Mengenai Saya

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur didirikan pada tanggal 21 Pebruari 1961 dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 167/SK/XI/66. Tujuan Kami, Mengembangkan Perdagangan Internasional (Ekspor) , Menggiatkan Usaha Kecil dan Menengah ( UKM ) dan Industri, Optimalisasi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia , Meningkatkan Pendapatan Devisa Ekspor Non Migas. Visi dan Misi Kami, Meningkatkan Sumber Daya Manusia , Memperluas Jaringan Pemasaran , Meningkatkan Daya Saing di Pasar Global , Meningkatkan Nilai Tambah Produk Ekspor

18 Maret 2009

Disepakati Perdagangan Bebas ASEAN - Australia - New Zealand


Sejumlah 98,10 persen produk ekspor Indonesia akan menikmati tarif 0 persen di Australia pada 2010 menyusul berlaku efektifnya perjanjian perdagangan bebas Asean-Australia dan Selandia Baru (AANZ-FTA).
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan untuk tahun pertama berlakunya perjanjian itu, Oktober 2009, sebanyak 93 persen dari ekspor Indonesia akan masuk ke pasar Australia dengan bea masuk 0 persen, sedangkan untuk pasar Selandia Baru terdapat 78,8 persen dari total ekspor Indonesia ke negara itu.
Pada tahun berikutnya 2010, bea masuk 0 persen akan dinikmati 98,1 persen total ekspor Indonesia dan 79,95 persen untuk pasar Selandia Baru.
“Itu merupakan komitmen dari Australia dan Selandia Baru,” ujarnya, belum lama ini.
Indonesia, katanya, memberikan komitmen untuk membebaskan bea masuk 0 persen terhadap kurang lebih 85 persen dari pos tarif negara itu secara bertahap dalam jangka waktu 2009-2014 (normal track).
“Mitra negosiasi kita lebih maju jadi kita punya waktu 5 tahun untuk menurunkan bea masuk yang 85 persen itu. Setiap tahun, akan kita turunkan 17 persen,” tuturnya.
Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional Departemen Perdagangan Gusmardi Bustami mengatakan, perundingan tersebut akan berlaku efektif pada Juli tahun ini.
“Implementasi AANZ-FTA bergantung pada kecepatan ratifikasi dari 12 negara yang masuk dalam perundingan tersebut.”
Pada tahun ini, terdapat beberapa produk impor dari Australia yang akan mendapatkan bea masuk 0 persen, di antaranya binatang hidup termasuk sapi, ikan, udang, mentega, telur, keju, pohon-pohon hidup, garam lainnya, bunga potong, produk plastik, produk kulit, dan produk karet. Sebelumnya, produk impor tersebut dikenakan bea masuk 5 persen-10 persen.
Untuk beberapa produk, seperti sapi hidup dan susu, penurunan bea masuk akan dikenakan 2017 hingga 2020 (termasuk produk sensitif).
Australia, katanya, akan mempercepat penurunan bea masuk untuk tekstil dan produk tekstil (TPT) dan sepatu yang kini dikenakan bea masuk 5 persen-17,5 persen, dari 2012-2020 menjadi 2009-2015.
Penurunan bea masuk yang lebih cepat bagi produk Indonesia dibandingkan dengan komitmen Australia kepada Malaysia dan Thailand juga terhadap 25 produk otomotif.
Mendag berharap dengan dimulainya negosiasi ini, Australia dan Selandia Baru melihat Indonesia tidak hanya sebagai pasar, tetapi juga sebagai basis produksi untuk pasar Asean.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Elektronika Indonesia Rahmat Gobel menuturkan, kerja sama tersebut akan mendorong pertumbuhan industri di Tanah Air.
Pasalnya, Australia memiliki standar kualitas yang tinggi terhadap produk yang masuk ke negaranya. “Ini bisa menjadi dorongan bagi kita untuk meningkatkan kualitas produk agar layak masuk pasar negara itu.”
Ekspor Naik 5 Persen
Ketua Joint Feasibility Study Indonesia-Australia FTA Mochtar mengatakan, hasil studi kelayakan bersama (joint feasibility study) menyimpulkan kerja sama bilateral tersebut akan meningkatkan volume ekspor sebesar 5 persen dan akan menyumbangkan 0,5 persen terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) setelah diimplementasikannya Asean-Australia FTA (AANZ-FTA).
Selain kerja sama regional dalam kerangka Asean-Asutralia dan Selandia Baru, Indonesia juga akan menjalin kerja sama bilateral perdagangan bebas dengan Australia dan Selandia Baru.

Produk Elektronik
Penerapan kerjasama perdagangan bebas ASEAN Australia-New Zealand Free Trade Agreement (FTA) pada Oktober 2009 diharapkan bisa menjadi sarana menembus pasar Australia bagi produk-produk andalan Indonesia termasuk produk elektronik.
Ketua Umum Gabungan Elektronik Indonesia (Gabel) Rachmat Gobel mengatakan Indonesia berpotensi mengambil kue pasar produk elektronik asal China di pasar Australia yang selama ini sudah bercokol di Australia.
“Seperti diketahui produk China banyak beredar di Australia. Kerjasama ini diharapkan bisa mulai mengambil posisi karena pasti lebih murah impor dari kita dari pada dari China,” ucap Rachmat.
Selama ini kata dia, standar kualitas produk yang bisa masuk ke pasar Australia terbilang tinggi, sehingga diharapkan bisa mendorong peningkatan kualitas produk elektronik Indonesia.
Sementara itu Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan kerangka kerjasama perdagangan bebas termasuk dengan Australia dan New Zealand bisa menjadi penyeimbang penetrasi pasar antara negara-negara lainnya termasuk China.
“Penyelesaian perundingan ini memiliki arti strategis bagi ASEAN dan khususnya Indonesia karena dapat menyeimbangkan persaingan antara ASEAN dan RRT dalam memasuki pasar Australia dan New Zealand,” tambah Mari.

Produk Kertas
Direktur Penjualan dan Pemasaran Riau Andalan Pulp dan Paper (RAPP) Kusnan Rahmin mengatakan, bea masuk 0 persen tentunya menguntungkan, produk kertas kita akan lebih bisa bersaing.
Departemen Perdagangan mencatat jumlah ekspor produk kertas Indonesia ke Australia per tahunnya bisa mencapai 150 juta dolar AS. Diharapkan dengan adanya pembebasan bea masuk akan semakin memperkuat nilai ekspor.
Kusnan menambahkan, meski Indonesia mendapat fasilitas pembebasan tarif bea masuk, namun Indonesia masih berpotensi terkena penerapan anti dumping produk kertas yang bisa mencapai bea masuk tambahan 27 persen sampai 30 persen.
“Setiap tahunnya Australia mengevaluasinya, mereka selalu cek,” katanya.

Kertas Murah Asal Eropa
Indonesia mewaspadai limpahan produk kertas murah asal Eropa menyusul banyaknya perusahaan-kertas di negara Eropa, Skandinavia dan Amerika Utara yang tutup akibat krisis global.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Penjualan dan Pemasaran Riau Andalan Pulp dan Paper (RAPP) Kusnan Rahmin dalam acara orientasi wartawan kehutanan, Masa Depan Industri Kehutanan di Tengah Krisis Finansial Global, di Bogor, pekan lalu.
“Sekarang kertas dari perusahaan-perusahaan Eropa yang tutup dikirim kemana-mana produknya, kita mau bilang dumping, tapi perusahann sudah mati,” ungkapnya.
Ia memperkirakan harga produk-produk kertas tersebut lebih murah sampai 20 persen, jumlahnya bisa mencapai puluhan ribu ton yang berasal dari nagara-negara Skandinavia dan Amerika.
Penutupan pabrik-pabrik kertas tersebut, kata dia, telah berdampak bagi Industri kertas mentah (pulp) dalam negeri sehingga permintaan pulp akan turun. Namun dari sisi produk jadi kertas (paper) justru menjadi keuntungan karena mengurangi persaingan.
“Maka saingan kita berkurang untuk kertas, tapi secara pulp kita kehilangan pasar karena pabrik tutup di Eropa dan AS,” jelasnya.
Harga pulp pada tahun ke depan diperkirakan akan masih terus turun karena imbas krisis. Namun kata dia, khusus untuk RAPP akan tetap memfokuskan pasar China yang selama ini menjadi negara konsumen kertas terbesar di dunia.
“Untuk China permintaan lumayan tinggi meski krisis global, semakin tinggi penduduk maka konsumsi kertas pun semakin tinggi,” ujarnya.
Pada tahun 2007 jumlah permintaan kertas mencapai 38,7 juta ton, diantaranya 7,05 juta diserap oleh China, Jepang, 3,1 juta ton, ASEAN (5) 1,4 juta ton, India 0,89 juta ton dan lain-lain.

Redaksi
Sejumlah 98,10 persen produk ekspor Indonesia akan menikmati tarif 0 persen di Australia pada 2010 menyusul berlaku efektifnya perjanjian perdagangan bebas Asean-Australia dan Selandia Baru (AANZ-FTA).
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan untuk tahun pertama berlakunya perjanjian itu, Oktober 2009, sebanyak 93 persen dari ekspor Indonesia akan masuk ke pasar Australia dengan bea masuk 0 persen, sedangkan untuk pasar Selandia Baru terdapat 78,8 persen dari total ekspor Indonesia ke negara itu.
Pada tahun berikutnya 2010, bea masuk 0 persen akan dinikmati 98,1 persen total ekspor Indonesia dan 79,95 persen untuk pasar Selandia Baru.
“Itu merupakan komitmen dari Australia dan Selandia Baru,” ujarnya, belum lama ini.
Indonesia, katanya, memberikan komitmen untuk membebaskan bea masuk 0 persen terhadap kurang lebih 85 persen dari pos tarif negara itu secara bertahap dalam jangka waktu 2009-2014 (normal track).
“Mitra negosiasi kita lebih maju jadi kita punya waktu 5 tahun untuk menurunkan bea masuk yang 85 persen itu. Setiap tahun, akan kita turunkan 17 persen,” tuturnya.
Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional Departemen Perdagangan Gusmardi Bustami mengatakan, perundingan tersebut akan berlaku efektif pada Juli tahun ini.
“Implementasi AANZ-FTA bergantung pada kecepatan ratifikasi dari 12 negara yang masuk dalam perundingan tersebut.”
Pada tahun ini, terdapat beberapa produk impor dari Australia yang akan mendapatkan bea masuk 0 persen, di antaranya binatang hidup termasuk sapi, ikan, udang, mentega, telur, keju, pohon-pohon hidup, garam lainnya, bunga potong, produk plastik, produk kulit, dan produk karet. Sebelumnya, produk impor tersebut dikenakan bea masuk 5 persen-10 persen.
Untuk beberapa produk, seperti sapi hidup dan susu, penurunan bea masuk akan dikenakan 2017 hingga 2020 (termasuk produk sensitif).
Australia, katanya, akan mempercepat penurunan bea masuk untuk tekstil dan produk tekstil (TPT) dan sepatu yang kini dikenakan bea masuk 5 persen-17,5 persen, dari 2012-2020 menjadi 2009-2015.
Penurunan bea masuk yang lebih cepat bagi produk Indonesia dibandingkan dengan komitmen Australia kepada Malaysia dan Thailand juga terhadap 25 produk otomotif.
Mendag berharap dengan dimulainya negosiasi ini, Australia dan Selandia Baru melihat Indonesia tidak hanya sebagai pasar, tetapi juga sebagai basis produksi untuk pasar Asean.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Elektronika Indonesia Rahmat Gobel menuturkan, kerja sama tersebut akan mendorong pertumbuhan industri di Tanah Air.
Pasalnya, Australia memiliki standar kualitas yang tinggi terhadap produk yang masuk ke negaranya. “Ini bisa menjadi dorongan bagi kita untuk meningkatkan kualitas produk agar layak masuk pasar negara itu.”
Ekspor Naik 5 Persen
Ketua Joint Feasibility Study Indonesia-Australia FTA Mochtar mengatakan, hasil studi kelayakan bersama (joint feasibility study) menyimpulkan kerja sama bilateral tersebut akan meningkatkan volume ekspor sebesar 5 persen dan akan menyumbangkan 0,5 persen terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) setelah diimplementasikannya Asean-Australia FTA (AANZ-FTA).
Selain kerja sama regional dalam kerangka Asean-Asutralia dan Selandia Baru, Indonesia juga akan menjalin kerja sama bilateral perdagangan bebas dengan Australia dan Selandia Baru.

Produk Elektronik
Penerapan kerjasama perdagangan bebas ASEAN Australia-New Zealand Free Trade Agreement (FTA) pada Oktober 2009 diharapkan bisa menjadi sarana menembus pasar Australia bagi produk-produk andalan Indonesia termasuk produk elektronik.
Ketua Umum Gabungan Elektronik Indonesia (Gabel) Rachmat Gobel mengatakan Indonesia berpotensi mengambil kue pasar produk elektronik asal China di pasar Australia yang selama ini sudah bercokol di Australia.
“Seperti diketahui produk China banyak beredar di Australia. Kerjasama ini diharapkan bisa mulai mengambil posisi karena pasti lebih murah impor dari kita dari pada dari China,” ucap Rachmat.
Selama ini kata dia, standar kualitas produk yang bisa masuk ke pasar Australia terbilang tinggi, sehingga diharapkan bisa mendorong peningkatan kualitas produk elektronik Indonesia.
Sementara itu Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan kerangka kerjasama perdagangan bebas termasuk dengan Australia dan New Zealand bisa menjadi penyeimbang penetrasi pasar antara negara-negara lainnya termasuk China.
“Penyelesaian perundingan ini memiliki arti strategis bagi ASEAN dan khususnya Indonesia karena dapat menyeimbangkan persaingan antara ASEAN dan RRT dalam memasuki pasar Australia dan New Zealand,” tambah Mari.

Produk Kertas
Direktur Penjualan dan Pemasaran Riau Andalan Pulp dan Paper (RAPP) Kusnan Rahmin mengatakan, bea masuk 0 persen tentunya menguntungkan, produk kertas kita akan lebih bisa bersaing.
Departemen Perdagangan mencatat jumlah ekspor produk kertas Indonesia ke Australia per tahunnya bisa mencapai 150 juta dolar AS. Diharapkan dengan adanya pembebasan bea masuk akan semakin memperkuat nilai ekspor.
Kusnan menambahkan, meski Indonesia mendapat fasilitas pembebasan tarif bea masuk, namun Indonesia masih berpotensi terkena penerapan anti dumping produk kertas yang bisa mencapai bea masuk tambahan 27 persen sampai 30 persen.
“Setiap tahunnya Australia mengevaluasinya, mereka selalu cek,” katanya.

Kertas Murah Asal Eropa
Indonesia mewaspadai limpahan produk kertas murah asal Eropa menyusul banyaknya perusahaan-kertas di negara Eropa, Skandinavia dan Amerika Utara yang tutup akibat krisis global.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Penjualan dan Pemasaran Riau Andalan Pulp dan Paper (RAPP) Kusnan Rahmin dalam acara orientasi wartawan kehutanan, Masa Depan Industri Kehutanan di Tengah Krisis Finansial Global, di Bogor, pekan lalu.
“Sekarang kertas dari perusahaan-perusahaan Eropa yang tutup dikirim kemana-mana produknya, kita mau bilang dumping, tapi perusahann sudah mati,” ungkapnya.
Ia memperkirakan harga produk-produk kertas tersebut lebih murah sampai 20 persen, jumlahnya bisa mencapai puluhan ribu ton yang berasal dari nagara-negara Skandinavia dan Amerika.
Penutupan pabrik-pabrik kertas tersebut, kata dia, telah berdampak bagi Industri kertas mentah (pulp) dalam negeri sehingga permintaan pulp akan turun. Namun dari sisi produk jadi kertas (paper) justru menjadi keuntungan karena mengurangi persaingan.
“Maka saingan kita berkurang untuk kertas, tapi secara pulp kita kehilangan pasar karena pabrik tutup di Eropa dan AS,” jelasnya.
Harga pulp pada tahun ke depan diperkirakan akan masih terus turun karena imbas krisis. Namun kata dia, khusus untuk RAPP akan tetap memfokuskan pasar China yang selama ini menjadi negara konsumen kertas terbesar di dunia.
“Untuk China permintaan lumayan tinggi meski krisis global, semakin tinggi penduduk maka konsumsi kertas pun semakin tinggi,” ujarnya.
Pada tahun 2007 jumlah permintaan kertas mencapai 38,7 juta ton, diantaranya 7,05 juta diserap oleh China, Jepang, 3,1 juta ton, ASEAN (5) 1,4 juta ton, India 0,89 juta ton dan lain-lain.

Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar