Mengenai Saya

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur didirikan pada tanggal 21 Pebruari 1961 dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 167/SK/XI/66. Tujuan Kami, Mengembangkan Perdagangan Internasional (Ekspor) , Menggiatkan Usaha Kecil dan Menengah ( UKM ) dan Industri, Optimalisasi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia , Meningkatkan Pendapatan Devisa Ekspor Non Migas. Visi dan Misi Kami, Meningkatkan Sumber Daya Manusia , Memperluas Jaringan Pemasaran , Meningkatkan Daya Saing di Pasar Global , Meningkatkan Nilai Tambah Produk Ekspor

18 Maret 2009

Target Terkoreksi, Tantangan dan Peluang Ekspor


Demikian halnya dengan kinerja ekspor sepanjang 2008, capaian dan kinerja selama tahun ini diharapkan menjadi pelajaran para pemangku kepentingan untuk meningkatkan kinerja ekspor pada tahun berikutnya yang penuh dengan tantangan.
Pada awal tahun ini, pemerintah sangat yakin dengan menargetkan pertumbuhan ekspor sebesar 14,5 persen, mengandalkan kenaikan harga dan volume komoditas sawit dan pertambangan.
Komoditas sawit misalnya, saat itu harganya terus meroket sejak awal tahun ini dari 900 an dolar AS per ton hingga menyentuh level tertinggi selama 2008 sebesar 1.300 dolar AS per ton pada 15 Juli tahun ini.
Tidak hanya sawit, harga komoditas perkebunan dan pertambangan lainnya pun mengalami kenaikan. Namun, pada kenyataannya, kenaikan harga itu tidak bertahan lama dan hanya sampai pada semester I 2008.
Sejak pertengahan tahun, harga komoditas ekspor mulai menukik dan terus anjlok hingga kuartal terakhir tahun ini. Target ekspor pun terkoreksi, bahkan pemerintah mengoreksi target hingga dua kali, pertama diturunkan dari 14,5 persen menjadi 13,5 persen hingga akhirnya ditargetkan sebesar 10 persen-11 persen.(lihat tabel)
Krisis keuangan yang melanda Amerika Serikat juga memberikan dampak kepada penurunan ekspor, mengingat negara itu termasuk pasar tradisional utama bagi produk Indonesia.

Kinerja Ekspor
Kinerja ekspor selama 2008 tidak berjalan mulus, terutama memasuki kuartal terakhir, ekspor melemah baik nilai maupun volume. Pelemahan ekspor tidak hanya dialami Indonesia, negara-negara lain pun mengalami hal yang sama.
Indonesia mulai mendiversifikasi negara sasaran ekspor seiring dengan potensi resesi ekonomi di AS. Ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam turun dari 12 persen selama ini, menjadi hanya 5 persen.
Lalu, bagaimana dengan kinerja ekspor nonmigas tahun ini yang mulai terganggu akibat krisis keuangan global.
Jika melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) kinerja ekspor nonmigas hingga Oktober 2008 masih bertumbuh sebesar 21,5 persen.
Data BPS menunjukkan nilai ekspor nonmigas Indonesia sebesar 92,2 dolar AS miliar masih tumbuh sebesar 21,5 dolar AS dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 75,9 dolar AS miliar.
Adapun, tren pertumbuhan ekspor nonmigas dari 2003 hingga 2007 bertumbuh rata-rata sebesar 18,3 persen. Untuk dikatakan aman, minimal tahun ini ekspor nonmigas harus bertumbuh sebesar 18,3 persen.
Hingga Oktober ekspor itu masih bertumbuh sebesar 21,5 persen. Dengan skenario kinerja ekspor pada dua bulan terakhir tahun ini yang paling buruk pun, ekspor masih dapat tumbuh di atas 18,3 persen. Jadi, dapat dikatakan kinerja ekspor tahun ini masih aman.
Kinerja ekspor masih terbantu selama semester I/2008, di mana selain harga beberapa komoditas sedang pada puncaknya pada awal tahun, volume ekspor komoditas itu juga kebanyakan meningkat.
Berbagai langkah kebijakan pun diambil pemerintah, misalnya revisi peraturan pungutan ekspor minyak kelapa sawit yang menjadi andalan ekspor nonmigas, yaitu pungutan ditiadakan saat harga 700 dolar AS per ton. Padahal sebelumnya pungutan ekspor 0 persen hanya pada saat harga internasional CPO mencapai 550 dolar AS per ton.
Terbukti kebijakan itu mampu mendongkrak volume ekspor komoditas itu di tengah pelemahan permintaan dan harga sawit.
Mengenai sulitnya pembiayaan yang juga menjadi penghambat kinerja ekspor, pemerintah mengeluarkan kebijakan rediskonto wesel ekspor with recourse untuk menjamin pembiayaan ekspor.

Kinerja Impor
Tingginya ekspor pada awal tahun ternyata diikuti dengan melonjaknya impor. Periode Januari-Oktober 2008 total nilai impor nonmigas sebesar 63,7 miliar dolar AS, naik sebesar 48,21 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Impor selama November dan Desember pun diperkirakan tetap besar sehingga impor tahun ini diprediksi 30 persen-40 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Kenaikan ini cukup fantastis mengingat rata-rata pertumbuhan impor nonmigas selama 2003-2007 hanya sebesar 18,3 persen.
Artinya, semakin jauh jarak pertumbuhan ekspor dengan pertumbuhan impor akan semakin menggerus devisa negara.
Surplus neraca perdagangan (ekspor-impor) Januari-Oktober 2008 sebesar 28,5 miliar dolar AS turun sebesar 13,1 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 32,9 miliar dolar AS.
Padahal, dari 2003 hingga 2007, rata-rata pertumbuhan surplus neraca perdagangan sebesar 18,5 persen. Lonjakan impor pada saat kinerja ekspor normal inilah yang patut diwaspadai, sehingga perlu ada instrumen untuk menguranginya.
Memang, pemerintah sejak krisis berusaha untuk mengurangi impor selain untuk menghemat devisa juga untuk memberdayakan produk lokal dan menjaga pasar domestik tetap bergairah.
Misalnya, dengan mengeluarkan Permedag No. 44/2008 yang membatasi impor produk mainan anak-anak, garmen, elektronik, alas kaki dan makanan dan minuman.
Selain itu, juga dibentuk tim terpadu pengawasan barang beredar (TPBB) yang diketuai Menteri Perdagangan.
Mendag juga mengeluarkan Permendag No. 41/M-DAG/PER/10/2008 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3).
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Perdagangan Mochtar mengatakan untuk impor bahan baku memang sulit ditekan. Hal ini membuat pemerintah lebih banyak menekan impor barang konsumsi.
Permasalahannya, impor bahan baku sangat dominan, yaitu sebesar 77,9 persen dari keseluruhan impor. Impor bahan baku penolong periode Januari-Oktober 2008 sebesar 87,4 miliar dolar AS naik sebesar 91,7 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang 45,6 miliar dolar AS.
Sulit untuk mengurangi impor bahan baku penolong, karena memang dibutuhkan untuk keberlangsungan industri.
Impor, dapat ditekan melalui barang konsumsi. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan perlambatan industri manufaktur akibat krisis global ini, katanya, hanya dapat menekan impor 10 persen.
Permasalahannya, bagaimana caranya mengurangi impor bahan baku yang memang dibutuhkan industri.

Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar