Mengenai Saya

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur didirikan pada tanggal 21 Pebruari 1961 dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 167/SK/XI/66. Tujuan Kami, Mengembangkan Perdagangan Internasional (Ekspor) , Menggiatkan Usaha Kecil dan Menengah ( UKM ) dan Industri, Optimalisasi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia , Meningkatkan Pendapatan Devisa Ekspor Non Migas. Visi dan Misi Kami, Meningkatkan Sumber Daya Manusia , Memperluas Jaringan Pemasaran , Meningkatkan Daya Saing di Pasar Global , Meningkatkan Nilai Tambah Produk Ekspor

05 Juni 2009

Tuduhan Transhipment Ekspor Udang Tak Beralasan

Sejak tahun lalu ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat sempat terganggu dengan adanya larangan ekspor udang terkait dengan dugaan transhipment udang dari Cina. Meski begitu ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat masih menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Pernyataan tersebut disampaikan Ketua APCI Jawan Timur Johan Suryadarma disela-sela dialog dengan Drjen Perdagangan Luar Negeeri Diah Maulida, yang diselenggarakan oleh Asosiasi Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur, di Surabaya, belum lama ini.
Dikatakan, Johan, meski ada beberapa kejadian terkait masalah udang yang seharusnya bisa mengurangi nilai ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat, tetapi ekspor Indonesia tidak terpengaruh oleh hal itu. AS tergolong pasar terbesar bagi udang Indonesia, volume ekspor udang ke AS dari tahun ke tahun terus menunjukkan kenaikan yang signifikan.
“Volume ekspor udang Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan adanya kenaikan yang signifikan. Sementara Thailand ekspornya malah menurun sebesar 9 persen dan Vietnam turun 29 persen,” ujarnya.
Hingga saat ini Amerika Serikat dan Uni Eropa masih melakukan penyelidikan terhadap tujuh eksportir udang yang dicurigai melakukan transhipment. “Amerika juga meragukan formulir ekspor DS2031 yang menunjukkan proses penangkapan menggunakan TEDB (Turtle Excluding Device/alat pemindai kura-kura),”tukasnya.
Mengenai tuduhan adanya transhipment udang dari Cina tersebut, pemerintah dan seluruh stakeholder sepakat melakukan tindakan tegas terhadap semua pihak yang terlibat dalam proses itu, termasuk jika melibatkan aparat pemerintah. Kesalahan dari unsur pemerintah, berkaitan dengan penyalahgunaan pengeluaran Surat Keterangan Asal (SKA) maupun dokumen terkait ekspor udang tersebut.
Sementara bagi eksportir, tindakan yang akan diambil pemerintah akan disesuaikan dengan kadar pelanggarannya. Kalau pelanggarannya karena ketidaktahuan peraturan, maka akan diberi peringatan, diberi penjelasan dan dipantau kegiatannya. “Tapi jika pelanggaran dilakukan secara sengaja, maka akan dikenakan sanksi yang lebih berat,”.
Menurutnya, jenis sanksi dan perusahaan yang akan diberi sangsi masih akan dievaluasi karena pemerintah masih menunggu hasil investigasi yang dilakukan pihak Amerika Serikat dan Uni Eropa (UE). Hingga saat ini Amerika Serikat belum pernah mengeluarkan pernyataan embargo terhadap udang dari Indonesia. Bahkan tim dari pemerintah telah melakukan pembahasan di AS.
Permintaan ekspor udang dari Indonesia sejak awal 2009 membaik. Ini, antara lain, karena beberapa negara produsen tidak panen. Situasi ini seharusnya dimanfaatkan pemerintah dengan mendorong program revitalisasi untuk mendorong produksi.
Permintaan ekspor udang naik 7 persen. Ini membuat eksportir kekurangan bahan baku.
Pada kuartal IV-2008, dampak dari krisis keuangan global, permintaan dan nilai jual udang melemah 15 persen. Situasi pasar udang yang membaik, seharusnya mendorong pemerintah untuk mendesak dilanjutkannya program revitalisasi tambak udang PT Aruna Wijaya Sakti atau eks Dipasena,” kata Johan Suryadarma juga Direktur Seafood Service Centre.
Selain itu, katanya, revitalisasi akan menghidupkan petambak. Jika petambak bisa berproduksi optimal masih banyak pasar yang akan menyerap.

Masa Kejayaan
Masa kelam industri udang Tanah Air sejak tahun 2003 membawa sektor ini tertatih-tatih menapak kebangkitan. Kini budidaya udang mulai memasuki babak baru dalam upaya memutus rantai persoalan di tingkat hulu.
Sejak Februari 2009, pemerintah mengoperasikan pusat perbanyakan pemuliaan (multiplication broodstock center) udang vaname di Desa Gelung, Kecamatan Panarukan, Situbondo, Jawa Timur. Pusat perbanyakan pemuliaan itu dibuat untuk menghasilkan induk udang vaname. Pusat pemuliaan serupa juga akan beroperasi di Karangasem, Bali, tahun ini.
Pusat pemuliaan induk udang vaname di Gelung memiliki 12 bak pengembangan calon induk berukuran 60 meter kubik. Enam bak sudah dioperasikan dan diisi 600.000 ekor benih udang (benur).
Metode pemuliaan udang dilakukan dengan pola resirkulasi pengairan secara tertutup. Air buangan dari bak pemuliaan induk akan diolah dengan menggunakan teknik penyaringan (filterisasi) bakteri, pengendapan, penetralan amoniak, dan penyaringan kotoran, lalu dimasukkan kembali ke dalam bak.
“Metode resirkulasi tertutup bertujuan menghindari kondisi air yang kurang bagus dan mempertahankan parameter kualitas air. Kestabilan kualitas air diharapkan meningkatkan produksi udang,” kata Kepala Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo Slamet Subiyakto.
Menurut Slamet, kondisi lingkungan dan kualitas air yang tidak menentu, baik kadar salinitas maupun alkalinitas, menjadi salah satu penyebab merosotnya produksi udang Indonesia. Pusat perbanyakan pemuliaan induk diharapkan menghasilkan udang bermutu yang dapat beradaptasi dengan kondisi perairan dan tahan penyakit.
Melalui proses seleksi individu, hanya 60.000 ekor atau 10 persen dari setiap bak yang diloloskan menjadi induk. Seleksi calon induk meliputi pertumbuhan, daya tahan penyakit, dan morfologi. “Pemuliaan induk udang vaname dalam negeri untuk memutus ketergantungan pada induk impor,” katanya.

Dimulai BBAP Situbondo
Rekayasa genetika untuk pemuliaan induk udang vaname di dalam negeri sebenarnya dimulai oleh BBAP Situbondo sejak tahun 2003 di Pecaron, Situbondo. Pemuliaan induk udang dilakukan dengan metode perkawinan silang induk asal Hawai, Florida, dan lokal yang bebas penyakit (SPF). Persilangan itu diikuti dengan metode seleksi individu untuk memperoleh induk unggulan.
Tahun 2008, rekayasa genetika itu menghasilkan induk udang vaname sebanyak 240.000 ekor, serta benur-benur calon induk. Namun, sosialisasi dan distribusi yang minim, hanya di Pulau Jawa, menyebabkan tingkat penyerapan induk dan benur sangat terbatas. Penyerapan induk udang dalam negeri hanya 30.299 atau 12 persen dari total produksi. Penyerapan benur hanya 360 juta ekor atau 0,9 persen dari total kebutuhan 36,76 miliar ekor.
Dengan adanya pusat perbanyakan pemuliaan induk, produksi induk unggulan nasional itu diharapkan meningkat dan dipasarkan ke tempat-tempat pembenihan (hatchery) rakyat.
Induk udang hasil pemuliaan dijual Rp 25.000 per ekor, atau jauh lebih rendah ketimbang induk impor, yaitu Rp 450.000 per ekor. Sementara itu, harga benur Rp 17-Rp 20 per ekor, atau separuh dari harga benur impor sebesar Rp 35 per ekor.
Pemerintah menargetkan pusat pemuliaan induk udang vaname di Gelung menghasilkan 720.000 ekor induk per bulan. Sementara itu, pusat pemuliaan induk di Karang Asem ditargetkan menghasilkan 640.000 ekor per bulan.
Slamet mengatakan, keberadaan pusat perbanyakan pemuliaan induk udang itu tidak akan sanggup memenuhi semua kebutuhan induk dan benur bagi petambak. Maka, keterlibatan swasta untuk mengembangkan induk dan benur diperlukan.
Di tingkat nasional, produksi udang hingga kini masih di bawah target kendati secara kuantitas menempati urutan kedua terbesar setelah rumput laut. Tahun 2009, pemerintah optimistis menaikkan target produksi udang sebesar 540.000 ton. Guna mencapai target itu, diperlukan induk udang sedikitnya 900.000 ekor dan benur udang 52,31 miliar ekor.
Sementara itu, kebutuhan benur untuk revitalisasi mencapai 7,95 juta ekor.
Budidaya udang Indonesia pernah menoreh masa keemasan pada era 1980-an, ditandai dengan komoditas udang windu menjadi primadona ekspor yang menyumbang 15 persen dari total ekspor nonmigas. Pada tahun 1985-1988, misalnya, terjadi kenaikan ekspor udang dari 30.800 ton senilai 202,3 juta dollar AS menjadi 56.552 ton senilai 499,85 juta dollar AS.
Tahun 2002, produksi udang vaname mencapai puncaknya, yang digambarkan sebagai “serba 70”. Harga benur Rp 70 per ekor dengan kemampuan menghasilkan udang ukuran 70 per kg hanya dalam waktu 70 hari.
Namun, puncak dari produksi udang tidak diikuti dengan upaya mempertahankan mutu induk, perbaikan kualitas tambak, dan daya dukung lingkungan. Induk udang vaname belum bisa diproduksi di dalam negeri sehingga benur udang selalu diimpor setiap tahun. (*)

Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar