Bank Indonesia Surabaya menjamin likuiditas perbankan Jatim relatif aman. Berdasarkan data BI Surabaya, Dana Pihak Ketiga (DPK) meningkat dari posisi Rp 171,5 triliun pada akhir 2008, menjadi Rp 175,8 triliun pada akhir Februari 2009.
Deputi Pemimpin Bank Indonesia Surabaya, Wiyoto mengatakan, indikasi likuiditas perbankan Jatim aman, dapat dilihat dari mulai banyaknya simpanan DPK ke perbankan, dibandingkan akhir tahun lalu. Untuk simpanan dalam bentuk giro, nilainya meningkat dari Rp 31,5 triliun pada akhir 2008, menjadi Rp 32,2 triliun pada akhir Februari. Begitu juga dengan tingkat deposito, dari Rp 78,3 triliun, menjadi Rp 82,7 triliun.
Sementara tingkat tabungan justru mengalami penurunan. Karena bunga deposito dan bunga giro lebih menarik minat nasabah, dari pada bunga tabungan yang hanya dipatok 3-6 persen. Sedangkan bunga deposito dipatok sekitar 10-11 persen. Dan bunga giro juga sekitar 3-6 persen. “Karena tawaran tingkat suku bunga deposito dan giro lebih menggiurkan, maka banyak dari nasabah yang memindahkan DPK mereka ke simpanan deposito dan giro, dari pada ke tabungan. Hal inilah yang membuat tingkat tabungan sedikit menurun. Tapi secara umum, tingkat DPK mengalami kenaikan. Dan ini yang sangat mendukung liquiditas perbankan,” ujar Wiyoto baru-baru ini di Surabaya
Terkait tentang perbankan yang belum bergeming menurunkan suku bunga seiring turunnya BI rate ke level 7,5 persen, hal itu diakui Wiyoto. Realitasnya masih banyak bank yang juga menurunkan tingkat suku bunga kredit mereka.
Wiyoto menilai saat ini bank masih menunggu jatuh tempo akad kredit sekitar 1-2 bulan ke depan dari kesepakatan awal. “Jadi baru dua bulan lagi bunga kredit turun,” katanya.
Sementara itu, Pengamat FE Unair Subagyo mengatakan BI Rate tidak lagi menjadi acuan penurunan suku bunga perbankan karena bank masih berkiblat pada kondisi pasar. Ada kemungkinan bank-bank di Jatim akan menurunkan suku bunga kreditnya tetapi hal itu tergantung kekuatan atau komposisi dana dari masing-masing bank.
Ia menambahkan, saat ini kondisi likuiditas di perbankan masih ketat. Bahkan, ada ungkapan cash is the king (uang tunai adalah raja) masih sangat kental di tengah para bankir. Sebab, meski BI Rate turun tetapi masih ada bank yang memberikan bunga simpanan yang cukup tinggi sehingga persaingan memperoleh dana pihak ketiga (DPK) jadi semakin sengit. “Memang ada upaya mereka perbankan untuk menarik DPK-nya sebesar-besarnya ke bank,” tambahnya.
Secara terpisah, Pengamat Ekonomi dari Regional Economic Development Institute (REDI) Indra Nur Fauzi menuturkan, bunga bank yang berlaku di bank saat ini lebih berkiblat pada kondisi pasar ketimbang bunga acuan BI Rate. “Jika likuiditas tetap seperti sekarang ujung-ujungnya bank tetap mempertahankan bunga simpanannya. Sebab, bank ambruk bukan disebabkan kredit bermasalah tetapi akibat tidak punya likuiditas,” tuturnya.
Indra menjelaskan, langkah pemerintah menurunkan BI rate ini hanya dorongan dari sisi suplai pasar. Menurutnya hal ini perlu diimbangi dari sisi permintaan, mengingat daya beli yang akan menjadi pendorong peningkatan konsumsi masih rendah. “Kalau BI rate sudah bisa turun, harusnya ada kebijakan lain seperti kebijakan fiskal yang lebih baik. Saya usul gaji pegawai naik dan pencairan dana proyek tepat waktu. Ini akan mendorong ekonomi kita tumbuh lebih baik,” ujarnya.(*)
Redaksi
Deputi Pemimpin Bank Indonesia Surabaya, Wiyoto mengatakan, indikasi likuiditas perbankan Jatim aman, dapat dilihat dari mulai banyaknya simpanan DPK ke perbankan, dibandingkan akhir tahun lalu. Untuk simpanan dalam bentuk giro, nilainya meningkat dari Rp 31,5 triliun pada akhir 2008, menjadi Rp 32,2 triliun pada akhir Februari. Begitu juga dengan tingkat deposito, dari Rp 78,3 triliun, menjadi Rp 82,7 triliun.
Sementara tingkat tabungan justru mengalami penurunan. Karena bunga deposito dan bunga giro lebih menarik minat nasabah, dari pada bunga tabungan yang hanya dipatok 3-6 persen. Sedangkan bunga deposito dipatok sekitar 10-11 persen. Dan bunga giro juga sekitar 3-6 persen. “Karena tawaran tingkat suku bunga deposito dan giro lebih menggiurkan, maka banyak dari nasabah yang memindahkan DPK mereka ke simpanan deposito dan giro, dari pada ke tabungan. Hal inilah yang membuat tingkat tabungan sedikit menurun. Tapi secara umum, tingkat DPK mengalami kenaikan. Dan ini yang sangat mendukung liquiditas perbankan,” ujar Wiyoto baru-baru ini di Surabaya
Terkait tentang perbankan yang belum bergeming menurunkan suku bunga seiring turunnya BI rate ke level 7,5 persen, hal itu diakui Wiyoto. Realitasnya masih banyak bank yang juga menurunkan tingkat suku bunga kredit mereka.
Wiyoto menilai saat ini bank masih menunggu jatuh tempo akad kredit sekitar 1-2 bulan ke depan dari kesepakatan awal. “Jadi baru dua bulan lagi bunga kredit turun,” katanya.
Sementara itu, Pengamat FE Unair Subagyo mengatakan BI Rate tidak lagi menjadi acuan penurunan suku bunga perbankan karena bank masih berkiblat pada kondisi pasar. Ada kemungkinan bank-bank di Jatim akan menurunkan suku bunga kreditnya tetapi hal itu tergantung kekuatan atau komposisi dana dari masing-masing bank.
Ia menambahkan, saat ini kondisi likuiditas di perbankan masih ketat. Bahkan, ada ungkapan cash is the king (uang tunai adalah raja) masih sangat kental di tengah para bankir. Sebab, meski BI Rate turun tetapi masih ada bank yang memberikan bunga simpanan yang cukup tinggi sehingga persaingan memperoleh dana pihak ketiga (DPK) jadi semakin sengit. “Memang ada upaya mereka perbankan untuk menarik DPK-nya sebesar-besarnya ke bank,” tambahnya.
Secara terpisah, Pengamat Ekonomi dari Regional Economic Development Institute (REDI) Indra Nur Fauzi menuturkan, bunga bank yang berlaku di bank saat ini lebih berkiblat pada kondisi pasar ketimbang bunga acuan BI Rate. “Jika likuiditas tetap seperti sekarang ujung-ujungnya bank tetap mempertahankan bunga simpanannya. Sebab, bank ambruk bukan disebabkan kredit bermasalah tetapi akibat tidak punya likuiditas,” tuturnya.
Indra menjelaskan, langkah pemerintah menurunkan BI rate ini hanya dorongan dari sisi suplai pasar. Menurutnya hal ini perlu diimbangi dari sisi permintaan, mengingat daya beli yang akan menjadi pendorong peningkatan konsumsi masih rendah. “Kalau BI rate sudah bisa turun, harusnya ada kebijakan lain seperti kebijakan fiskal yang lebih baik. Saya usul gaji pegawai naik dan pencairan dana proyek tepat waktu. Ini akan mendorong ekonomi kita tumbuh lebih baik,” ujarnya.(*)
Redaksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar