Mengenai Saya

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur didirikan pada tanggal 21 Pebruari 1961 dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 167/SK/XI/66. Tujuan Kami, Mengembangkan Perdagangan Internasional (Ekspor) , Menggiatkan Usaha Kecil dan Menengah ( UKM ) dan Industri, Optimalisasi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia , Meningkatkan Pendapatan Devisa Ekspor Non Migas. Visi dan Misi Kami, Meningkatkan Sumber Daya Manusia , Memperluas Jaringan Pemasaran , Meningkatkan Daya Saing di Pasar Global , Meningkatkan Nilai Tambah Produk Ekspor

09 Juli 2009

Bunga Bank Tinggi Picu Lambatnya Industri Tekstil Butuh Investasi Rp. 60 Triliun

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat menilai, lambatnya pertumbuhan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia selama tiga tahun belakangan
karena tingginya suku bunga kredit perbankan. Sejak beberapa tahun lalu suku bunga kredit perbankan sangat tinggi dengan kisaran 16-24 persen. Hal ini menyebabkan penyaluran kredit perbankan terhambat aturan yang ‘rigid’ (kaku) dan ‘interest rate’ (suku bunga) yang tidak kompetitif,” kata Ade Sudrajat.
Sesuai data API, pada tahun 2005 industri tekstil dan produk tekstil di Indonesia berjumlah 2.650 perusahaan dengan tingkat penyerapan tenaga kerja 1,176 juta. Sedangkan pada tahun 2008 jumlahnya meningkat menjadi 2.750 perusahaan dengan tingkat penyerapan tenaga kerja 1,312 juta.
“Saya kira ada yang salah dengan industri tekstil kita yang hanya bertambah 100 perusahaan dengan penambahan tenaga kerja 130 ribu. Seharusnya bisa tumbuh sampai 40 persen dengan melihat makin banyaknya kaum pengangguran di Indonesia,” kata Ade. Selain bunga bank yang sangat mahal, menurut Ade, era Otonomi Daerah (Otda) yang menghasilkan “penguasa-penguasa” baru di daerah-daerah juga memicu kurang bergairahnya industri tekstil di Tanah Air.
“Pemerintah Daerah melalui berbagai Peraturan Daerah (Perda) yang dikeluarkan banyak membuat kebijakan yang tidak pro investasi,” tutur Ade.
Ia mencontohkan, di bidang pertekstilan saja terdapat 107 perijinan yang harus diurus pengusaha. Sebagian besar perijinan tersebut dibuat oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan lima oleh Pemerintah Provinsi. Adapun Pemerintah Pusat tidak membuat perizinan khusus, cuma pengenaan bea masuk barang impor yang dikelola oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Menyangkut peralatan tekstil di Indonesia, Ade berharap pemerintah memperpanjang pemberian insentif 10 persen untuk pembelian mesin baru hingga 2011 guna mengganti mesin tekstil yang sudah berumur di atas 20 tahun.
Negara lain seperti China dan India pemerintahnya memberikan insentif pembelian mesin hingga 10 tahun sehingga kedua negara itu saat ini menjadi penghasil serat sintetis terbesar di dunia.
Senada dengan Ade, Ketua Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSYFI) Koestardjono Prodjolalito mengatakan, kalangan perbankan di Indonesia mengambil keuntungan terlalu besar dari pengusaha dengan menetapkan bunga kredit yang sangat tinggi.
“Sekarang bank-bank pemerintah merasa bangga karena mampu meraup keuntungan triliunan rupiah,” kritik Koestardjono.
Industri serat sintetis di Indonesia yang tahun 2002 berjumlah 18 perusahaan kini tinggal 12 dengan kemampuan menghasilkan serat sintetis sebanyak 1,5 juta ton per tahun.

Butuh Investasi
Industri tekstil dan produk tekstil dalam waktu lima tahun ke depan membutuhkan investasi dana sekitar Rp60,09 triliun untuk dapat meningkatkan ekspor dan penjualan di dalam negeri.
Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat mengatakan, dana sebesar itu dibutuhkan untuk pengadaan bahan baku serat, benang, kain, pakaian jadi, upah tenaga kerja dan pembelian mesin-mesin baru.
“Kalau tidak ada investasi baru kita sulit meningkatkan nilai ekspor tekstil kita ke luar negeri,” kata Ade.
Ia menjelaskan, target rata-rata pertumbuhan penjualan tekstil periode 2010-2015 yaitu ekspor ke negara tujuan utama sembilan persen, penjualan dalam negeri enam persen, dan pasar ASEAN 30 persen.
Selama 2008 sektor industri tekstil dan produk tekstil memberikan kontribusi bagi surplus perdagangan barang Indonesia sebesar 23,04 persen atau sekitar 10,79 miliar dolar AS yang terdiri atas ekspor 5,15 miliar dolar AS, penjualan domestik 5,22 persen serta investasi 0,42 miliar dolar AS dengan tingkat penyerapan tenaga kerja sebanyak 1,31 juta.
Adapun negara utama tujuan ekspor tekstil Indonesia yaitu Amerika Serikat, Jepang, Uni Eropa, Timur Tengah dan Cina.
Nilai ekspor tekstil ke Amerika Serikat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir sejak 2005 hanya tumbuh satu hingga dua persen dengan nilai ekspor tahun 2008 mencapai 4,241 juta dolar AS.
Sedangkan ekspor tekstil Indonesia ke Jepang tahun 2008 mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi mencapai 45 persen dibanding tahun 2007 dengan nilai 503 juta dolar AS.
Meski mengalami kenaikan yang cukup signifikan, menurut Ade, Indonesia perlu membangun kerjasama dengan Vietnam untuk memperbesar nilai ekspor tekstil ke Jepang.
“Kita akan suplai kain ke Vietnam, lalu mereka ekspor garmen ke Jepang. Langkah tersebut dilakukan karena produk Vietnam dan Kamboja tidak dikenakan bea masuk ke pasar Jepang,” kata Ade.
Adapun ekspor tekstil ke Uni Eropa mengalami penurunan selama 2008 dengan nilai 1,670 juta dolar AS karena mahalnya bea masuk barang ke negara-negara Uni Eropa yakni sebesar 13-15 persen.
Sementara itu penyerapan tekstil dan produk tekstil dalam negeri terus meningkat dengan nilai penjualan mencapai 5,22 miliar dolar AS tahun 2008.
“Pasar domestik sangat diandalkan karena pertumbuhan penduduk yang tinggi dan diprediksi pada akhir 2014 akan mencapai 250 juta. Ini tentu akan mendorong daya beli masyarakat yang meningkat,” kata Ade.
Pasar tekstil dalam negeri dikuasai oleh tekstil lokal sekitar 70 persen dan 30 persen sisanya merupakan bahan impor.
“Pemerintah harus mengantisipasi banyaknya barang ilegal yang masuk ke Indonesia terutama dari Cina dengan harga yang lebih murah,” kata Ade. (*)

Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar