Pelaksanaan wajib letter of credit (L/C) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.1/M-DAG/PER/1/2009 telah disempurnakan dengan No. 10/M-DAG/PER/3/2009 tetapi masih menyisakan masalah bagi pelaku usaha khususnya eksportir.
Permasalahannya, untuk negoisasi wessel ekspor atas dasar L/C at sight (atas unjuk), bank pemerintah masih menggunakan cara document collection dengan cara tidak mau membayar secara langsung dan masih harus menunggu untuk dibayar terlebih dahulu oleh opening bank (buyer bersangkutan, red).
Sehingga, eksportir masih harus menunggu 2-3 minggu untuk menerima pembayaran hasil ekspor, hal ini tentunya akan mengakibatkan cash flow eskportir terhambat.
Bank pemerintah juga tidak mau melayani wessel ekspor diskonto dengan Usance L/C. Padahal usence L/C merupakan bentuk cara pembayaran L/C dengan sistem diskonto selain sistem at sight. Sementara beberapa bank asing mau menerima wessel ekspor diskonto atas usence L/C tersebut. Seharusnya bank pemerintah harus lebih tanggap dan membantu kelancaran dalam melayani pembayaran wessel ekspor baik at sight maupun usen L/C hasil ekspor tersebut.
Sementara, komoditas pertanian yang wajib menggunakan L/C melalui bank devisa domestik meliputi kakao, karet, kopi dan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/ CPO) serta timah batangan dan produk pertambangan lainnya yang total terdiri dari 47 pos tarif.
Pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan wajib L/C dengan latar belakang bahwa transaksi ekspor komoditas tersebut untuk mendapat kepastian pembayaran, mendukung upaya pelestarian sumber daya alam dan memperlancar perolehan hasil devisa ekspor.
Melihat maksud pemberlakuan wajib L/C tersebut, tentu semua pihak seharusnya setuju, bahkan perlu didukung terutama untuk meningkatkan perolehan devisa negara di tengah krisis global saat ini.
Redaksi
Permasalahannya, untuk negoisasi wessel ekspor atas dasar L/C at sight (atas unjuk), bank pemerintah masih menggunakan cara document collection dengan cara tidak mau membayar secara langsung dan masih harus menunggu untuk dibayar terlebih dahulu oleh opening bank (buyer bersangkutan, red).
Sehingga, eksportir masih harus menunggu 2-3 minggu untuk menerima pembayaran hasil ekspor, hal ini tentunya akan mengakibatkan cash flow eskportir terhambat.
Bank pemerintah juga tidak mau melayani wessel ekspor diskonto dengan Usance L/C. Padahal usence L/C merupakan bentuk cara pembayaran L/C dengan sistem diskonto selain sistem at sight. Sementara beberapa bank asing mau menerima wessel ekspor diskonto atas usence L/C tersebut. Seharusnya bank pemerintah harus lebih tanggap dan membantu kelancaran dalam melayani pembayaran wessel ekspor baik at sight maupun usen L/C hasil ekspor tersebut.
Sementara, komoditas pertanian yang wajib menggunakan L/C melalui bank devisa domestik meliputi kakao, karet, kopi dan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/ CPO) serta timah batangan dan produk pertambangan lainnya yang total terdiri dari 47 pos tarif.
Pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan wajib L/C dengan latar belakang bahwa transaksi ekspor komoditas tersebut untuk mendapat kepastian pembayaran, mendukung upaya pelestarian sumber daya alam dan memperlancar perolehan hasil devisa ekspor.
Melihat maksud pemberlakuan wajib L/C tersebut, tentu semua pihak seharusnya setuju, bahkan perlu didukung terutama untuk meningkatkan perolehan devisa negara di tengah krisis global saat ini.
Redaksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar