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Jumlah itu, kata dia, belum termasuk perusahaan-perusahaan yang dengan sengaja tidak melaporkan persoalannya terutama terkait masalah PHK.
“Jadi tidak menutup kemungkinan jumlah karyawan yang kini kehilangan pekerjaan jauh lebih banyak,” kata dia. Beberapa perusahaan tekstil yang kini tidak beroperasi diantaranya di daerah Tangerang, Banten, Bandung, Bogor dan Jawa Tengah.
Mengatasi kondisi tersebut agar tidak semakin parah, kata dia, pemerintah harus melakukan koordinasi lebih intensif terutama dalam monitoring dan pengawasan barang masuk. Menurut dia, saat ini masuknya tekstil dari Amerika, Cina dan beberapa negara lainnya, baik yang legal maupun ilegal cukup deras. Sementara, tekstil Indonesia, sangat sulit untuk masuk ke negara-negara tersebut, karena standar baku mutu dan harga yang masih terlalu mahal.
“Kalau koordinasinya jalan, saya kira masuknya barang impor ke Indonesia tidak akan sederas seperti saat ini,” katanya.
Apalagi, Indonesia merupakan pasar yang luar biasa, karena ada sekitar 250 juta orang yang memerlukan sandang. Seharusnya potensi ini yang digaet oleh pengusaha tekstil Indonesia.

Permintaan
Lebih lanjut Ernovian mengatakan, permintaan produk tekstil naik sekitar 15 persen menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres).
“Permintaan kebutuhan tekstil di pasaran naik sekitar 15 persen menjelang Pilpres,” katanya.
Tingginya permintaan tekstil tersebut, lanjutnya, untuk kebutuhan pembuatan spanduk, umbul-umbul, bendera dan sebagainya.
Sementara jumlah kebutuhan tekstil domestik mencapai sekitar 1,3 juta ton per tahun. Dari jumlah itu sekitar 432 ribu ton diantaranya adalah tekstil impor. Mengenai maraknya barang impor ilegal di pasaran, ia mengatakan, itu menjadi ancaman tersendiri bagi produk tekstil lokal. Apalagi tingkat kebutuhan tekstil cukup tinggi dalam beberapa bulan menjelang Pemilu, pasar produk lokal menjadi tergeser.
“Kita berharap agar pemerintah mengetatkan pengawasan dan membuat regulasi yang dapat melindungi pengusaha lokal yang bergerak di bidang tekstil,” ujarnya.
Apabila hal itu dapat berjalan dengan baik, lanjutnya, tentu pengusaha lokal dapat eksis dan berimplikasi pada banyaknya tenaga kerja yang dapat tertampung.
Selain itu, juga untuk melindungi konsumen dalam negeri dari zat yang berbahaya yang menjadi salah satu komponen tekstil impor tersebut.
Untuk itu, ia berharap agar pemerintah atau instansi terkait segera turun ke lapangan untuk menelusuri mata rantai tekstil selundupan yang nota bene merugikan negara, karena tidak membayar pajak atau cukai.
“Tekstil selundupan itu sudah menjadi rahasia umum masuk melalui pelabuhan-pelabuhan kecil, karena di tempat itu pengawasannya agak longgar,” katanya. Ia mengimbuhkan, produk impor itu dapat ditemukan di pasar-pasar berskala besar di Jakarta seperti di Pasar Tanah Abang. (*)

Redaksi

Business Gathering "Upaya Meningkatkan Ekspor Ditengah Krisis"

Sebagai akibat dari adanya krisis global yang melanda kawasan Amerika, Eropa dan Jepang, maka sejak akhir tahun lalu order ekspor dari negara-negara tersebut mulai menurun sehingga mempengaruhi kinerja para eksportir Jawa Timur.
Dalam upaya pemulihan perekonomian di Jawa Timur, Pemerintah melalui dinas terkait diharapkan dapat memberikan stimulus dengan berbagai kebijakan dalam menekan high cost economy diantaranya dengan memberikan pelayanan terpadu, cepat dan berkualitas.
Pernyataan tersebut terekam dalam “Business Gathering” Upaya Meningkatkan Ekspor di Tengah Krisis, yang diselenggarakan oleh Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur, yang bekerjasama dengan Pemerintah Propinsi Jawa Timur, Dinas Perindustrian Propinsi Jawa Timur, Bank Jatim, Asuransi Ekspor Indonesia (ASEI), PT. Perkebunan Nusantara XII (persero), PT. Pelabuhan Indonesia III Cabang, PT. Terminal Petikemas Surabaya, PT. Berlian Jasa Terminal Indonesia serta Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia di Hotel Shangri-La Surabaya, (24/6).
Dalam Business Gathering tersebut juga diinformasikan bahwa perekonomian di Indonesia sudah menunjukkan tanda-tanda pemulihan setelah mengalami krisis sejak pertengahan 2008 lalu. Hal ini terlihat dengan meningkatnya permintaan ekspor Indonesia ke Negara-negara lain seperti China, India, Korea Selatan, dan Jepang pada bulan April-Mei 2009 ini.
Meski pelaku usaha mengakui, kinerja ekspor Jatim secara umum mengalami penurunan sekitar 25-30 persen dibandingkan tahun lalu. Tetapi, untuk perkembangan dari bulan per bulan mengalami kenaikan sekitar 10 persen. Pasalnya, krisis finansial global masih menjadi kendala hingga saat ini.
Ketua GPEI Jatim Isdamarwan Asrikan mengatakan, kondisi global sudah ada tanda-tanda early recovery. Kalau kita lihat hasil stress test lembaga keuangan di AS tidak seburuk seperti yang kita perkirakan sebelumnya. Memperhatikan perkemba-ngannya seperti pendapat masyarakat recovery bisa lebih cepat dari yang kita perkirakan.
Dikatakan, pemulihan ekonomi awal (early recovery) ini terjadi terutama di negara China, India, dan Korea Selatan. “Permintaan ekspor barang atau komoditi kita ke negara-negara tersebut mulai membaik. Dengan lebih cepatnya recovery di China khususnya akan lebih mendorong ekspor kita,” katanya.
“Selain itu, dalam menunjang pemulihan ekonomi salah satu sektor yang perlu mendapat perhatian adalah sektor peningkatan insfrastruktur khususnya pelabuhan, karena peranannya yang sangat penting dalam menunjang kelancaran arus barang baik ekspor maupun impor,” tandasnya.
Dengan perbaikan ini, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester II-2009 akan lebih terbantu, yang sebelumnya hanya megandalkan pada pertumbuhan konsumsi dalam negeri.
Kalau dilihat semester I-2009 sumber pertumbuhannya masih domestik konsumsi, jika terjadi recovery dari faktor eksternal, akan mempercepat recovery perekono-mian Indonesia.

Perekonomian Jatim
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdaga-ngan Jatim, Zainal Abidin, menyampaikan “bahwa sampai hari ini, perkembangan kondisi pereko-nomian Jatim semakin membaik. Bahkan, bisa dikatakan beranjak dari titik nol, terbukti pencapaian inflasinya di bawah tingkat inflasi nasional sebesar 0,04 persen.”
Ia mencontohkan, dari segi utilisasi, perkembangan sektor ini di Jatim diyakini akan meningkat signifikan. Perkembangannya tampak dari eksistensinya selama krisis ekonomi global sekarang ini.
“Kalau saat ini pelaku industri itu bisa bertahan, bukan tidak mungkin ke depan terjadi peningkatan,” katanya.
Dalam mempertahankan eksis-tensinya, kata dia, sektor ini harus ditunjang serangkaian upaya yang dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi para pelaku usaha di bidang utilisasi.
“Upaya tersebut sangat penting, mengingat industri permesinan di provinsi ini perlu banyak direvita-lisasi, terutama karena banyak kesenjangan teknologi antara pelaku usaha dalam negeri dengan asing,” imbuhnya.

Kendala Ekspor
Dalam sambutannya, Ketua GPEI Jatim Isdamarwan Asrikan menyampaikan bahwa “saat ini kendala yang masih dialami oleh para eksportir adalah masalah suku bunga bank, meskipun Bank Indonesia (BI, red) menurunkan BI rate menjadi 7,25 persen, tapi suku bunga yang digunakan bank umum masih di kisaran 14-16 persen.”
“Kendala lainnya adalah masih rumitnya birokrasi perizinan ekspor yang harus diurus di Jakarta. Seyogyanya dapat dilimpahkan ke daerah.” paparnya.
Sebagai akibat krisis global telah terjadi penurunan order ekspor baik secara nasional meupun Jawa Timur. Untuk itu, pihaknya akan meningkatkan penetrasi pasar ekspor ke China, India dan Timur Tengah. “Artinya, pasar tujuan ekspor tidak hanya bergantung ke Eropa, Amerika dan Jepang saja,” tambahnya.
Selain itu, kelangsungan suplay bahan baku dan biaya distribusi industri yang berkaitan dengan infrastruktur serta ketatnya persaingan pemasaran dengan negara-negara lain seperti China, Thailand, Vietnam dan Malaysia menjadi masalah penting bagi para eksportir sementara ekspor non migas dari Jawa Timur menunjuk-kan bahwa 80 persen masih didominasi dari sektor industri dan sisanya 20 persen dari sektor pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan dan pertambangan.
“Untuk menunjang sektor industri pengolahan makanan maupun industri furniture kita masih menggantungkan suplay bahan baku dari luar pulau dari daerah Kalimantan, Sulawesi maupun Indonesia bagian timur yang seharusnya bisa dikembangkan diwilayah Propinsi Jawa Timur sendiri,” ungkapnya.
Sebagai contoh, untuk bahan baku pengolahan biji mete, kita masih mendatangkan dari daerah Kendari, Pulau Raha dan Flores yang harus bersaing dengan para pedagang dari India dan mereka mengekspor langsung dalam bentuk biji dan kemudian diolah menjadi kernel maupun minyak mete sehingga nilai tambahnya dinikmati oleh para pedagang dari India. Padahal, tanaman mete dulunya banyak dihasilkan di daerah Japanan dan Mojosari serta daerah Bangkalan (Ketapang), namun tanaman mete sudah sangat berkurang.
“Untuk itu, melalui acara Business Gathering kali ini kami mengusulkan agar tanaman buah jambu mete maupun buah-buahan lainnya serta kayu-kayuan dapat dikembangkan didaerah jalur lintas selatan maupun didaerah Madura sehingga dapat menunjang kebutuhan para industri pengolahan makanan maupun industri furniture untuk tujuan ekspor.” Imbuhnya.
Selain itu diharapkan adanya percepatan pembangunan infrastruktur didaerah serta mendorong tumbuhnya sentra-sentra industri agribisnis dengan stimulus dana dari Pemerintah Propinsi Jawa Timur, sehingga akan mendorong percepatan pertumbuhan sektor riil didaerah yang diharapkan mampu menyerap tenaga kerja.
Juga diperlukan kerjasama secara sinergi dari semua pihak baik dunia usaha, dinas terkait, perbankan maupun Pemerintah Propinsi Jawa Timur yang mampu dengan cepat memberikan solusi untuk mengatasi kelangsungan produksi distribusi, kelancaran arus barang serta pemasaran.
Pada acara Business Gathering kali ini, selain diselenggarakan acara dialog interaktif juga diselengarakan mini display beberapa produk unggulan dari Jawa Timur diantaranya Asuransi Ekspor Indonesia (ASEI), PT. Perkebunan Nusantara XII (persero) yang menyajikan kopi luak yang mempunyai harga ekspor sampai 100 US$ per kg dan di salah satu counter super market yang ada di Surabaya menjual kopi luak dengan harga 100 ribu per cup, Unit Pelayanan Terpadu Pusat Pelatihan dan Promosi Ekspor (UPTP3E) Disperindag Propinsi Jawa Timur yang menghadirkan berbagai macam handycraft dan makanan ringan, Perum Perhutani KBM-IK Gresik serta Cargo Save Internasional yang menghadirkan produk penyerap kelembaban dalam kontainer.(*)

redaksi

Peluang Ekspor Agribisnis Jagung ( Zea Mays. L)

Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting, selain gandum dan padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah dan Selatan, jagung juga menjadi alternatif sumber pangan di Amerika Serikat.
Penduduk beberapa daerah di Indonesia (misalnya di Madura dan Nusa Tenggara) juga menggunakan jagung sebagai pangan pokok.
Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga ditanam sebagai pakan ternak (hijauan maupun tongkolnya), diambil minyaknya (dari biji), dibuat tepung (dari biji, dikenal dengan istilah tepung jagung atau maizena), dan bahan baku industri (dari tepung biji dan tepung tongkolnya). Tongkol jagung kaya akan pentosa, yang dipakai sebagai bahan baku pembuatan furfural. Jagung yang telah direkayasa genetika juga sekarang ditanam sebagai penghasil bahan farmasi.
Berdasarkan bukti genetik, antropologi, dan arkeologi diketahui bahwa daerah asal jagung adalah Amerika Tengah (Meksiko bagian selatan). Budidaya jagung telah dilakukan di daerah ini 10.000 tahun yang lalu, lalu teknologi ini dibawa ke Amerika Selatan (Ekuador) sekitar 7000 tahun yang lalu, dan mencapai daerah pegunungan di selatan Peru pada 4000 tahun yang lalu. Kajian filogenetik menunjukkan bahwa jagung (Zea mays ssp. mays) merupakan keturunan langsung dari teosinte (Zea mays ssp. parviglumis). Dalam proses domestikasinya, yang berlangsung paling tidak
7000 tahun oleh penduduk asli setempat, masuk gen-gen dari subspesies lain, terutama Zea mays ssp. mexicana. Istilah teosinte sebenarnya digunakan untuk menggambarkan semua spesies dalam genus Zea, kecuali Zea mays ssp. mays. Proses domestikasi menjadikan jagung merupakan satu-satunya spesies tumbuhan yang tidak dapat hidup secara liar di alam. Hingga kini dikenal 50.000 varietas jagung, baik ras lokal maupun kultivar.
Jagung merupakan tanaman semusim (annual). Satu siklus hidupnya diselesaikan dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap pertumbuhan generatif.
Tinggi tanaman jagung sangat bervariasi. Meskipun tanaman jagung umumnya berketinggian antara 1m sampai 3m, ada varietas yang dapat mencapai tinggi 6m. Tinggi tanaman biasa diukur dari permukaan tanah hingga ruas teratas sebelum bunga jantan. Meskipun beberapa varietas dapat menghasilkan anakan (seperti padi), pada umumnya jagung tidak memiliki kemampuan ini.

Peningkatan Peluang Ekspor
Jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan. Daerah-daerah penghasil utama tanaman jagung di Indonesia adalah, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, D.I. Yogyakarta, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Khususnya di Daerah Jawa Timur dan Madura, budidaya tanaman jagung dilakukan secara intensif karena kondisi tanah dan iklimnya sangat mendukung untuk pertumbuhannya. Di Indonesia pada tahun 2004 produksi 11,225 juta ton, pada 2005 meningkat menjadi 12,52 juta ton. Untuk tahun 2006 diperkirakan 12,13 Juta ton.
Pada kesempatan ini didalam mewujudkan suatu sistem pertanian yang terpadu, bahwa perlunya peningkatan produksi agribinis jagung untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan apabila memungkinkan dengan kapasitas produksi yang besar dapat membuka jaringan pasar ekspor Internasional. Apabila dilihat dari kondisi lahan, iklim serta kapasitas produksinya Indonesia cukup mampu didalam peningkatan agribisnis jagung untuk memenuhi permintaan daripada konsumen domestik dan Internasional. Dalam hal ini bagaimana strategi dan pelaksanaan pertanian yang digalakkan dengan integritas dan pemanfaatan lahan serta budidaya dan pertumbuhannya. Menurut survey dan pencatatan USDA, Departemen Pertanian, USA tahun 2005 stoknya masih 122,6 juta ton. Namun, sampai Oktober 2006 yang lalu tinggal 88,1 juta ton.
Menurut analisa ternyata produksi jagung dalam negeri memang belum mampu mencukupi kebutuhan bahan baku industri pakan ternak, untuk itulah dengan berbagai upaya dalam memenuhi permintaan konsumen agribisnis jagung ini, Pemerintah Indonesia telah mencanangkan swasembada jagung pada 2007, dengan target produksi 15 juta ton dikarenakan kebutuhan konsumsi dan industri pakan ternak yang melonjak. Diharapkan dalam pencanangan swasembada agribisnis jagung 2007 dapat berjalan dengan baik sesuai dengan mutu bibit tanaman jagung yang berkualitas didalam pengembangannya. Dimana dengan terbatasnya persediaan jagung dunia untuk ekspor dan meningkatnya permintaan etanol baik di Amerika, China dan berbagai negara berpotensi menciptakan ekspektasi kenaikan harga jagung di pasar dunia untuk beberapa tahun ke depan, Indonesia diharapkan dapat mampu menangkap peluang pasar ini menjadi salah satu acuan untuk mencari celah pasar kebutuhan konsumen di pasar dunia.(*)

Redaksi

Asumsi Harga Minyak 50 - 70 Dolar AS Per Barel

Naik turunnya harga minyak mentah dunia tidak bisa diprediksi dengan pasti, kadang memngalami penurunan sampai dibawah 40 dolar AS per barrel, bahkan sempat mencapai 147 dolar AS per barel. Kenaikan dan penurunan tersebut akan mempengaruhi harga minyak di dalam negeri, untuk mengantisipasinya gejolak tersebut diperlukan patokan harga di Indonesia.
Dirjen Migas Evita Legowo mengatakan, pemerintah memasang asumsi harga minyak di RAPBN 2010 sebesar 50-70 dolar AS per barel atau lebih tinggi dari APBNP 2009 yang sebesar 40-60 dolar AS per barel. Kuota BBM 2010 pun diajukan sebesar 36,5 juta KL.
“Untuk harga Minyak ICP dalam RAPBN 2010 diperkirakan sekitar 50-70 dolar AS per barel. Sedangkan dalam pembicaraan dengan komisi VII pada 29 Januari 2009 telah disepakati Harga minyak ICP 40-60 dolar AS per barel,” katanya.
Untuk kuota subsidi BBM dalam RAPBN 2010 sekitar 36.504.779 KL. Kuota ini terdiri dari premium 21.454.104 KL, kerosene 3.800.0000 KL dan solar 11.250.675 KL.
”Dalam APBN 2009 total kuota bersubsidi sekitar 36.854.488 KL dan dalam pembicaraan dengan komisi VII DPR pada 29 Januari lalu telah disepakati kuota BBM-nya sekitar 38.944.530 KL,” paparnya. Selain itu pemerintah juga mengajukan asumsi lifting dalam RAPBN 2010 sebesar 960 ribu barel per hari atau sama dengan target lifting 2009.
“Asumsi lifting 2010 sama dengan 2009 yaitu 960 ribu bph. Kami belum bisa menaikan. Kami usahakan sama,” ujar Evita.
Untuk lifting gas dalam RAPBN 2010, lanjut Evita, yaitu 7.658 bbtu per hari atau sedikit naik dari lifting gas APBN 2009 yaitu 7.526 BBTU per hari. Sedangkan untuk lifting migas dalam RAPBN 2010 akan meningkat menjadi 2.368 ribu BOEPD dari 2.344 dalam APBN 2009.

Belum Perlu Naik
Harga minyak mentah dunia yang kembali menembus 60 dolar AS per barel membuat harga BBM keekonomian mencapai sekitar Rp 4.900 per liter. Namun APBN dinilai masih aman sehingga pemerintah belum perlu menaikkan harga BBM.
Menurut pengamat perminyakan Kurtubi, penguatan nilai tukar rupiah membantu meredam dampak kenaikan harga minyak akhir-akhir ini.
“Rupiah yang menguat mendorong biaya pokok BBM lebih murah karena untuk impor minyak mentah dan BBM dari luar membutuhkan rupiah yang lebih sedikit,” katanya .
Dengan asumsi harga minyak 60 dolar AS per barel dan rupiah sekitar Rp 10.200 per dolar AS, harga keekonomian BBM mencapai Rp 4.900 per liter. Harga ini sudah termasuk marjin Pertamina, pajak pertambahan nilai dan pajak BBM sebesar 5 persen.
“Memang pemerintah masih mensubsidi Rp 400 per liter. Tapi sampai akhir tahun subsidinya tidak mencapai Rp 50 triliun, jadi tidak memberatkan APBN. Apalagi sebelumnya pemerintah juga sudah mengantongi kelebihan subsidi BBM pada sejak Desember, Januari,” tambahnya.
Jika mempertimbangkan kelebihan subsidi yang sebelumnya diperoleh pemerintah, Kurtubi bahkan memperkirakan APBN 2009 masih bisa bertahan meski harga minyak terus naik sampai 70 dolar AS per barel.
“Jika harga minyak 70 dolar AS per barel dan rupiahnya seperti sekarang, harga keekonomian BBM sekitar Rp 5.900 per barel. Memang akan butuh dana tambahan, tapi itu tidak sebanding dengan dampaknya. Dengan harga BBM yang lebih murah, daya beli masyarakat bisa dipertahankan,” katanya.
Harga BBM yang murah memang bisa menjaga kemampuan daya beli masyarakat. Daya konsumsi masyarakat inilah yang kemudian menjadi salah satu penopang ekonomi Indonesia menghadapi krisis.

Waspadai Pasca Krisis
Krisis telah menyebabkan investasi pada sejumlah proyek-proyek minyak terhambat. Dan begitu krisis usai dan permintaan normal, maka kilang-kilang minyak tak lagi sanggup untuk mencukupi permintaan.
Apa yang terjadi? Tentu saja lonjakan harga minyak mentah dunia. Masalah inilah yang menjadi fokus perhatian para menteri energi negara-negara maju yang tergabung dalam G8.
Dalam pertemuan yang berlangsung di Roma, Italia, para menteri energi G8 menyatakan bahwa harga minyak dapat melonjak lagi ketika krisis ekonomi global mereda dan permintaan kembali normal. Mereka pun menggarisbawahi turunnya investasi pada sejumlah proyek perminyakan.
“Investasi di proyek-proyek energi baru dan teknologi baru kini tertunda atau dibatalkan karena ketidakpastian di pasar finansial dan berkurangnya permintaan,” ujar menteri pengembangan ekonomi Italia menjelang pertemuan G8 . “Ketika krisis usai, risiko tidak cukupnya suplai energi masih ada dan hal itu akan menyebabkan harga minyak tidak stabil dan tinggi,” tambahnya.
Akibat krisis ekonomi, permintaan minyak dunia turun tajam yang diikuti dengan merosotnya harga. Jika harga sempat mengamuk hingga 147,50 dolar AS per barel pada Juli 2008, maka selanjutnya harga terus merosot mencapai titik terendahnya di 32,40 dolar AS per barel pada Desember. Namun dalam sebulan terakhir, harga sudah membaik dan pada pekan lalu sudah bercokol lagi di level 60 dolar AS per barel.
Investasi proyek-proyek yang berhubungan dengan perminyakan pun ikut terpukul selama krisis. International Energy Agency (IEA) memperkirakan eksplorasi dan produksi migas bakal turun hingga 21 persen dibandingkan tahun 2008.
“Ada beberapa keprihatinan ketika permintaan kembali normal, kita mungkin akan menghadapi masalah suplai dalam jangka pendek. Investasi di sektor hulu sangat sangat penting untuk mencegah kekurangan suplai itu,” ujar Direktur Eksekutif IEA, Nobuo Tanaka.
Italia kini tercatat memimpin G8, yang beranggotakan juga Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Jepang, Rusia dan AS. Sebanyak 23 negara juga diundang dalam pertemuan tersebut, termasuk 15 negara berkembang dan penghasil minyak yang mencakup 80% dari suplai dan permintaan minyak dunia. (*)

redaksi

RI Siap Menjadi Hub Port, Ekspor Tak Perlu Lewat singapura

Rata PenuhPelabuhan di Indonesia siap menjadi hub port (pelabuhan penghubung) untuk perdagangan di kawasan Asia. Sekitar 30 persen-40 persen kontainer yang dulu harus lewat Singapura sekarang sudah bisa langsung dari Indonesia, tapi untuk tujuan ke Eropa dan Amerika Serikat ada banyak syarat yang harus dibenahi.
Pelabuhan di Indonesia seperti Tanjung Priok dan Tanjung Perak sebenarnya sudah bisa menjadi pelabuhan penghubung (hub port) untuk perdagangan di kawasan Asia. Kedua pelabuhan tersebut sudah memiliki persyaratan sebagai pelabuhan internasional seperti di Singapura. Mengingat, kapal-kapal container besar dengan kapasitas besar 10 ribu – 12 ribu Teus yang sebelumnya harus lewat Singapura sekarang sudah bisa langsung dari Indonesia.
Pernyataan tersebut disampaikan Direktur Utama Pelindo II Richard J. Lino. Ia memperkirakan, dalam tiga tahun ke depan, ekspor Indonesia bisa langsung dari Tanjung Priok tanpa harus transit di Singapura seperti saat ini.
“Ketika fasilitas di sini sudah siap, kira-kira tiga tahun lagi lah,” ujar Richard, usai meresmikan program pengembangan tahap kedua PTB Jakarta International Container Terminal (JICT) di Jakarta, belum lama ini.
Menurutnya, Indonesia saat ini sudah menjadi hub port (pelabuhan penghubung) untuk perdagangan di kawasan Asia. “Sekitar 30 persen-40 persen kontainer yang dulu harus lewat Singapura sekarang sudah bisa langsung dari Indonesia, tapi untuk tujuan ke Eropa dan Amerika Serikat ada banyak syarat yang harus kita benahi di sini,” jelasnya.
Beberapa syarat yang harus dibenahi antara lain infrastruktur dan fasilitas di pelabuhan. Richard mencontohkan kapal dengan tujuan jauh seperti ke Amerika dan Eropa ukuran kontainernya besar yaitu mencapai 10 ribu-12 ribu TEUs (Twenty feet Equivalent Units) sehingga bobotnya berat dan membutuhkan kedalaman dermaga yang lebih dari 14 meter.
Kualifikasi tersebut telah dimiliki oleh Singapura sedangkan pelabuhan kontainer baru bisa melayani kapal dagang tujuan Asia saja.
Group Managing Director Hucthinson Port Holdings, John Meredith, mengatakan bahwa untuk bisa berkompetisi dengan Singapura, Indonesia harus memiliki terminal kontainer yang luas dengan fasilitas yang terintegrasi. “Tanjung Priok sebenarnya sudah menjadi `small hub port`. Kita perlu perluas agar bisa langsung ekspor ke Amerika dan Eropa. Kita juga perlu menambah fasilitas,” ujarnya.
Meredith menyayangkan sikap Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang menolak penyatuan terminal peti kemas Koja dengan JICT.
“Indonesia harus punya fasilitas besar yang terintegrasi, kita harus bersatu dengan Koja karena kita berkompetisi dengan Singapura. Jika JICT dan Koja disatukan kapal besar bisa berangkat langsung dari Indonesia ke Eropa dan Amerika,” keluhnya.
Pada kesempatan itu, JICT meresmikan program pengembangan fasilitas terminal tahap kedua yang terdiri atas empat unit quay cranes Super Post Panamax, enam unit Rubber-Tyred Gantry Cranes tipe “1 over 6”, dan 26 terminal tractor.
JICT juga telah menyelesaikan perluasan lapangan penumpukan peti kemas dan pembangunan ruang menara kontrol dengan teknologi tinggi.
Terkait fasilitas baru di JICT itu, Meredith mengatakan, fasilitas itu berpotensi mengurangi ketergantungan Indonesia atas biaya transhipment yang mahal di luar negeri (Singapura) dan menawarkan pelayanan dengan biaya yang lebih efektif pada pelanggan domestik dan internasional.
Dengan fasilitas baru itu, JICT dapat menangani 2,5 juta TEUs per tahun dan akan meningkatkan kapasitas layanannya hingga tiga juta TEUs dalam beberapa tahun mendatang. “Produktivitas JICT di dermaga utara meningkat 60 persen dari rata-rata 18 gerakan crane per jam (Movement Crane per Hour/MCH) 10 tahun lalu menjadi 29 MCH,” kata Presiden Direktur JICT Derek Pierson.
Pierson mengatakan, yang masih menjadi masalah di pelabuhan adalah pemeriksaan dokumen di pintu masuk karena dilakukan secara manual. “Masalahnya ada di gerbang karena masih ada pemeriksaan dokumen kertas. Memang ada rencana untuk memasang instalasi automatic gate, tapi butuh persetujuan bea cukai,” ujarnya.
Sementara, Richard mengharapkan, diselesaikannya pembangunan jalan tol Jakarta Outer Ring Road agar akses ke JICT dan terminal peti kemas dan konvensional lain di Tanjung Priok bertambah.

Mulai membaik
Pada kesempatan yang sama, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menuturkan ekspor Indonesia ke negara tujuan ekspor mulai membaik. Hal ini bisa dilihat melalui angka volume kontainer yang melalui pelabuhan, khususnya yang melewati Tanjung Priok.
Tren penurunan ekspor, katanya, sudah melewati titik terendahnya setelah dilibas krisis ekonomi global.
“Jumlah kontainer ekspor turunnya sedikit saja, volumenya hampir sama, turun sedikit saja selama Mei dibanding dengan bulan sebelumnya. Saya pikir ekspor sudah bottom out,” kata Mari.
Membaiknya volume kontainer ekspor dapat dibuktikan melalui lalu lintasnya selama April hingga Mei. Menurut Richard, volume kontainer ekspor melalui Tanjung Priok selama 2 bulan belakangan ini mulai membaik, atau tidak sebesar penurunan pada 2 bulan pertama tahun ini.
Apabila dibandingkan dengan tahun lalu, jelasnya, ekspor selama lima bulan pertama ini hanya turun 10 persen-12 persen, sementara impor turun 30 persen.
“Kelihatannya Juni nanti sudah membaik, Januari-Februari turun banyak, tapi dua bulan terakhir itu lebih baik,” tuturnya.
Presiden Direktur JICT Derek Pierson juga mengatakan hal yang sama. Volume pada Mei belum berjalan normal, tetapi diprediksi berangsur membaik pada bulan-bulan yang akan datang.
Dengan adanya pelabuhan peti kemas berstandar internasional tersebut, lalu lintas ekspor impor melalui jalur laut makin ramai. Kendati demikian, dia mengakui masih adanya persoalan yang mengganjal kegiatan ekspor impor melalui pelabuhan, khususnya persoalan pemeriksaan dokumen kertas.
“Ada rencana untuk menginstalasi gerbang otomatis agar pemeriksaan dokumen bisa diselesaikan secara cepat tanpa harus memeriksa dokumen kertas lagi. Namun, rencana ini harus dibicarakan lebih lanjut dengan Bea Cukai,” kata Pierson.
Sekjen Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Toto Dirgantoro sebelumnya memprediksi, kelesuan ekspor pada kuartal I/2009 masih berlanjut pada kuartal II.
Bahkan, pertumbuhan ekspor secara keseluruhan sepanjang tahun ini dipastikan turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Sama halnya dengan kuartal I/2009, selama kuartal II para pembeli yang melakukan kontrak jangka panjang pun sedikit.
Toto mengharapkan agar pemerintah dapat membantu kinerja ekspor misalnya dengan memperbaiki infrastruktur. Dari 2004 hingga sekarang, lanjutnya, belum ada perbaikan infrastruktur pelabuhan yang signifikan.

Nilai Ekspor
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Rusman Heriawan, nilai ekspor Indonesia Maret 2009 mencapai 8,54 miliar Dolar AS, naik sebesar 20,64 persen dibanding bulan sebelumnya.
“Sementara dibandingkan dengan Maret 2008 masih mengalami penurunan sebesar 28,87 persen,” katanya.
Ekspor nonmigas Maret 2009 mencapai 7,27 miliar dolar AS, naik sekitar 20,08 persen dibanding Februari 2009, sedangkan dibanding eskpor Maret 2008 menurun 21,31 persen.
Secara kumulatif nilai ekspor Indonesia Januari-Maret 2009 mencapai 22,90 miliar dolar AS atau menurun 32,13 persen dibanding periode yang sama tahun 2008.
Sementara ekspor nonmigas mencapai 19,58 miliar atau menurun 25,69 persen.
Peningkatan ekspor nonmigas terbesar Maret 2009 terjadi pada bahan bakar mineral sebesar 444,3 juta dolar AS, sedang penurunan terbesar terjadi pada perhiasan/permata sebesar 74,5 juta dolar AS.
Ekspor nonmigas ke Jepang maret 2009 mencapai angka terbesar yaitu 888,9 juta Dolar AS.
Disusul Amerika Serikat 808,5 juta dan Cina 582,4 juta dolar AS dengan kontribusi ketiganya mencapai 31,35 persen.
Sementara ekspor ke Uni Eropa (27 negara) sebesar 1.212,9 juta dolar AS.
Menurut Sektor, ekspor hasil industri periode januari-Maret 2009 turun sebesar 31,68 persen dibanding periode yang sama tahun 2008.
Sebaliknya ekspor hasil pertanian meningkat 0,87 persen demikian juga ekspor hasil tambang dan lainnya naik sebesar 10,74 persen. (*)

Redaksi

Bappepti Terbitkan Izin Usaha Bursa Komoditi

Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Departemen Perdagangan telah menerbitkan izin usaha Bursa Berjangka kepada PT. Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI).
Surat izin diterbitkan melalui proses yang panjang seperti penelitian semua dokumen yang dipersyaratkan, pemeriksaan fisik, pembahasan peraturan tata tertib bursa hingga “fit and proper test”, jelas siaran pers Bappebti.
Uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) tersebut dilakukan kepada calon direksi dan calon komisaris seperti yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perdagangan berjangka komoditi.
Penerbitan izin BKDI ini berdasarkan surat permohonan nomor 008/SK/ICDX/VIII/2008 tanggal 25 Agustus 2008, yang disampaikan oleh sponsor mewakili kelompok usaha di bidang komoditi emas dan CPO (Crude Palm Oil).
Terbentuknya dua bursa berjangka di Indonesia, yaitu PT Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) yang ber-operasi sejak Desember 2000 dan PT Bursa Komo-diti dan Derivatif Indonesia diharapkan dapat mem-berikan dampak positif bagi pengembangan industri perdagangan berjangka komoditi di Indonesia.
Dengan adanya persaingan sehat antara BBJ dan BKDI para pelaku usaha mempunyai pilihan dalam melakukan kegiatan lindung nilai, investasi dan mendapatkan referensi harga yang dibutuhkan dalam meningkatkan daya saing di pasar global.
Dibentuknya dua bursa berjangka komoditi saat ini, menurut Bappebti sejalan dengan perkembangan yang ada di dunia.
Di Republik Rakyat China saat ini terdapat tiga bursa berjangka, demikian juga yang terdapat di India, Singapura juga terdapat dua bursa berjangka yang aktif, sedangkan Malaysia yang awalnya tumbuh beberapa bursa berjangka namun saat ini digabung menjadi satu yaitu Bursa Malaysia.
Para pengurus BKDI terdiri atas Megian Wijaya selaku direktur utama dan Arwadi J. Setiabudi sebagai direktur. Sedangkan jajaran komisaris di duduki oleh Fenny Widjaya selaku komisaris utama, dan Dibyo Widodo, Hasanudin Massaile dan Reymond Lakmasadi Kristiadi sebagai komisaris.
BKDI atau Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) akan berlokasi di Jalan S Parman Kavling No. 73 Suite A, Jakarta.
Menurut Bappebti, BKDI mempunyai komitmen tinggi untuk memperdagangkan kontrak-kontrak berjangka komoditi primer di Indonesia dari komoditi-komoditi unggulan Indonesia di pasar internasional.
Rencananya BKDI akan melakukan perdagangan berjangka perdananya pada September 2009 dengan menawarkan kontrak berjangka CPO dan Emas.
BKDI akan beroperasi dengan Identrust Security Internasional sebagai lembaga kliring berjangka yang saat ini izinnya sedang dalam proses di Bappebti.
Jika kontrak berjangka CPO dan emas berhasil dan diterima oleh dunia usaha, selanjutnya akan mengembangkan kontrak berjangka komoditi primer lainnya. (*)

Redaksi

BI Rate Turun Jadi 6,75 Persen, Sofyan : Bungan Bank Masih Tinggi Harus Diturunkan


Meneg BUMN Sofyan Djalil mengatakan, penurunan bunga kredit dan bunga simpanan di perbankan tidak hanya dilakukan oleh bank BUMN saja setelah terjadi penurunan BI rate menjadi 6,75 persen. Penurunan bunga bank harus dilakukan seluruh industri perbankan.
Hal ini seiring dengan Bank Indonesia yang kembali menurunkan suku bunga acuannya (BI Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 6,75 persen. Penurunan BI Rate ini mempertimbangkan kondisi perekonomian global triwulan II-2009 yang mulai pulih.
“Kebijakan BI itu sudah benar dengan menurunkan suku bunga acuan. Kebijakan ini (penurunan bunga) berlaku untuk semua bank, tidak hanya bank pemerintah. Pasalnya, bank pemerintah sekarang market sharenya hanya 34 persen,” katanya.
Sofyan yakin, penurunan BI rate sebesar 25 bps menjadi 6,75 persen akan direspon oleh penurunan suku bunga bank. Jadi penurunan tersebut diikuti penurunan suku bunga deposito dan pada akhirnya diikuti penurunan suku bunga kredit.
Pjs Gubernur BI Miranda
Goeltom di sela-sela jumpa
pers di Gedung BI, Jakarta mengatakan, saat ini di negara maju, tanda-tanda awal stabilisasi pemulihan ekonomi sudah berlangsung. Di negara emerging, pemulihan ekonomi semakin menunjukkan penguatan seperti yang dialami China, India, dan Korea Selatan.
“Kecenderungan perekonomian global yang membaik memberikan dampak positif terhadap kinerja ekonomiIndonesia dalam triwulan II-2009,” ujarnya.
Selain itu, penurunan BI Rate juga mempertim-bangkan kondisi dalam negeri yang sudah mulai pulih akibat dampak krisis
ekonomi global. Inflasi
terus menurun, nilai
tukar rupiah stabil,
dan stabilitas sistem perbankan nasional tetap terjaga. “Dengan penurunan BI Rate, diharapkan bisa mempercepat penyaluran kredit dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi,” tuturnya.
Sementara itu, menanggapi penurunan BI Rate, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati terlihat cukup senang dengan kebijakan Bank Indonesia tersebut.
“Penurunan BI Rate tersebut merupakan sinyal positif yang dapat mengarah pada menurunnya suku bunga pinjaman perbankan, sehingga kucuran dana perbankan ke sektor riil diharapkan lebih besar.” katanya.

Ekspansi Kredit
Sementara itu, Kepala Kanwil VIII Bank Mandiri Jiantok Hardjiman optimistis penurunan ini akan mendorong perbankan melakukan ekspansi kredit tahun ini. “Kita terus ekspansi kredit, khususnya kredit mikro (UMKM) yang digenjot sampai Rp 800 miliar di 2009,” kata Jiantok beberapa waktu lalu.
Posisi penyaluran kredit UMKM Bank Mandiri Jatim saat ini baru Rp 513 miliar. “Kita akan tingkatkan sampai 35 persen dari posisi tahun lalu. Sektor ini masih butuh penguatan modal dan maksimal pinjaman Rp 100 juta,” lanjutnya. Outstanding kredit Bank Mandiri Jatim Rp 14 triliun.
Untuk bunga kredit UMKM, menurutnya, akan dikoreksi kembali penurunannya. “Namun tidak bisa linier seperti BI Rate. Bunga kredit mikro Bank Mandiri sekarang flat antara 1,7-2 persen, itupun sudah ada penurunan sebesar 50 bsp pada 1 Juni lalu,” katanya.
Penurunan bunga kredit juga memperhatikan besaran cost of fund yang saat ini masih tinggi di atas 10 persen. Posisi LDR Bank Mandiri masih di kisaran 61,32 persen, ditargetkan bisa 75 persen pada akhir 2009.

Ekspor Mulai Stabil

Kinerja ekspor-impor Indonesia dinilai mulai memasuki fase stabil, untuk kemudian akan meningkat lagi secara bertahap. Surplus neraca perdagangan juga masih dapat dipertahankan sehingga cadangan devisa tetap berpotensi meningkat.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, nilai ekspor Indonesia pada April 2009 mencapai 8,46 miliar dollar AS, turun 1,81 persen dibanding pada bulan sebelumnya.
Adapun nilai impor mencapai 6,38 miliar dollar AS, atau merosot 2,58 persen dibanding pada bulan Maret 2009.
Dengan kinerja ekspor-impor tersebut tercipta surplus neraca perdagangan sebesar 2,08 miliar dollar AS pada April 2009. Penurunan kinerja ekspor-impor pada April 2009 tidak lagi setajam bulan-bulan sebelumnya. Jika dibandingkan tahun lalu, nilai ekspor-impor saat ini memang tergolong rendah. Nilai ekspor April 2009, misalnya, turun 22,55 persen dibandingkan April 2008. Nilai impor bahkan turun lebih tajam, mencapai 38,42 persen.
Kinerja ekspor-impor yang mulai stabil menunjukkan pelambatan pertumbuhan ekonomi global mulai berhenti.
Secara bertahap, ekspor akan mulai meningkat lagi pada triwulan III-2009. Pemulihan ekspor yang signifikan selanjutnya akan terjadi pada tahun 2010. Sekalipun demikian, sektor domestik harus dijaga agar tidak mengalami penurunan yang terlalu signifikan. Pentingnya penurunan suku bunga kredit untuk mendorong pertumbuhan sektor riil.
Penurunan suku bunga kredit ini harus disusul dengan membuka keran kredit bagi sektor- sektor yang masih prospektif di tengah kondisi pelemahan ekonomi saat ini.
Diharapkan banyak pada potensi pemulihan perdagangan internasional yang diperkirakan bisa mendongkrak ekspor Indonesia pada semester II-2009.
Dengan demikian, pertumbuhan ekspor nasional tidak akan seburuk pada triwulan I-2009 yakni minus 19, tetapi akan membaik ke minus 5 hingga minus 7 pada akhir 2009.
Pemulihan akan mulai terjadi pada tahun 2010. Kami melihat adanya tren perdagangan internasional mulai April dan Mei 2009, sehingga kami percaya bisa mengandalkan ekspor sebagai bagian dari faktor yang mendukung pertumbuhan ekonomi 2009.
Sementara, penurunan impor yang lebih tajam dibandingkan penurunan ekspor membuat surplus perdagangan masih bisa dipertahankan. Dengan posisi surplus ini, pertumbuhan ekonomi masih bisa terdorong meski lemah.
Diprediksikan, kinerja ekspor ke depan akan terus membaik. Indikasinya, antara lain, harga minyak dunia di pasar spot naik ke level 67 dollar AS per barrel.
Kenaikan harga minyak menjadi pertanda bahwa pelambatan perekonomian sudah menyentuh dasar, sehingga ke depannya ada kemungkinan terjadi pemulihan ekonomi.
(Semoga krisis cepat berlalu, amin)

RedaksiRata Penuh