Mengenai Saya

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur didirikan pada tanggal 21 Pebruari 1961 dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 167/SK/XI/66. Tujuan Kami, Mengembangkan Perdagangan Internasional (Ekspor) , Menggiatkan Usaha Kecil dan Menengah ( UKM ) dan Industri, Optimalisasi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia , Meningkatkan Pendapatan Devisa Ekspor Non Migas. Visi dan Misi Kami, Meningkatkan Sumber Daya Manusia , Memperluas Jaringan Pemasaran , Meningkatkan Daya Saing di Pasar Global , Meningkatkan Nilai Tambah Produk Ekspor

05 Juni 2009

PELUANG EKSPOR JAMBU MENTE


Salah satu komoditas perkebunan yang cukup penting dalam menyumbang perolehan devisa negara adalah biji jambu mente (cashew nut). Ekspor biji jambu mente dari Indonesia telah mencapai 57 ribu tondengan nilai US$ 37.643.586,20. Adapun luas areal tanaman jambu mente
di Indonesia sekitar 499.279 ha dengan produksi 76.656 ton pertahun.
Di Indonesia, biji jambu merupakan salah satu komoditas yang tidak diatur tata niaganya oleh pemerintah, sehingga harga biji jambu mente di tingkat petani ditentukan mekanisme pasar bebas. Petani juga bebas menjual hasil panennya kepada para pedagang pengumpul, baik berupa biji berkulit (gelondong) maupun biji tanpa kulit (kacang mente). Hal ini sebenarnya merupakan salah satu kendala dalam penerapan pola kemitraan terpadu untuk meningkatkan produksi komoditas biji jambu mente. Namun demikian sudah ada beberapa pengusaha (eksportir) jambu mente yang telah berhasil menerapkan kemitraan dengan petani, khususnya dalam hal pembelian hasil panen jambu mente untuk di ekspor.
Industri pengolahan jambu mente di Jawa Timur masih mengandalkan pasokan dari daerah pengahasil jambu mete di luar jawa seperti Kendari, pulau Raha dan Flores.
Dilain pihak para importir biji jambu mete dari India langsung terjun kesentra-sentra produksi tersebut diatas, sehingga industri di Jawa Timur harus bersaing dengan mereka.
Untuk menunjang industri yang ada di Jawa Timur dahulu mengandalkan tanaman jambu mete di darerah Japanan, Mojosari dan sebagioan Madura tetapi areal dan produksinya semakin berkurang.
Oleh karena itu GPEI Jawa Timur merekomendasikan digalakkannya pengembangan tanaman jambu mete oleh para petani di daerah jalur lintas selatan dan madura disamping tanaman kayu-kayuan yang diperlukan untuk menunjang sektor industri furniture.

Kulit Biji Mete Dapat Jadi Perekat Furnitur
Selama ini, jambu mente sebagian besar diambil oleh importir India dalam bentuk gelondong yang kemudian diolah di India, baik berupa biji mente kupas maupun kulit atau cangkang mente.
Untuk itu, petani jambu mete diminta mengekspor biji mete tanpa kulit bijinya, selain karena biji mete kupas harganya lebih bagus, kulit biji jambu mete ternyata bisa menjadi pengganti bahan baku perekat kayu dan furniture yang selama ini memanfaatkan minyak bumi.
“Sebagai negara pengekspor furniture utama dunia yang butuh bahan perekat melimpah, minyak nabati yang terbarukan lebih baik daripada minyak fosil yang suatu saat akan habis,” kata Dr Budhijanto, Peneliti dari jurusan Teknik Kimia Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
Minyak nabati yang mengandung Fenol Formaldehid cukup bermutu jadi bahan baku perekat kayu dan furnitur, namun percobaan yang telah dilakukan masih harus dicampur dengan 60 persen minyak bumi.
“Saya ingin membuatnya jadi 100 persen minyak kulit biji jambu mete, tanpa campuran minyak fosil,” katanya.
Ditanya mengapa harus dari kulit biji mete yang kurang melimpah di Indonesia, ia menjawab, Fenol Formaldehid itu sendiri sejauh risetnya hanya ada pada minyak kulit biji mete, tak ada di minyak kelapa atau di minyak biji jarak.
Ekspor biji jambu mete Indonesia menurut dia mencapai 57 ribu per tahun dan hanya 3.300 ton per tahun yang dikupas, padahal ketika biji mete dikupas harganya langsung naik. (*)

Redaksi

Dunia Usaha Butuh Stabilitas Nilai Tukar


Naik turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan menimbulkan permasalahan bagi dunia usaha dibidang usahanya masing-masing. Jika rupiah melemah yang diuntungkan adalah eksportir, sebaliknya nilai tukar rupiah menguat tentu importer yang tidak diuntungkan.
Permasalahan tersebut akan menyangkut usaha perdagangan di dalam negeri. Selama ini terjadi fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, yang sampai tulisan ini diturunkan masih berkisar diatas Rp10.000 per dollar AS.
Untuk menjadikan standard keseimbangan nilai tukar yang harmonis, maka dunia usaha meminta kepada pemerintah ada upaya menstabilkan nilai tukar rupiah.
Dunia usaha membutuhkan jaminan pemerintah untuk mampu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah situasi politik yang memanas.
“Penguatan rupiah ok, tapi yang penting buat pengusaha sebenarnya stabilitas nilai tukar rupiah, itu saja,” kata Sekertaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ernovian G Ismy.
Menurut dia, fluktuasi berupa penurunan atau peningkatan nilai tukar rupiah dikisaran Rp100 hingga Rp300 per dolar AS saja akan menyusahkan pengusaha tekstil dan produk tekstil (TPT).
Penguatan nilai tukar rupiah secara drastis dalam waktu singkat, ujar dia, akan menjadi masalah bagi industri tekstil di tanah air, pasalnya produsen tekstil masih mengandalkan bahan baku impor.
“Kita kan masih impor kapas, kalau tekstil itu dijual lagi ke luar negeri mungkin nggak masalah. Namun kalau untuk lokal dan pakai rupiah ya bisa jadi masalah,” ujar dia.
Penguatan nilai tukar rupiah juga membuat pembeli cenderung memilih untuk menunggu. Dampaknya, tekstil akan menumpuk di gudang, hal terburuk produksi dapat dikurangi.
Penetapan kurs tengah dapat dijadikan solusi apabila nilai tukar terlalu fluktuatif. Cara lain yang memang belum populer di Indonesia adalah dengan asuransi.
Meskipun para pengamat ekonomi mengatakan nilai tukar rupiah akan terus menguat bahkan mencapai level Rp8.000 per dolar AS, namun pada perdagangan pek an lalu rupiah turun 10 poin.
Menurut analis keuangan PT Bank Himpunan Saudara Tbk, Rully Nova, melemahnya rupiah akibat tingginya permintaan dolar AS dari perusahaan negara untuk pembayaran utang.
Rupiah sempat diperdagangkan dengan kurs Rp10.890/Rp11.900 per dolar AS.
Menurut Nova, rupiah yang terus melemah akibat memanasnya suhu politik dalam negeri.
Namun, ia mengatakan, rupiah masih memiliki kesempatan untuk menguat karena dolar AS saat ini sedang melemah oleh Euro.
Sebelumnya ekonom dari Indef, Aviliani pun mengatakan, bahwa pengusaha sangat membutuhkan stabilitas nilai tukar untuk tetap berusaha.
Langkah cepat untuk menstabilkan nilai tukar sekarang ini, menurut Aviliani, pemerintah harus segera memberlakukan wajib L/C, sehingga pemerintah dapat dengan mudah mengontrol transaksi mata uang asing.
Industri Terpukul
Penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berpotensi memukul kelangsungan industri padat karya berorientasi ekspor yaitu tekstil dan sepatu.
“Ada sebagian sektor yang dirugikan dengan semakin menguatnya nilai tukar rupiah yaitu industri orientasi ekspor seperti tekstil dan sepatu,” kata Direktur Indef, Ikhsan Modjo.
Ia mengatakan, produk padat karya buatan Indonesia itu terpaksa harus dijual lebih mahal sehingga akan kurang kompetitif dibandingkan produk serupa negara pesaing.
Menurut pengamat ekonomi itu, memang itulah imbas negatif di balik penguatan nilai tukar rupiah yang menggairahkan iklim investasi di tanah air.
“Penguatan nilai tukar rupiah ini positif dan cukup baik untuk menggerakkan roda perekonomian Indonesia tetapi memang ada sektor-sektor yang dirugikan,” katanya. Padahal, sejumlah sektor lain yang tidak berorientasi ekspor termasuk usaha di level mikro dan kecil memiliki kesempatan yang baik untuk semakin berkembang.
Intinya, kondisi tersebut menjadi peluang tersendiri bagi pelaku usaha yang bergerak di sektor riil di tanah air. “Ini sangat bagus karena impor barang modal lebih murah sehingga investasi bisa bergairah,” katanya.
Kesempatan tersebut dapat dimanfaatkan untuk semakin mengoptimalkan penggalian potensi yang ada pada sektor-sektor domestik Indonesia, demikian Ikhsan Modjo. (*)

Redaksi

Ekspor dan Investasi Menjadi Tantangan 2010, Mesin-mesin Pertmbuhan Ekonomi Sedang Kontraksi

Menteri Keuangan sekaligus Menko Perekonomian Sri Mulyani mengatakan, pemerintah mengakui perekonomian di 2009 akan cukup berat dilalui, dengan kondisi puncak krisis perekonomian yang mengakibatkan mesin-mesin perekonomian mengalami kontraksi.
“Mesin-mesin pertumbuhan ekonomi saat ini mengalami kontraksi. Nah sekarang bagaimana policy respons kita menjadi penting,” ujarnya.
Menanggapi prediksi terakhir yang dikeluarkan oleh IMF bahwa perekonomian dunia 2009 akan tumbuh negatif sebesar minus 1,3 persen, Sri Mulyani tidak terkejut terhadap prediksi tersebut.
”(Prediksi IMF) itu masih dalam range, tidak ada yang surprising. Sekitar -1 atau -1,5 persen memang dalam range dan itu meng-confirm bahwa perekonomian 2009 cukup berat,” katanya.
Meskipun begitu, Sri Mulyani mengatakan pemerintah tetap optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2009 akan tetap tumbuh positif sebesar 4 persen sampai 4,5 persen.
IMF sebelumnya memperkirakan perekonomian dunia bakal tumbuh minus 1,3 persen di tahun 2009. Perekonomian dunia baru positif lagi pada tahun 2010, dengan perkiraan pertumbuhan sekitar 1,9 persen.
Lebih lanjut dikatakan, krisis keuangan global masih menghantui di tahun 2010 mendatang. Disebutkan, dua hal yang menjadi tantangan tahun depan, yakni ekspor dan investasi.
“Untuk tahun 2009-2010, tantangan yang harus dihadapi adalah ekspor dan investasi,” katanya.
Menkeu mengatakan, kegiatan ekspor menjadi tantangan karena permintaan akan ekspor dipastikan akan turun menyusul adanya krisis. “Eskpor masih bergantung pada kegiatan ekonomi global dan investasi,” ujarnya.
Ia melanjutkan, selain dari ekspor perolehan dana dapat mengandalkan dari perputaran di dalam negeri. Namun, bila hanya mengandalkan dari dalam negeri, akan terjadi perebutan sumber dana antara pemerintah dan swasta guna membiayai investasi dan belanja yang harus tetap dipertahankan.
“Untuk membiayai defisit, pemerintah menerbitkan surat utang negara yang menggunakan resource dalam negeri. Swasta juga membutuhkan dana. Akan ada kompetisi (crowding out) pemerintah versus swasta,” paparnya.
Sementara, Departemen Luar Negeri RI menyelenggarakan program Updates from the Region bertema “Towards World Ocean Conference and Beyond: North Sulawesi and Economic Opportunities”, yang bertujuan menjembatani keinginan daerah dalam menciptakan hubungan kerja sama dengan investor asing.
Acara ini dihadiri oleh Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, Gubernur Sulawesi Utara Sinyo H Sarundjajang, para duta besar, dan calon investor asing. “Pemerintah Daerah Sulawesi Utara turut menciptakan iklim bisnis dan wirausaha yang kuat, baik untuk investor domestik dan asing,” ujar Menlu Hassan.
Hassan juga mengatakan, Sulut merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi sumber daya alam yang tinggi dengan komoditas unggul, seperti kelapa, cengkeh, kopra, cokelat, kelapa sawit, hasil perikanan, dan pariwisata yang menawan, seperti Taman Laut Bunaken.
Sementara itu, Sinyo memperkenalkan profil provinsi yang terletak di utara Pulau Sulawesi tersebut. Melalui acara tersebut, Hassan juga mempromosikan kegiatan World Ocean Conference (WOC) yang akan diselenggarakan di Manado, 11-15 Mei 2009.
Sebelumnya, Deplu bekerja sama dengan Pemprov Riau mengadakan program serupa pada tahun 2007. Hasilnya, kegiatan tersebut menghasilkan penandatanganan 15 nota kesepahaman (MoU) dengan total investasi sebesar Rp 5,1 triliun.

Ekonomi Dunia
Perekonomian dunia diprediksi mengalami pertumbuhan minus 1,3 persen di tahun 2009. Perekonomian dunia baru positif lagi pada tahun 2010, dengan perkiraan pertumbuhan sekitar 1,9 persen.
Demikian World Economic Outlook (WEO) yang dirilis April. Hampir sebagian besar kawasan diprediksi mengalami pertumbuhan minus selama tahun 2009, sebelum akhirnya membaik di 2010.
Proyeksi yang dirilis dalam WEO April ini berarti mengalami perubahan yang lebih baik ketimbang WEO pada Januari 2009 yang memrediksi pertumbuhan ekonomi dunia akan terus minus selama 2 tahun yakni -1,8 persen tahun 2009 dan -1,1 persen di 2010.
Dalam proyeksi WEO April ini, perekonomian AS masih akan mengalami pukulan terbesar dengan pertumbuhan minus 2,8 persen tahun 2009 dan nol persen di 2009. Dalam proyeksi sebelumnya, AS diprediksi tumbuh -1,2 persen di 2009 dan -1,6 persen di 2010.
Perekonomian negara-negara maju diprediksi akan mengalami pukulan yang paling berat. Khusus untuk ASEAN-5, IMF memrediksi pada tahun 2009 akan mengalami pertumbuhan nol persen di tahun 2009 dan 2,3 persen di tahun 2010. Proyeksi ini lebih baik karena sebelumnya IMF memperkirakan ASEAN-5 tumbuh -2,7 persen di 2009 dan -1,8 persen di 2010.
“Perekonomian global berada dalam resesi yang hebat karena krisis finansial besar dan menyebabkan hilangnya kepercayaan,” jelas IMF.
IMF melihat perekonomian dunia kini tergelincir pada resesi terburuk sejak perang dunia II. Proyeksi ekonomi dunia juga berada dalam ketidakpastian dengan risiko pelemahan yang besar.
IMF juga menyatakan bahwa meluasnya pelemahan ekonomi dunia ini berasal dari eskalasi dramatis dari krisis finansial sejak September 2008 lalu, menyusul kolapsnya bank investasi AS Lehman Brothers.
“Stabilisasi finansial bakal lebih lama dari digambarkan sebelumnya karena melibatkan kompleksitas dari aset-aset yang macet dan pemulihan kepercayaan pada neraca perbankan,” jelas IMF. (*)

Redaksi

Kerajinan Rotan Keluhkan Bahan Baku


Departemen Perindustrian meminta kran ekspor rotan mentah sesuai Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.12/2005 segera ditutup.
Fahmi menjelaskan, ekspor rotan mentah sebaiknya ditutup karena akan mematikan industri furniture dan kerajinan berbasis rotan. “Seharusnya kita ekspor dalam bentuk barang jadi atau barang setengah jadi, bukan rotan mentah seperti dalam Permendag,” katanya. Oleh karenanya, Fahmi meminta aturan tersebut segera direvisi.
Mengingat Indonesia merupakan produsen rotan alam terbesar di dunia, Fahmi mengatakan industri furniture dunia sangat bergantung dengan suplai bahan baku dari Indonesia. “Jangan sampai industri negara lain tumbuh dengan suplai dari kita, tapi industri dalam negeri malah mati,” ujarnya. Selain Indonesia, produsen rotan alam terbesar dunia juga ada di Filipina dan Malaysia.
Menurut Fahmi, dari 22 jenis rotan alam yang bisa diproduksi di dalam negeri, hanya 6 jenis rotan yang bisa digunakan industri furniture dan kerajinan berbasis rotan. “Sisanya baru bisa diekspor, tapi parahnya ternyata yang diekspor yang 6 jenis itu, tersinggung saya,” ujarnya.
Sebelumnya, pengrajin kerajinan dan furniture berbasis rotan di Cirebon sempat melakukan aksi massa ketika Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu melakukan kunjungan kerja di sentra-sentra industri di Cirebon. Mereka menuntut kran ekspor rotan ditutup karena industri kekurangan bahan baku.

Akan Direvisi
Departemen Perdagangan mempersiapkan revisi Permendag No.12/M-DAG/PER/6/ 2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan, tetapi masih tetap membuka keran ekspor komoditas itu untuk periode Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 77.000 ton sama dengan tahun sebelumnya.
Kepala Sub Direktorat Ekspor Produk Kehutanan, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Departemen Perdagangan Lamsudin Sitindaon mengatakan, pihaknya juga mempersiapkan perkembangan realisasi ekspor rotan untuk dilaporkan ke presiden.
“Kami sedang membuat laporan kepada presiden tentang perkembangan ekspor rotan dan pasokan industri domestik. Menteri Perindustrian telah mengirimkan surat kepada presiden tentang keluhan industri kerajinan rotan,” ujarnya.
Dia membantah jika sebelum 2005, ekspor rotan dilarang, tetapi diperbolehkan untuk jenis tertentu.
Hal tersebut menyusul tuntutan pelaku industri rotan yang tergabung dalam Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) untuk merevisi peraturan tersebut agar keran ekspor rotan ditutup.
Depdag, katanya, sedang mempersiapkan laporan realisasi ekspor rotan selama periode Juli 2008-Juni 2009. Dia tidak dapat menjelaskan hal-hal yang akan direvisi dalam peraturan itu.
Pelaku industri rotan dalam negeri meminta agar keran ekspor rotan ditutup untuk menjamin ketersediaan bahan baku rotan.
Selama periode Juli 2008-Juni 2009, Depdag telah membatasi kuota ekspor rotan asalan jenis sega dan irit 25.000 ton, rotan setengah jadi dalam bentuk hati dan kulit rotan yang diolah dari jenis sega dan irit 16.000 ton.
Kuota ekspor rotan setengah jadi dalam bentuk rotan poles, hati dan kulit rotan yang diolah dari jenis bukan sega dan irit 36.000 ton.
Sekjen AMKRI Hatta Sinatra menilai, revisi permendag No. 12/M-DAG/PER/6/2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan tidak dapat memperbaiki industri kerajinan rotan, karena masih tetap memperbolehkan ekspor komoditas itu.
“Revisi itu bagi kami tidak ada artinya dan jalan di tempat. Substansinya tetap ekspor bahan baku rotan dilanjutkan,” ujarnya.
Menurut dia, jika masih tetap dibuka keran ekspor, pasokan untuk industri rotan di dalam negeri akan tetap sulit.
Dia mengungkapkan, bahan baku rotan merupakan bahan baku strategis yang harus dimanfaatkan demi kemajuan dan pertumbuhan industri barang jadi rotan nasional.
Hatta menambahkan revisi tersebut masih membolehkan ekspor dengan memberikan kuota ekspor periode Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 77.000 ton sama dengan periode Juli 2008-Juni 2009.

Produksi
Sementara, rencana Departemen Perdagangan (Depdag) merevisi ketentuan ekspor bahan baku rotan dinilai akan memberi dampak positif bagi industri furniture rotan di Sumatera Utara (Sumut). Pasalnya, dengan pembatasan ekspor akan memberi peluang lebih bagi industri mendapatkan bahan baku.
“Sejak 2 tahun terakhir, bahan baku rotan sudah tidak ada lagi di Sumut. Sehingga, industri terpaksa memasok dari luar daerah,” kata Kepala Seksi Ekspor Hasil Industri Subdinas Perdagangan Luar Negeri (PLN) Efendi Manurung.
Seperti diketahui, Departemen Perdagangan (Depdag) sedang mempertimbangkan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 12 Tahun 2205 tentang Aturan dan Alokasi Ekspor Bahan Baku Rotan.
Efendi Manurung menambahkan, pembatasan ekspor bahan baku bisa menambah dan mengamankan pasokan bahan baku di dalam negeri. Sehingga, daerah-daerah yang memiliki industri berbahan baku rotan tidak lagi khawatir terjadi kelangkaan. “Yang diatur itu kan bahan baku dan setengah jadi, sehingga ekspor barang jadinya bisa didorong,” jelasnya.
Disebutkannya, produk jadi yang diekspor dari Sumut antaralain bola keranjang dan berbagai kerajinan tangan dari rotan. Dengan kondisi krisis bahan baku ditambah krisis keuangan yang menimpa negara-negara tujuan ekspor menyebabkan ekspor komoditas ini tidak lagi rutin. Negara tujuan ekspor antaralain Amerika Serikat, Jepang, dan Malaysia.
“Di Sumut sendiri, pelaku usaha sudah menyiasatinya dengan menggunakan kayu karet. Namun, produksinya belum cukup banyak, dan kurang diminati di beberapa negara tujuan,” lanjutnya.
Dalam rangka peningkatan produksi, lanjutnya, Disperindag juga telah mencoba melakukan koordinasi terkait seperti Dinas Pertanian dan Dinas Kehutanan untuk mengembangkan budidaya rotan maupun kayu karet. “Sudah pernah dikembangkan, tetapi masih perlu ditingkatkan lagi,” tambahnya. (*)

Redaksi

Tuduhan Transhipment Ekspor Udang Tak Beralasan

Sejak tahun lalu ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat sempat terganggu dengan adanya larangan ekspor udang terkait dengan dugaan transhipment udang dari Cina. Meski begitu ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat masih menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Pernyataan tersebut disampaikan Ketua APCI Jawan Timur Johan Suryadarma disela-sela dialog dengan Drjen Perdagangan Luar Negeeri Diah Maulida, yang diselenggarakan oleh Asosiasi Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur, di Surabaya, belum lama ini.
Dikatakan, Johan, meski ada beberapa kejadian terkait masalah udang yang seharusnya bisa mengurangi nilai ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat, tetapi ekspor Indonesia tidak terpengaruh oleh hal itu. AS tergolong pasar terbesar bagi udang Indonesia, volume ekspor udang ke AS dari tahun ke tahun terus menunjukkan kenaikan yang signifikan.
“Volume ekspor udang Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan adanya kenaikan yang signifikan. Sementara Thailand ekspornya malah menurun sebesar 9 persen dan Vietnam turun 29 persen,” ujarnya.
Hingga saat ini Amerika Serikat dan Uni Eropa masih melakukan penyelidikan terhadap tujuh eksportir udang yang dicurigai melakukan transhipment. “Amerika juga meragukan formulir ekspor DS2031 yang menunjukkan proses penangkapan menggunakan TEDB (Turtle Excluding Device/alat pemindai kura-kura),”tukasnya.
Mengenai tuduhan adanya transhipment udang dari Cina tersebut, pemerintah dan seluruh stakeholder sepakat melakukan tindakan tegas terhadap semua pihak yang terlibat dalam proses itu, termasuk jika melibatkan aparat pemerintah. Kesalahan dari unsur pemerintah, berkaitan dengan penyalahgunaan pengeluaran Surat Keterangan Asal (SKA) maupun dokumen terkait ekspor udang tersebut.
Sementara bagi eksportir, tindakan yang akan diambil pemerintah akan disesuaikan dengan kadar pelanggarannya. Kalau pelanggarannya karena ketidaktahuan peraturan, maka akan diberi peringatan, diberi penjelasan dan dipantau kegiatannya. “Tapi jika pelanggaran dilakukan secara sengaja, maka akan dikenakan sanksi yang lebih berat,”.
Menurutnya, jenis sanksi dan perusahaan yang akan diberi sangsi masih akan dievaluasi karena pemerintah masih menunggu hasil investigasi yang dilakukan pihak Amerika Serikat dan Uni Eropa (UE). Hingga saat ini Amerika Serikat belum pernah mengeluarkan pernyataan embargo terhadap udang dari Indonesia. Bahkan tim dari pemerintah telah melakukan pembahasan di AS.
Permintaan ekspor udang dari Indonesia sejak awal 2009 membaik. Ini, antara lain, karena beberapa negara produsen tidak panen. Situasi ini seharusnya dimanfaatkan pemerintah dengan mendorong program revitalisasi untuk mendorong produksi.
Permintaan ekspor udang naik 7 persen. Ini membuat eksportir kekurangan bahan baku.
Pada kuartal IV-2008, dampak dari krisis keuangan global, permintaan dan nilai jual udang melemah 15 persen. Situasi pasar udang yang membaik, seharusnya mendorong pemerintah untuk mendesak dilanjutkannya program revitalisasi tambak udang PT Aruna Wijaya Sakti atau eks Dipasena,” kata Johan Suryadarma juga Direktur Seafood Service Centre.
Selain itu, katanya, revitalisasi akan menghidupkan petambak. Jika petambak bisa berproduksi optimal masih banyak pasar yang akan menyerap.

Masa Kejayaan
Masa kelam industri udang Tanah Air sejak tahun 2003 membawa sektor ini tertatih-tatih menapak kebangkitan. Kini budidaya udang mulai memasuki babak baru dalam upaya memutus rantai persoalan di tingkat hulu.
Sejak Februari 2009, pemerintah mengoperasikan pusat perbanyakan pemuliaan (multiplication broodstock center) udang vaname di Desa Gelung, Kecamatan Panarukan, Situbondo, Jawa Timur. Pusat perbanyakan pemuliaan itu dibuat untuk menghasilkan induk udang vaname. Pusat pemuliaan serupa juga akan beroperasi di Karangasem, Bali, tahun ini.
Pusat pemuliaan induk udang vaname di Gelung memiliki 12 bak pengembangan calon induk berukuran 60 meter kubik. Enam bak sudah dioperasikan dan diisi 600.000 ekor benih udang (benur).
Metode pemuliaan udang dilakukan dengan pola resirkulasi pengairan secara tertutup. Air buangan dari bak pemuliaan induk akan diolah dengan menggunakan teknik penyaringan (filterisasi) bakteri, pengendapan, penetralan amoniak, dan penyaringan kotoran, lalu dimasukkan kembali ke dalam bak.
“Metode resirkulasi tertutup bertujuan menghindari kondisi air yang kurang bagus dan mempertahankan parameter kualitas air. Kestabilan kualitas air diharapkan meningkatkan produksi udang,” kata Kepala Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo Slamet Subiyakto.
Menurut Slamet, kondisi lingkungan dan kualitas air yang tidak menentu, baik kadar salinitas maupun alkalinitas, menjadi salah satu penyebab merosotnya produksi udang Indonesia. Pusat perbanyakan pemuliaan induk diharapkan menghasilkan udang bermutu yang dapat beradaptasi dengan kondisi perairan dan tahan penyakit.
Melalui proses seleksi individu, hanya 60.000 ekor atau 10 persen dari setiap bak yang diloloskan menjadi induk. Seleksi calon induk meliputi pertumbuhan, daya tahan penyakit, dan morfologi. “Pemuliaan induk udang vaname dalam negeri untuk memutus ketergantungan pada induk impor,” katanya.

Dimulai BBAP Situbondo
Rekayasa genetika untuk pemuliaan induk udang vaname di dalam negeri sebenarnya dimulai oleh BBAP Situbondo sejak tahun 2003 di Pecaron, Situbondo. Pemuliaan induk udang dilakukan dengan metode perkawinan silang induk asal Hawai, Florida, dan lokal yang bebas penyakit (SPF). Persilangan itu diikuti dengan metode seleksi individu untuk memperoleh induk unggulan.
Tahun 2008, rekayasa genetika itu menghasilkan induk udang vaname sebanyak 240.000 ekor, serta benur-benur calon induk. Namun, sosialisasi dan distribusi yang minim, hanya di Pulau Jawa, menyebabkan tingkat penyerapan induk dan benur sangat terbatas. Penyerapan induk udang dalam negeri hanya 30.299 atau 12 persen dari total produksi. Penyerapan benur hanya 360 juta ekor atau 0,9 persen dari total kebutuhan 36,76 miliar ekor.
Dengan adanya pusat perbanyakan pemuliaan induk, produksi induk unggulan nasional itu diharapkan meningkat dan dipasarkan ke tempat-tempat pembenihan (hatchery) rakyat.
Induk udang hasil pemuliaan dijual Rp 25.000 per ekor, atau jauh lebih rendah ketimbang induk impor, yaitu Rp 450.000 per ekor. Sementara itu, harga benur Rp 17-Rp 20 per ekor, atau separuh dari harga benur impor sebesar Rp 35 per ekor.
Pemerintah menargetkan pusat pemuliaan induk udang vaname di Gelung menghasilkan 720.000 ekor induk per bulan. Sementara itu, pusat pemuliaan induk di Karang Asem ditargetkan menghasilkan 640.000 ekor per bulan.
Slamet mengatakan, keberadaan pusat perbanyakan pemuliaan induk udang itu tidak akan sanggup memenuhi semua kebutuhan induk dan benur bagi petambak. Maka, keterlibatan swasta untuk mengembangkan induk dan benur diperlukan.
Di tingkat nasional, produksi udang hingga kini masih di bawah target kendati secara kuantitas menempati urutan kedua terbesar setelah rumput laut. Tahun 2009, pemerintah optimistis menaikkan target produksi udang sebesar 540.000 ton. Guna mencapai target itu, diperlukan induk udang sedikitnya 900.000 ekor dan benur udang 52,31 miliar ekor.
Sementara itu, kebutuhan benur untuk revitalisasi mencapai 7,95 juta ekor.
Budidaya udang Indonesia pernah menoreh masa keemasan pada era 1980-an, ditandai dengan komoditas udang windu menjadi primadona ekspor yang menyumbang 15 persen dari total ekspor nonmigas. Pada tahun 1985-1988, misalnya, terjadi kenaikan ekspor udang dari 30.800 ton senilai 202,3 juta dollar AS menjadi 56.552 ton senilai 499,85 juta dollar AS.
Tahun 2002, produksi udang vaname mencapai puncaknya, yang digambarkan sebagai “serba 70”. Harga benur Rp 70 per ekor dengan kemampuan menghasilkan udang ukuran 70 per kg hanya dalam waktu 70 hari.
Namun, puncak dari produksi udang tidak diikuti dengan upaya mempertahankan mutu induk, perbaikan kualitas tambak, dan daya dukung lingkungan. Induk udang vaname belum bisa diproduksi di dalam negeri sehingga benur udang selalu diimpor setiap tahun. (*)

Redaksi

Uni Emirat Arab Pintu Gerbang Ekspor ke Timur Tengah


Sebagai negara termakmur no 4 dunia dengan tingkat daya beli yang tinggi, peluang ekspor produk Indonesia di pasar UEA masih sangat terbuka. UEA juga dapat dijadikan pintu gerbang produk Indonesia untuk penetrasi ke pasar Timur Tengah, Afrika, Asia Selatan dan Eropa Timur mengingat sebagian besar ( sekitar 70 % ) produk impor tersebut dire-ekspor ke negara-negara tersebut.
Dengan GDP sekitar US $ 191 milyar, UEA saat ini merupakan kekuatan ekonomi kedua terbesar setelah Arab saudi. Negara ini, dengan dipelopori Emirat Dubai, sedang mengembangkan diri untuk menjadi “economic hub” dikawasan Timur Tengah.
“Peluang untuk meng-ekspor produk Indonesia ke UEA terbuka luas, oleh karena itu perlu ditingkatkan untuk ekspor ke sana.” ungkap M. Wahid Supriyadi - Duta Besar Indonesia untuk UEA, disela-sela kunjungannya ke Jawa Timur.
Sebagai gambaran, nilai perdagangan RI – UEA saat ini baru mencapai sekitar US$ 1,5 milyar, jauh dibawah China (US$ 20 milyar), India (US$ 19 milyar), bahkan Pakistan (US$ 5 milyar), Thailand (US$ 4 milyar) DAN Malaysia (US$ 3 milyar).
Dibidang Investasi, UEA juga sangat menjanjikan. Sampai saat ini paling tidak nilai investasi dari UEA di Indonesia sudah mencapai lebih dari US$ 6 milyar baik dalam bentuk komitmen maupun dalam proses realisasi.
Dalam kunjungan tersebut, Duta Besar Indonesia untuk UEA diterima oleh Kepala Badan Perencanaan (Bapeprop), Ir. Hadi Prasetyo bersama Kepala Biro Perekonomian Prop. Jatim, Dr. Ir H. RB. Fattah Jasin, MS serta para pelaku usaha.
Sebagai negara yang berbasis pertanian, peluang untuk melakukan kerjasama di bidang agribisnis sangat tinggi. Sekitar 85% produk makanan UEA diimpor dari negara-negara lain, dan bahkan untuk keperluan ketahanan pangan saat ini, UEA telah berupaya untuk melakukan investasi di bidang pertanian di Sudan, Pakistan, dan Kazakhstan.

Peluang Ekspor
UEA merupakan pasar yang potensial untuk produk ekspor Indonesia baik komoditi pertanian maupun produk hasil industri termasuk sektor jasa. Secara umum, semua produk ekspor Indonesia memiliki peluang besar di pasar UEA selama memiliki daya saing. Harga produk Indonesia umumnya lebih mahal dibandingkan produk sejenis dari negara pesaing khususnya China, namun sejauh mutunya dijaga tetap memiliki peluang yang baik di UEA.
Isdarmawan Asrikan, ketua GPEI Jatim menyampaikan “Kunjungan Dubes Indonesia untuk UEA dirasa sangat tepat sekali, karena sejak krisis finansial yang melanda Amerika, Eropa dan Jepang pasar ekspor Indonesia khususnya Jawa Timur menjadi terganggu, sehingga UEA dapat dijadikan pasar alternatif selain China, India dan Timur Tengah.”
Beberapa produk utama dan potensial yang di impor dari Indonesia yang memiliki peluang besar untuk pasar UEA yakni karet, tekstil, furniture, kopi, kakao, komponen kendaran bermotor dan alas kaki.
Sedangkan produk potensial yang perlu mendapat perhatian yakni kulit dan produk kulit, perhiasan (terutama perhiasan dari emas), alat-alat tulis (ATK), rempah-rempah (lada, kayu manis, cengkeh, biji pala dan ketumbar), minyak essensial (astiri dan minyak lainnya).
Disamping produk-produk diatas, produk lainnya yang memiliki peluang besar di UEA baik untuk lokal maupun re-ekspor adalah kayu, kertas, alat-alat kesehatan, minyak kelapa sawit, produk kerajinan, bahan bangunan dan ikan. Building materials juga memiliki peluang besar mengingat di UEA saat ini sedang booming pembangunan proyek properti berupa gedung perkantoran, apartemen dan hotel.
Pada kesempatan tersebut, Hadi Prasetyo menambahkan, “bahwa dalam mendukung ekspor Jawa Timur, Pemprop Jatim akan menyiapkan Layanan Satu Atap serta mendirikan perusahaan Trading House sehingga lebih efisien dan mempermudah layanan produk-produk ekspor terutama produk-produk UKM.”
Selain terkait masalah terbukanya peluang perdagangan ke negara-negara di kawasan UEA, Supriyadi juga menyampaikan tentang penerapan kebijakan perdagangan bebas di kawasan UEA sehingga dalam melakukan perdagangan dengan UEA pada prinsipnya tidak ada hambatan yang berarti baik tarif maupun bukan tarif.
Untuk tarif bea masuk secara umum antara 0-5 %, sementara hambatan lainnya selama ini tidak ada yang dikeluhkan oleh pengusaha eksportir Indonesia. Namun demikian, para pengusaha Indonesia hendaknya memperhatikan tentang latar belakang budaya, waktu, cuaca dan iklim.(*)

Redaksi

DJARWO SURJANTO MENJADI DIRUT PELABUHAN III


Akhirnya datang juga, Djarwo Surjanto kini dipercaya menjadi Direktur Utama PT(Persero)Pelabuhan Indonesia III (Pelindo III) menggantikan Suprihat yang sudah memasuki purna tugas. Djarwo panggilan akrab, tidak asing lagi di lingkungan kerja Pelindo III yang sebelumnya menjadi Direktur Utama Pelabuhan IV Makassar, Ia pernah menjabat Direktur Teknik Pelabuhan III.
Kembalinya Djarwo yang akan menahkodai Pelindo III diharapkan mampu memberikan angin segar dalam koordinasinya dengan mitra kerja dan pelaku usaha terkait jasa kepelabuhanan.
“Pelaku bisnis mengucapkan selamat atas dilantiknya Djarwo Surjanto menjadi Dirut Pelindo III Surabaya, semoga dapat menjadikan mitra kerja yang lebih baik dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya,” kata pelaku bisnis di pelabuhan Tanjung Perak, menanggapi dilantiknya menjadi Dirut Pelindo III.
Dalam perubahan manajemen kepelabuhan seiring dengan diundangkannya UU Pelayaran No 17 tahun 2008, diharapkan mampu mengakomodasi semua kepentingan pelayanan jasa kepelabuhanan demi kelancaran arus barang di pelabuhan. Pelabuhan yang diwacanakan sebagai operator pelabuhan (sambil menunggu terbitnya PP, red) akan bersinergi dengan pelaku usaha swasta lainnya.
Diketahui, bahwa pada Senin 11 Mei 2009, di Kantor Kementerian Negara BUMN Jakarta telah dilakukan pelantikan Direksi Pelabuhan Indonesia I, II, III dan IV, Pelantikan dilakukan langsung Menneg BUMN Sofyan Djalil dan disaksikan Deputi Menneg BUMN Bidang Pariwisata dan Logistik, Hari Susetio, Sekjen Dephub Ikhsan Tatang dan sejumlah pejabat di lingkungan Dephub.Kementerian Negara BUMN
Untuk Pelindo III telah ditunjuk Direktur Utama adalah Djarwo Surjanto, (saat ini Dirut Pelindo IV dan sebelumnya pernah menjabat sebagai Direktur Teknik Pelindo III dan menggantikan Suprihat. Untuk Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha adalah :Husein Latief.(dari Pelindo II), Direktur Operasi dan Teknik adalah Faris Assagaf (tetap), Selanjutnya Direktur Keuangan : Wahyu Suparyono (tetap), dan Direktur Personalia dan Umum A Edy Hidayat Nurjaman menggantikan JD Dunda.
Menurut Kepala Humas Pelindo III Iwan Sabatini, bahwa Pelindo III membawahi 19 Pelabuhan Cabang dan 17 kawasan tersebar di 7 Propinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah yang tahun 2009 telah siap menginvestasikan penataan pelabuhan dan penambahan peralatan sebesar Rp. 1,1 Trilyun untuk meningkatkan kinerja dan pelayanan cepat dan aman.
Untuk Pelindo II, Kementerian BUMN memutuskan mengangkat RJ Lino sebagai Dirut PT Pelindo II menggantikan dirut sebelumnya Abdullah Saifuddin, selain RJ Lino, yaitu Direktur Keuangan Dian M Noer menggantikan Abdulhaq Munawar. Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha Saptono Irianto menggantikan Supadi SW, Direktur Operasi dan Teknik Ferialdy N menggantikan Satoto Prayasutiksno, serta mengangkat Mulyono menggantikan Wahyu Setiakusumah sebagai Direktur Personalia dan Umum.
Menurut Sofyan Djalil, Menteri Negara BUMN mengatakan bahwa pergantian dilakukan pada jabatan yang sudah habis masa tugasnya. ditekankan bahwa pergantian untuk lebih mendorong kinerja keuangan perusahaan “Di tengah perubahan rejim ke pelabuhanan perlu ada perombakan, demi meningkatkan performa perusahaan.
Pada Pelindo I, posisi Dirut tetap dijabat Harry Sutanto, Direktur Operasional ditempati Iman A Sulaiman, Direktur Personalia dan Umum Herman Harianja, Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha Bambang Eka Cahyana, sedangkan Direktur Keuangan Suwono.
Pada Pelindo IV posisi Dirut dijabat Alfred Natsir, Direktur Operasi dan Teknik Imran Iskandar, Direktur Personalia dan Umum Wasis Budiyanto. Direktur Komersil dan Pengembangan Usaha tetap dijabat Max Lumempouw, dan Direktur Keuangan ditempati
Sumaryadi. (*)

Redaksi

Pertumbuhan Ekspor Non Migas Diupayakan Tidak Negatif

Menteri Perdagangan mengatakan, akan mengupayakan volume ekspor nonmigas 2009 tidak tumbuh negatif dengan memperlancar arus ekspor dan diplomasi untuk memperluas akses pasar serta pengamanan perdagangan.
“Target ekspor kita perlebar range-nya dari minus 10 menjadi nol persen. Nol persen itu kondisi yang terbaik dan minus 10 persen itu yang terburuk. Kita lebih banyak pada posisi skenario optimistis,” kata Mendag Mari Elka Pangestu.
Sebelumnya, Depdag memperkirakan pertumbuhan volume ekspor lebih pesimistis yaitu minus lima hingga 10 persen selama 2009.
Menurut Mendag, penurunan harga komoditi ekspor juga mempengaruhi kontraksi pertumbuhan volume ekspor tahun ini. Pertumbuhan negatif juga disebabkan krisis ekonomi global yang menyebabkan turunnya permintaan ekspor dari negara tujuan utama Indonesia seperti Amerika Serikat dan Jepang.
“Pertumbuhan ekspor akan alami penurunan tajam, kita upayakan tidak turun setajam prediksi kita,” ujarnya.
Beberapa upaya yang akan dilakukan untuk mempertahankan kinerja ekspor Indonesia antara lain dengan membuka pasar baru, melakukan diplomasi perdagangan dan negosiasi serta menggalakkan promosi ekspor.
Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta Depdag untuk membuat proyeksi pertumbuhan ekspor yang lebih optimistis. “Saya mengharapkan Depdag membuat proyeksi ekspor yang lebih optimistis,” ujarnya.
Ia memperkirakan total nilai ekspor Indonesia pada 2009 bisa mencapai minus 30 persen. Sedangkan dari sisi volume diperkirakan akan tumbuh negatif 5 sampai 8 persen.
“Bu Mari harus membuktikan kalau prediksi Depkeu salah,” ujarnya.
Menurut dia, tantangan ekonomi dua tahun ke depan relatif masih berat karena imbas krisis global masih akan terasa. Apalagi, negara-negara maju sedang berlomba-lomba mencari pendanaan untuk penyembuhan krisis termasuk dengan menjual surat utang. “Selama 24 bulan ke depan itu adalah the most difficult battle in the global economy. Jadi amunisinya harus cukup untuk apapun yang terjadi,” jelasnya. Lembaga dunia seperti WTO memprediksi volume perdagangan dunia negatif sembilan persen dan Bank Dunia memprediksi negatif empat persen.

Swasta
Sementara, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, bahwa tingkat konsumsi swasta selama kuartal I 2009 masih cukup kuat, sehingga menjadi penyumbang besar pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan pertama 2009.
“Konsumsi swasta, berdasarkan rekaman kita masih cukup kuat,” kata Kepala BPS Rusman Heriawan.
Selain konsumsi swasta, menurut dia, pertumbuhan ekonomi selama kuartal I 2009 juga akan didorong oleh stimulus yang bukan berasal dari APBN tetapi dari pelaksanaan pemilu.
“Bahkan ada gurauan kalau pemilu berulang-ulang, maka akan positif bagi pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Menanggapi prognosa pertumbuhan ekonomi oleh Depkeu sebesar 4,3 - 4,8 persen dan BI sebesar 4,5 - 4,6 persen, Rusman mengatakan, angka tersebut cukup masuk akal.
“Saya kira itu ‘make sense’ karena memang ada ‘slowdown’ ekonomi. Kalau kita lihat YoY kelihatannya kalau tidak ada krisis global, harusnya startnya sudah diatas 6,0 persen,” katanya.
Ia menyebutkan, BPS akan resmi mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal I 2009 sesuai data empiris pada 15 Mei yang akan datang.
Menurut dia, prognosa yang disampaikan Depkeu maupun BI sudah menunjukkan adanya perlambatan ekonomi dibanding tahun lalu.
“Namun konsumsi swasta berdasarkan rekaman kita masih cukup kuat, demikian juga stimulus yang bukan dari APBN seperti Pemilu menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Mengenai dampak stimulus fiskal 2009 terhadap pertumbuhan ekonomi, Rusman mengatakan, stimulus dari APBN secara normal saja sebenarnya sudah cukup besar. “Kalau penyerapan APBN dipercepat, sebenarnya memberikan dampak yang besar kepada pertumbuhan ekonomi. Dampak stimulus fiskal itu tidak seberapa dibandingkan dengan kue APBN yang cukup besar,” katanya.
Menurut dia, tahun 2009 harus diperlakukan secara berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya ketika penyerapan anggaran secara besar-besaran terjadi di akhir tahun.
“Kalau kita pakai ‘business as usual’ di mana penyerapan jatuh di triwulan IV, maka harapan kita terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi menjadi sangat terlambat,” katanya.

Program Stimulus
Menteri Perdagangan mengatakan, realisasi program stimulus perdagangan dalam negeri senilai Rp335 miliar diharapkan mulai dilakukan akhir kuartal 2/2009.
“Akhir kuartal 2 ini kita harapkan sudah mulai ada kegiatan dan harus selesai sebelum akhir tahun,” kata Mendag, Mari Elka Pangestu.
Depdag mendapat dana program stimulus fiskal untuk menggairahkan perdagangan dalam negeri senilai Rp335 miliar yang digunakan untuk meningkatkan pembangunan prasarana pasar, revitalisasi pasar dan gudang produk pangan.
“Dana itu untuk membangun 32 pasar yang berlokasi di 20 kabupaten/kota senilai Rp 215 miliar, sedangkan untuk pembangunan 41 gudang di 35 kabupaten/kota senilai Rp 120 miliar,” jelas Mendag.
Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani menegaskan komitmen pemerintah untuk menggairahkan perdagangan dalam negeri yang menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi nasional.
“Depdag mendapatkan dua program stimulus yaitu untuk pasar tradisional dan pergudangan. Sektor perdagangan ini penting untuk menjaga ekonomi dalam negeri tetap bergerak,” katanya.
Menkeu berharap Depdag bekerjasama dengan pemerintah daerah dapat merealisasikan program stimulus tersebut dengan baik.
“Perdagangan dalam negeri itu jadi ‘engine of growth. Produsen dan konsumen harus memberi tempat yang tepat sehingga masyarakat bisa melakukan kegiatan perdagangan yang positif,” jelasnya.
Pembangunan gudang, lanjut dia, bertujuan untuk menjaga kelancaran distribusi dan pengamanan stok pangan terutama yang harganya sering berfluktuasi.

Pusat Distribusi
Sekjen Depdag, Ardiansyah Parman, menambahkan, pemerintah juga berencana membangun pusat distribusi produk konsumsi masyarakat lainnya agar pasar tradisional bisa lebih kompetitif dibanding pasar moderen.
“Swasta sudah banyak melakukan langkah-langkah seperti itu, karena barang industri sudah established ketimbang produk pertanian,” ujarnya.
Menurut dia, ada tiga faktor yang bisa mempengaruhi harga barang di pasar yaitu lokasi barang yang diproduksi, modal untuk transportasi barang tersebut ke pasar, dan struktur biaya dari barang itu sendiri.(*)

Redaksi

BI Surabaya Jamin Likuiditas Perbankan Jatim Relatif Aman

Bank Indonesia Surabaya menjamin likuiditas perbankan Jatim relatif aman. Berdasarkan data BI Surabaya, Dana Pihak Ketiga (DPK) meningkat dari posisi Rp 171,5 triliun pada akhir 2008, menjadi Rp 175,8 triliun pada akhir Februari 2009.
Deputi Pemimpin Bank Indonesia Surabaya, Wiyoto mengatakan, indikasi likuiditas perbankan Jatim aman, dapat dilihat dari mulai banyaknya simpanan DPK ke perbankan, dibandingkan akhir tahun lalu. Untuk simpanan dalam bentuk giro, nilainya meningkat dari Rp 31,5 triliun pada akhir 2008, menjadi Rp 32,2 triliun pada akhir Februari. Begitu juga dengan tingkat deposito, dari Rp 78,3 triliun, menjadi Rp 82,7 triliun.
Sementara tingkat tabungan justru mengalami penurunan. Karena bunga deposito dan bunga giro lebih menarik minat nasabah, dari pada bunga tabungan yang hanya dipatok 3-6 persen. Sedangkan bunga deposito dipatok sekitar 10-11 persen. Dan bunga giro juga sekitar 3-6 persen. “Karena tawaran tingkat suku bunga deposito dan giro lebih menggiurkan, maka banyak dari nasabah yang memindahkan DPK mereka ke simpanan deposito dan giro, dari pada ke tabungan. Hal inilah yang membuat tingkat tabungan sedikit menurun. Tapi secara umum, tingkat DPK mengalami kenaikan. Dan ini yang sangat mendukung liquiditas perbankan,” ujar Wiyoto baru-baru ini di Surabaya
Terkait tentang perbankan yang belum bergeming menurunkan suku bunga seiring turunnya BI rate ke level 7,5 persen, hal itu diakui Wiyoto. Realitasnya masih banyak bank yang juga menurunkan tingkat suku bunga kredit mereka.
Wiyoto menilai saat ini bank masih menunggu jatuh tempo akad kredit sekitar 1-2 bulan ke depan dari kesepakatan awal. “Jadi baru dua bulan lagi bunga kredit turun,” katanya.
Sementara itu, Pengamat FE Unair Subagyo mengatakan BI Rate tidak lagi menjadi acuan penurunan suku bunga perbankan karena bank masih berkiblat pada kondisi pasar. Ada kemungkinan bank-bank di Jatim akan menurunkan suku bunga kreditnya tetapi hal itu tergantung kekuatan atau komposisi dana dari masing-masing bank.
Ia menambahkan, saat ini kondisi likuiditas di perbankan masih ketat. Bahkan, ada ungkapan cash is the king (uang tunai adalah raja) masih sangat kental di tengah para bankir. Sebab, meski BI Rate turun tetapi masih ada bank yang memberikan bunga simpanan yang cukup tinggi sehingga persaingan memperoleh dana pihak ketiga (DPK) jadi semakin sengit. “Memang ada upaya mereka perbankan untuk menarik DPK-nya sebesar-besarnya ke bank,” tambahnya.
Secara terpisah, Pengamat Ekonomi dari Regional Economic Development Institute (REDI) Indra Nur Fauzi menuturkan, bunga bank yang berlaku di bank saat ini lebih berkiblat pada kondisi pasar ketimbang bunga acuan BI Rate. “Jika likuiditas tetap seperti sekarang ujung-ujungnya bank tetap mempertahankan bunga simpanannya. Sebab, bank ambruk bukan disebabkan kredit bermasalah tetapi akibat tidak punya likuiditas,” tuturnya.
Indra menjelaskan, langkah pemerintah menurunkan BI rate ini hanya dorongan dari sisi suplai pasar. Menurutnya hal ini perlu diimbangi dari sisi permintaan, mengingat daya beli yang akan menjadi pendorong peningkatan konsumsi masih rendah. “Kalau BI rate sudah bisa turun, harusnya ada kebijakan lain seperti kebijakan fiskal yang lebih baik. Saya usul gaji pegawai naik dan pencairan dana proyek tepat waktu. Ini akan mendorong ekonomi kita tumbuh lebih baik,” ujarnya.(*)

Redaksi

Ekspor Furnitur Menurun, Aturan Ekspor jangan Rugikan Daerah Penghasil Rotan


Asosiasi Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) mencatat penurunan produk ekspor furnitur Indonesia pada kuartal I 2009 mencapai 50 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Realisasi anjloknya ekspor ini jauh melampaui perkiraan sebelumnya yang sebesar 30 persen.
Situasi ekspor belum bangkit, pantauan di Surabaya, Semarang ekspor merosot ke 45 persen sampai 50 persen, di triwulan pertama, triwulan kedua nampaknya seperti itu,” kata Ketua Asmindo Jatim Johanes Sumarno.
Dengan kondisi ini, Sumarno sudah berulang kali menyampaikan bahwa dampaknya akan merambat ke pemutusan hubungn kerja (PHK) karyawan yang bergantung pada ekspor ini.
“Saya khawatir ada PHK di industri furnitur,” ucapnya.
Bahkan yang paling parah lagi, sekarang ini para pembeli pasar ekspor melakukan tindakan posisi tawar yang tinggi, dimana pembeli banyak yang menawar atau meminta diskon lebih rendah 30 persen dari harga tahun 2008.
Ekspor produk furnitur atau permebelan per tahun mencapai 2 miliar dolar AS, dan kerajinan mencapai 600 juta dolar AS, sehingga total ekspor anggota Asmindo mencapai 2,6 miliar dolar AS per tahun.
Dikatakan, Industri kerajinan rotan sedang dalam keadaan memprihatinkan, karena adanya pelemahan permintaan. Kondisi industri rotan semakin buruk. Ekspor belum bangkit, turunnya semakin tajam mencapai 45-50 peresen dan masih akan terus berlanjut.
Pengusaha asing, katanya, yang biasanya mengekspor hingga 30 kontainer per bulan turun menjadi 10 kontainer per bulan.
Menurutnya, permintaan para pembeli di Timur Tengah juga menurun. Padahal, sebelumnya pasar itu diharapkan dapat menjadi pasar alternatif.
Ekspor bahan baku rotan, katanya, juga sedang mengalami pelemahan, sehingga jika ekspor rotan ditutup, akan menyebabkan petani rotan semakin kesulitan dalam memasarkan produk rotannya.
Menurut dia, pemerintah dapat menutup keran ekspor rotan dengan catatan membuat buffer stock dengan menyangga seluruh rotan milik petani.
Padahal, katanya, untuk membuat buffer stock itu diperlukan dana Rp500 juta-Rp1 miliar.
Sebaliknya, jika ekspor rotan tetap diperbolehkan, harus ada wajib pasok ke terminal-terminal bahan baku rotan di dalam negeri.
Menurut dia, setiap terminal bahan baku rotan minimal seluas 1.500 hektare dengan kapasitas sedikitnya 200 ton.
Eksportir bahan baku rotan harus dibedakan izinnya dengan eksportir kerajinan rotan, agar tidak terjadi penyalahgunaan dengan menyelundupkan rotan mentah.
Pasokan rotan lebih banyak dibandingkan dengan kebutuhan, karena industri tidak dapat menyerap 100 persen rotan domestik. Apalagi, telah banyak rotan sintetis dari plastik yang mulai banyak digunakan para perajin.

Penghasil rotan
Rencana pemerintah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 12/M-DAG/Per/6/2005 tentang ketentuan ekspor rotan jangan malah merugikan daerah penghasil.
“Jika Mendag akan merevisi kebijakan ekspor rotan, dampaknya langsungnya ke daerah penghasil, yaitu turunnya harga rotan asalan dari petani dan ancaman pemutusan hubungan kerja akibat tutupnya industri pengelolaan setengah jadi,” katanya.
Dia mengemukakan rotan adalah komoditas hasil hutan yang 80 persen berada di hutan Indonesia. Dalam pengelolaan komoditas ini yang terkait langsung adalah mulai dari petani, pengumpul, hingga pabrik pengelolaan bahan baku rotan dan pabrik mebel rotan.
“Jadi bukan hanya satu aspek yang harus diperhatikan, melainkan harus semua yang terlibat dalam proses produksi rotan itu sendiri,” katanya.
Aturan Ekspor Rotan
Departemen Perdagangan mempersiapkan revisi Permendag No.12/M-DAG/PER/6/ 2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan, tetapi masih tetap membuka keran ekspor komoditas itu untuk periode Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 77.000 ton sama dengan tahun sebelumnya.
Kepala Sub Direktorat Ekspor Produk Kehutanan, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Departemen Perdagangan Lamsudin Sitindaon mengatakan, pihaknya juga mempersiapkan perkembangan realisasi ekspor rotan untuk dilaporkan ke presiden.
“Kami sedang membuat laporan kepada presiden tentang perkembangan ekspor rotan dan pasokan industri domestik. Menteri Perindustrian telah mengirimkan surat kepada presiden tentang keluhan industri kerajinan rotan,” ujarnya.
Dia membantah jika sebelum 2005, ekspor rotan dilarang, tetapi diperbolehkan untuk jenis tertentu.
Hal tersebut menyusul tuntutan pelaku industri rotan yang tergabung dalam Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) untuk merevisi peraturan tersebut agar keran ekspor rotan ditutup.
Depdag, katanya, sedang mempersiapkan laporan realisasi ekspor rotan selama periode Juli 2008-Juni 2009. Dia tidak dapat menjelaskan hal-hal yang akan direvisi dalam peraturan itu.
Pelaku industri rotan dalam negeri meminta agar keran ekspor rotan ditutup untuk menjamin ketersediaan bahan baku rotan.
Selama periode Juli 2008-Juni 2009, Depdag telah membatasi kuota ekspor rotan asalan jenis sega dan irit 25.000 ton, rotan setengah jadi dalam bentuk hati dan kulit rotan yang diolah dari jenis sega dan irit 16.000 ton.
Kuota ekspor rotan setengah jadi dalam bentuk rotan poles, hati dan kulit rotan yang diolah dari jenis bukan sega dan irit 36.000 ton.
Sekjen AMKRI Hatta Sinatra menilai, revisi permendag No. 12/M-DAG/PER/6/2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan tidak dapat memperbaiki industri kerajinan rotan, karena masih tetap memperbolehkan ekspor komoditas itu.
“Revisi itu bagi kami tidak ada artinya dan jalan di tempat. Substansinya tetap ekspor bahan baku rotan dilanjutkan,” ujarnya.
Menurut dia, jika masih tetap dibuka keran ekspor, pasokan untuk industri rotan di dalam negeri akan tetap sulit.
Dia mengungkapkan, bahan baku rotan merupakan bahan baku strategis yang harus dimanfaatkan demi kemajuan dan pertumbuhan industri barang jadi rotan nasional.
Hatta menambahkan revisi tersebut masih membolehkan ekspor dengan memberikan kuota ekspor periode Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 77.000 ton sama dengan periode Juli 2008-Juni 2009. (*)

Redaksi

GELIAT EKSPOR JATIM DITENGAH KRISIS


Kalangan eksportir di Jawa Timur saat ini semakin aktif melakukan diversifikasi pasar, upaya ini diyakini dapat meningkatkan kinerja mereka yang sempat turun akibat krisis ekonomi global. Upaya tersebut perlu dukungan pemerintah untuk mengatasi berbagai kendala serta hambatan yang selama ini masih dirasakan pelaku usaha ekspor.
Pernyataan tersebut mengemuka ketika dilakukan dialog koordinasi antara asosiasi ekspor terkait di Jawa Timur dengan Dirjen Perdagangan, Depdag, Diah Maulida, yang diprakarsai oleh Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jatim, di Surabaya, belum lama ini.
Hadir asosiasi terkait diantaranya APCI (Asosiasi Perusahaan Coolstorage Indonesia), Asmindo (Asosiasi Perusahaan Mebel Indonesia), API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia), Asosiasi Rotan, AEKI (Asosiasi Eksportir & Industri Kopi Indonesia), APRISINDO (Asosiasi Persepatuan Indonesia), ASKINDO (Asosiasi Kakao Indonesia) dan INSA Surabaya, serta Disperindag Jawa Timur.
Ketua GPEI Jatim Isdarmawan Asrikan mengatakan, kini para eksportir aktif mencari pasar lain yang potensial. Selain Belgia, juga ada beberapa negara lain yang saat ini masuk ke sepuluh besar negara tujuan ekspor.
Disebutkan, lesunya permintaan dari Amerika Serikat dan Uni Eropa akibat krisis ditengarai mendorong eksportir mengalihkan pasarnya. Tren tersebut mulai terlihat saat ini ketika naiknya ekspor ke Belgia hingga 323,54 persen dibanding bulan sebelumnya.
Bahkan, negara-negara yang sebelumnya tidak masuk sepuluh besar tujuan ekspor, juga mulai muncul di antaranya Jerman dan Belanda.
Berdasarkan data sampai triwulan pertama tahun ini, terang dia, ekspor Jatim turun 8,86 persen dibanding Februari. Penurunan ini dari 675,4 juta dolar Amerika Serikat menjadi 547,9 juta dolar AS.
Sementara secara tahunan (y-o-y), ekspor turun 40,23 persen atau sama dengan pencapaian periode tahun lalu sebesar 916,7 juta dolar AS.
Selain itu, jika dilihat dari negara tujuan ekspornya, Jepang masih menjadi tujuan utama, meskipun ada penurunan sebesar 26,78 persen. Dari 116,4 juta dolar AS pada bulan Februari menjadi 85,2 juta dolar AS pada bulan Maret.
Di peringkat kedua, adalah Amerika Serikat dengan nilai ekspor sebesar 73,2 juta dolar AS atau turun 2,01 persen dibanding bulan sebelumnya yang sebesar 74,7 juta dolar AS.
Sementara itu, Belgia mengalami kenaikan drastis sebesar 323,54 persen menjadi 65,8 juta dolar AS, dari bulan sebelumnya 15,5 juta dolar AS.
Bila dilihat dari komoditinya, nilai ekspor terbesar pada kapal laut dan bangunan terapung senilai 55,5 juta dolar AS atau turun sebesar 6,6 persen dari posisi bulan sebelumnya yang sebesar USD832 ribu. Kemudian, di posisi kedua yakni barang kertas/karton dengan nilai ekspor 54,4 juta dolar AS atau turun 21,86 persen dibanding bulan sebelumnya.
Selanjutnya, kelompok kayu dan barang dari kayu mengalami kenaikan 3,78 persen menjadi 45,8 juta dolar AS.
Dirjen Perdagangan, Depdag, Diah Maulida mengatakan, Departemen Perdagangan terus mencermati arus perdagangan dari aspek pembiayaan dengan memperjuangkan akses untuk trade financing.
“Departemen Perdagangan terus mencermati lingkungan perdagangan global guna melawan kecenderungan proteksionisme seperti penutupan akses pasar atau pendistorsian kompetisi yang tidak sehat terhadap iklim perdagangan global. Hal ini akhirnya dapat mengganggu perekonomian dunia, termasuk di Indonesia,” kata Diah.
Selain itu, Ia terus mencermati situasi ekonomi nasional yang ditandai tekanan terhadap ekspor dan rupiah, tren anjloknya harga komoditas seperti CPO dan karet, serta perlambatan ekonomi yang memicu PHK.
Oleh karenanya, upaya-upaya keras pemerintah termasuk dari Depdag untuk meredam dampak krisis terus digulirkan melalui pengamanan sektor riil, penguasaan pasar domestik, pengamanan transaksi, jalur distribusi, pasokan kebutuhan bahan pokok, debirokratisasi prosedur perdagangan,
peningkatan infrastruktur pasar ritel, branding campaign, perlindungan konsumen, internet marketing, dan program stimulus.
Kesemuanya, kata Diah Maulida, dilakukan dengan simultan termasuk
melalui gerakan promosi untuk menembus pasar ekspor baru. Fokus tindakan pemerintah adalah menggerakkan kekuatan ekonomi dalam negeri melalui peningkatan daya saing domestik untuk meredam dampak negatif krisis global.
Daya saing merupakan faktor penting dalam merebut pasar global. Namun dengan situasi ekonomi dunia yang kurang kondusif akibat krisis ekonomi yang dialami banyak negara di dunia saat ini, tantangan ekspor menjadi lebih besar. Indonesia mau tidak mau dan harus berupaya agar roda perekonomian tetap berjalan.
“Pasar dalam negeri merupakan salah satu peluang besar yang dapat digarap secara lebih baik. Tantangannya adalah, bagaimana industri dan pengusaha Indonesia dapat memproduksi barang dan jasa yang berdayasaing tinggi sehingga dapat merebut hati konsumen dalam negeri.
Dalam hal ini, Pemerintah, termasuk Departemen Perdagangan terus mendorong industri dan pengusaha agar memproduksi barang dan jasa yang berdayasaing.

Bank Ekspor
Lebih lanjut Dirjen Daglu Diah Maulida mengatakan, Bank Ekspor akan diubah menjadi Exim Bank atau LPEI (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia) pada 1 Juli 2009, di 2009 ini perseroan mentargetkan pertumbuhan aset sebesar Rp 2,5 triliun dengan berbagai cara yang dilakukan perseroan di tahun ini.
Sementara informasi, Bank Ekspor Indonesia (BEI) menargetkan pertumbuhan pembiayaan ekspor di 2009 sebesar Rp 2,5 triliun atau naik 30 persen dari outstanding pembiayaan ekspor perseroan di akhir 2008 yang sebesar Rp 11,3 triliun.
“Penurunan ekspor yang terjadi untuk Bank Ekspor tidak kelihatan banyak, karena kita memang fokus ke ekspor. Meskipun secara nasional sudah kelihatan statistiknya ekspor menurun. Tapi penurunan yang terjadi pada kuartal I-2009 karena faktor musiman dan juga karena krisis,” jelasnya.
Pada kuartal I-2009, pembiayaan BEI masih tetap tumbuh 10 persen dibandingkan kuartal IV-2008 meskipun kondisi perdagangan dunia menurun.
“Tapi memang tahun lalu ekspor tumbuhnya fantastis mungkin yang tertinggi di Indonesia. 45-50 persen, biasanya antara 20-30 persen tiap tahunnya,” ujarnya.
Untuk menambah modal pembiayaan dan meningkatkan pembiayaannya, BEI menjajaki pinjaman dari beberapa sumber baik bilateral maupun multilateral seperti dari Jepang dan ADB (Asian Development Bank).
“Dari Jepang sendiri sudah komitmen untuk membantu trade financing kepada Asia termasuk Bank ekspor sebesar 500 juta dolar AS, ADB juga sudah tanya-tanya tapi belum ada jumlahnya. World Bank ingin memberikan penguatan atau pembiayaan pada UKM, World Bank juga akan biarkan ke Indonesia ke Bank Ekspor,” ujarnya.

Ekspor Produk Industri
Diah mengakui, sektor yang paling terpukul krisis adalah produk industri, penurunan kinerja ekspor produk industri selama tiga bulan pertama 2009 turun hingga 31,68 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2008.
Total ekspor Indonesia selama Januari-Maret 2009 mencapai 22,90 miliar dolar AS atau turun 32,13 persen dibanding periode yang sama 2008.
Sedangkan ekspor nonmigas Indonesia mencapai 19,58 miliar dolar AS atau mengalami penurunan sebesar 25,69 persen. Kinerja ekspor Indonesia selama tiga bulan pertama 2009 tertolong oleh meningkatnya ekspor bahan bakar mineral seperti batubara namun tertekan oleh turunnya harga emas, perhiasan dan permata.
Kinerja ekspor produk pertanian masih mengalami kenaikan 0,87 persen sedangkan produk pertambangan naik 10,74 persen. (*)

Redaksi

Tuduhan Transhipment

Sejak tahun lalu ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat sempat terganggu dengan adanya larangan ekspor udang terkait dengan dugaan transhipment udang dari Cina. Meski begitu ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat masih menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Meski ada beberapa kejadian terkait masalah udang yang seharusnya bisa mengurangi nilai ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat, tetapi ekspor Indonesia tidak terpengaruh oleh hal itu. AS tergolong pasar terbesar bagi udang Indonesia, volume ekspor udang ke AS tahun 2003 sebanyak 21.663 ton. Kemudian naik drastis mencapai 46.966 ton atau senilai 300 juta dollar AS di tahun 2004 dan tahun 2005 meningkat lagi menjadi 57.264 ton dengan nilai 399,39 juta dollar AS.
Volume ekspor udang Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan adanya kenaikan yang signifikan. Sementara Thailand ekspornya malah menurun sebesar 9 persen dan Vietnam turun 29 persen.
Hingga saat ini Amerika Serikat dan Uni Eropa masih melakukan penyelidikan terhadap tujuh eksportir udang yang dicurigai melakukan transhipment,”Amerika juga meragukan formulir ekspor DS2031 yang menunjukkan proses penangkapan menggunakan TEDB (Turtle Excluding Device/alat pemindai kura-kura),”tukasnya.
Mengenai tuduhan adanya transhipment udang dari Cina tersebut, pemerintah dan seluruh stakeholder sepakat melakukan tindakan tegas terhadap semua pihak yang terlibat dalam proses itu, termasuk jika melibatkan aparat pemerintah. Kesalahan dari unsur pemerintah, berkaitan dengan penyalahgunaan pengeluaran Surat Keterangan Asal (SKA) maupun dokumen terkait ekspor udang tersebut.
Sementara bagi eksportir, tindakan yang akan diambil pemerintah akan disesuaikan dengan kadar pelanggarannya. Kalau pelanggarannya karena ketidaktahuan peraturan, maka akan diberi peringatan, diberi penjelasan dan dipantau kegiatannya. “Tapi jika pelanggaran dilakukan secara sengaja, maka akan dikenakan sanksi yang lebih berat,”.
Menurutnya, jenis sanksi dan perusahaan yang akan diberi sanksi masih akan dievaluasi karena pemerintah masih menunggu hasil investigasi yang dilakukan pihak Amerika Serikat dan Uni Eropa (UE). Hingga saat ini Amerika Serikat belum pernah mengeluarkan pernyataan embargo terhadap udang dari Indonesia. Bahkan tim dari pemerintah telah melakukan pembahasan di AS dua pekan lalu.
Selain itu, Mendag dan kalangan pengusaha juga akan ke AS pekan depan untuk membahas secara baik masalah-masalah perdagangan kedua negara untuk mencegah kasus seperti itu terulang lagi. “Rencana kita adalah memperbaiki sistim pelacakan asal udang tersebut dan meningkatkan sosialisasi kepada seluruh stake holder mengenai peraturan di AS dan UE,”.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Fredy Numberi mengatakan, bahwa dalam kasus transhipment udang dari Cina itu, ditengarai melibatkan aparat pemerintah. Sanksi untuk pejabat yang terlibRata Penuhat transhipment tersebut, menurut aturan dapat diturunkan jabatannya atau tidak naik pangkat selama satu periode.
Sementara, sanksi untuk pengusaha pelaku transhipment akan diberikan secara hati-hati karena industri udang melibatkan sekitar 15 juta tenaga kerja. “Mengenai cabut ijin akan ada pertimbangan, dan kita tidak bisa bilang dia sama sekali tidak boleh ekspor ke negara lain,”jelas Fredy. (*)

Redaksi