Mengenai Saya

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur didirikan pada tanggal 21 Pebruari 1961 dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 167/SK/XI/66. Tujuan Kami, Mengembangkan Perdagangan Internasional (Ekspor) , Menggiatkan Usaha Kecil dan Menengah ( UKM ) dan Industri, Optimalisasi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia , Meningkatkan Pendapatan Devisa Ekspor Non Migas. Visi dan Misi Kami, Meningkatkan Sumber Daya Manusia , Memperluas Jaringan Pemasaran , Meningkatkan Daya Saing di Pasar Global , Meningkatkan Nilai Tambah Produk Ekspor

19 Maret 2009

Dunia "Demam" Menjadi Proteksionis


Dunia saat ini sedang dihinggapi latah melakukan program stimulus ekonomi yang bertujuan untuk memaksimalkan penggunaan produk lokalnya masing-masing.
Termasuk Indonesia yang akan mengkampanyekan penggunaan produk lokal. Namun kampanye itu tidak lantas menjadikan Indonesia sebagai negara proteksionis.
Plt Menko Perekonomian dan Menkeu Sri Mulyani mengatakan, hari-hari ini dunia sedang dijangkiti finansial institusinya yang sedang sakit, ekonominya slowing down, industri turun, PHK naik, semua berlomba-lomba melakukan stimulus package untuk membeli produk dalam negeri.
Namun ia menegaskan, langkah Indonesia mengkampanyekan produk dalam negeri bukanlah upaya proteksionisme melainkan upaya waspada terhadap kondisi perkembangan dunia yang sedang berlangsung.
“Kita tidak menjadi prokteksionis tetapi we have waspada, tahun 2009 ini akan menjadi tantangan yang berat,” ucapnya. Sri Mulyani menjelaskan, saat ini semua negara
mulai memasang barikade karena mereka sudah tidak percaya diri terhadap dampak krisis dunia yang semakin parah.
“Kalau negara semua sakit, seperti depperin melakukan dorongan 2 hari lalu yaitu the return of economic nationalism pakai sepatu Indonesia, batik Indonesia, beli lah produk Indonesia, maka seluruh dunia pun sama. Hillary Clinton bilang pakailah produk Amerika, stimulus paket akan digunakan untuk membeli produk AS. Lalu Eropa marah, lalu ikut juga pakai produk Eropa jangan pakai produk lain,” paparnya panjang lebar.
“China juga melakukan yang sama, kalau AS nggak beli, tapi seluruh dunia sudah pakai produk China yah,” selorohnya.

Masih dalam Koridor WTO
Wacana kewajiban penggunaan produk dalam negeri khususnya untuk belanja pemerintah dan badan usaha milik negara (BUMN) dinilai masih dalam batas aturan WTO.
Upaya pemerintah menaikan pos tarif saat ini pun masih belum mencapai pada angka maksimal yang dilarang WTO yaitu hingga 40 persen.
Sementara, Deputi Menko Perekonomian Bidang Perindustrian dan Perdagangan Edy Putra Irawady mengatakan, bahwa upaya pemerintah dengan menerapkan penggunaan barang dalam negeri bagi keperluan pemerintah tidak ada kaitannya dengan proteksionisme dalam arti negatif.
“Itu masalah hak pemerintah sebagai pembeli, pemerintah itu punya dua badan sebagai otoriti dan pembeli seperti di Amerika itu ada internal order,” kata Edy.
Selain itu, dalam ketentuan organisasi perdagangan dunia (WTO) Indonesia tidak ikut dalam kesepakatan government procurement agreement karena Indonesia hanya mengikuti ketentuan umum WTO.
“Hanya 13 negara yang teken. Jadi tidak ada urusan dengan WTO, di Asia hanya Singapura,” ucapnya.
Dikatakannya dalam ketentuan umum anggota WTO yang berada di luar kesepakatan 13 negara tadi. Masing-masing negara bisa melakukan upaya proteksi halal atau yang dibolehkan WTO.
Dalam schedule 21 WTO masing-masing negara mempunyai jadwal ketentuan tarif yang akan diterapkannya. Misalnya ia mencontohkan untuk ketentuan yang masih dibolehkan oleh WTO yaitu batas tarif maksmal sampai 40 persen.
Bahkan langkah proteksionisme masih bisa dibolehkan dengan skema safeguard, anti dumping, anti subsidi dan beberapa pembatasan dengan alasan lingkungan, masalah moral dan perlindungan terhadap konsumen.
“Proteksionisme itu hak kita, untuk kepentingan nasional, konsumen, kesehatan, keamanan, untuk melindungi perbutan curang dan ilegal. Ini lebih pada perlindungan sesuai dengan WTO, masih dengan koridor WTO,” jelas Edy.

Tak Perlu Takut
Aksi proteksionisme AS terhadap produk lokalnya yang digelar dalam program ‘Buy American’ memang tidak terhindarkan dalam kondisi krisis. Indonesia yang lebih miskin dari AS pun seharusnya tidak takut melakukan proteksi barang lokalnya.
Indonesia sedang menggalakkan regulasi penggunaan produk dalam negeri dan kampanye-kampanye lain yang serupa. Namun Menteri Perindustrian Fahmi Idris membantah kalau kampanye produk lokal itu meniru proteksi AS dengan program Buy American.
Diakui Fahmi, proteksionisme yang dilakukan oleh banyak negara saat ini tidak bisa terhindarkan. Negara Amerika yang begitu liberal pun melakukan upaya semacam ini dengan menggalakan gerakan buy American.
Meski telah banyak diprotes oleh anggota WTO, namun Fahmi melihat Amerika begitu cueknya, padahal negeri Paman Sam ini terkenal sebagai negara yang sangat liberal dibidang ekonomi bahkan sebagai kiblatnya liberalisme.
“Jadi kita bukan meniru Amerika, Amerika justru meniru dari kita. AS sangat-sangat proteksioanisme, bayangkan rajanya kapitalisme sekarang mengubah haluan, orang-orang pada marah AS tenang-tenang saja,” tandas Fahmi.
Menurut Fahmi, saat ini masing-masing negara melakukan upaya-upaya dalam mengatasi krisis global, termasuk Indonesia pun melakukannya.
“Bailout itu juga merupakan bentuk dari proteksionistis,” ucap Fahmi.
Indonesia juga tidak bisa terhindari melakukan upaya semacam ini, dan Indonesia tidak akan takut melakukannya karena setiap negara memiliki kepentingannya masing-masing.
“Indonesia ini yang masih miskin, masih lemah kalau tidak melakukan semacam itu kelewatan bener, Amerika saja begitu,” ujarnya.

Redaksi

1 komentar:

  1. MENGGUGAT PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT

    Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
    Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
    Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
    Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat. Dan nekatnya hakim bejat ini menyesatkan masyarakat konsumen Indonesia ini tentu berdasarkan asumsi bahwa masyarakat akan "trimo" terhadap putusan tersebut.
    Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan saja. Masyarakat konsumen yang sangat dirugikan mestinya mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" untuk menelanjangi kebusukan peradilan ini.
    Siapa yang akan mulai??

    David
    HP. (0274)9345675

    BalasHapus