Mengenai Saya

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur didirikan pada tanggal 21 Pebruari 1961 dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 167/SK/XI/66. Tujuan Kami, Mengembangkan Perdagangan Internasional (Ekspor) , Menggiatkan Usaha Kecil dan Menengah ( UKM ) dan Industri, Optimalisasi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia , Meningkatkan Pendapatan Devisa Ekspor Non Migas. Visi dan Misi Kami, Meningkatkan Sumber Daya Manusia , Memperluas Jaringan Pemasaran , Meningkatkan Daya Saing di Pasar Global , Meningkatkan Nilai Tambah Produk Ekspor

18 Maret 2009

Ekspor Tekstil 2009 bakal Turun


Pemerintah memperkirakan ekspor tekstil 2009 akan masih berada di kisaran 8 miliar dolar AS atau turun dari 2008 yang sebesar 10,8 miliar dolar AS. Hal ini menyusul melemahnya ekonomi negara-negara tujuan ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT).
Hal ini berbeda dengan optimistis kalangan pengusaha yang memperkirakan ekspor TPT akan mengalami kenaikan ekspor dari 10,7 miliar dolar AS di 2008 menjadi 11,07 miliar dolar AS pada 2009.
“Ekspor tahun 2008 sekitar 10,7 miliar dolar AS, memang belum bisa direka masih dilakukan berbagai-bagai pembicaraan pasti berkurang, cuma berkurangnya jadi berapa belum bisa dilihat. Banyak yang memperkirakan, kalau pun berkurang tidak di bawah angka 8 (8 miliar dolar AS),” kata Menteri Perindustrian Fahmi Idris.
Fahmi menjelaskan meskipun sekarang ini terjadi krisis namun permintaan kebutuhan pokok seperti TPT di negara-negara maju akan masih ada meski secara volume akan berkurang.
“Walaupun terkena krisis bagaimana pun produk yang penting mereka tidak bisa menghindari misal makanan, termasuk pakaian, paling jumlahya yang dikurangi, namun membeli pakaian bagi negara iklim 4 tidak bisa dihindari,” paparnya.
Ia mencontohkan untuk negara-negara seperti Jepang terkenal sebagai pasar yang menerapkan selera tinggi bagi TPT, kualitas tinggi dan perubahan mode yang cepat.
Sehingga kata dia untuk bisa menggenjot ekspor, pasar potensial Jepang harus digenjot.
“Selera pasar harus diikuti selera pasar, kita tidak bisa mendikte selera dan kemauan pasar,” ucapnya.
Seperti diketahui Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat bahwa ekspor TPT tahun 2008 mencapai 10,8 miliar dolar AS dengan target ekspor pada 2009 11,07 miliar dolar AS.

Langkah Pengamanan
Untuk mengamankan sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Departemen Perindustrian telah menyiapkan 3 langkah yakni pengamanan pasar dalam negeri, peningkatan daya saing dan mendorong ekspor.
Langkah-langkah ini diharapkan bisa meredam dampak krisis global terhadap sektor TPT yang sangat rentan terhadap gejolak krisis.
Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengatakan, untuk pengamanan pasar yaitu dalam rangka penggunaan bahan baku dalam negeri, Depperin mengusulkan adanya pemberian insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) bagi industri garmen yang membeli kain tekstil produksi lokal.
Selain itu, Depperin juga mengusulkan kewajiban menggunakan produksi dalam negeri antara lain untuk pengadaan pakaian seragam pemerintah, kain furnitur, gorden, karpet, serta tekstil kebutuhan rumah sakit dan lain-lain.
Untuk mempermudah pengawasan produk TPT lokal dan ilegal di pasar dalam negeri khususnya batik, Depperin akan menerapkan penggunaan label batik merek “Batik Indonesia” bagi batik cap, tulis, kombinasi cap dan tulis dalam negeri. Hal ini untuk membedakan dengan batik printing.
Sedangkan untuk meningkatkan daya saing industri, Depperin berusaha akan mempertahankan tarif energi untuk sektor TPT hulu dan antara yang nilai biaya energinya sekitar 14 persen sampai 17,5 persen dengan penghapusan ketentuan tarif multi guna dan penalti daya maksimal plus.
Kebijakan itu juga ditujukan bagi industri padat karya lainnya yang proses produksinya berlangsung secara terus menerus 24 jam.
Depperin akan mengusulkan dilanjutkannya restrukturisasi mesin industri TPT sebesar Rp 255 miliar yang merupakan bagian dari alokasi program restrukturisasi permesinan yang totalnya sebesar Rp 360 miliar. “Kami juga meminta biaya Terminal Handling Charge (THC) ditinjau kembali,” serunya.
Fahmi mengatakan biaya THC yang sebesar 113 dolar AS per kontainer 20 kaki seharusnya diturunkan menjadi 50 dolar AS. Sedangkan untuk kontainer 40 kaki yang tadinya sebesar 157 dolar AS menjadi 97 dolar AS. Sistem pembayarannya juga diusulkan memakai mata uang rupiah.
“Tarif PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) yang irasional harus ditinjau. Di beberapa daerah PBB-nya 1,5 hingga 1,8 kali NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) dan tidak seragam dalam satu daerah,” jelasnya.
Untuk mendorong ekspor TPT, Depperin mengusulkan jaminan asuransi terhadap kegiatan ekspor termasuk dari Askrindo, Bank Exim, meminta perbankan menyediakan cadangan untuk membiayai modal kerja untuk persedian bahan baku.
Dikatakannya, krisis ekonomi global telah melemahkan ekspor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia karena menurunnya permintaan pasar. Sementara itu, pasar domestik juga terganggu akibat masuknya produk impor secara legal maupun ilegal dari negara pesaing ekspor Indonesia seperti China.
Industri TPT merupakan industri andalan ekspor yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Pada 2007, jumlah tenaga kerja sektor TPT mencapai 1,234 juta orang di luar industri skala kecil dan rumah tangga. Sekitar 75 persen produksinya di ekspor dengan tujuan utama Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang.
Dikatakannya harga bahan baku TPT mengalami fluktuasi tajam sehingga menyulitkan industri dalam membuat perencanaan bisnis dan tidak adanya stabilitas harga jual produknya.
“Pembeli cenderung menekan harga bahkan untuk produk yang sedang dikapalkan. Harga serat kapas yang sudah dibeli secara kontrak turun drastis dari 96 sen dolar AS menjadi 52 sen dolar AS,” jelasnya.

Kredit Permesinan
Pengusah tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri mendesak Jepang untuk segera mempertimbangkan kemudahaan pembiayaan kredit permesinan tekstil buatan Jepang. Mengingat ekspor mesin tekstil buatan Jepang anjlok 25 persen pada tahun 2008 akibat krisis.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno usai acara seminar pasar tekstil Jepang di Departemen Perindustrian (Depperin), Jakarta, belum lama ini.
“Perlu upaya penjajakan skema pembiayaan yang memberi kemudahan finansial bagi pengusaha tekstil Indonesia untuk membeli produk mesin dari Jepang,” katanya.
Pemberian skema keringanan pembiayaan mesin tekstil menurut Benny sangat penting, karena saat ini banyak mesin-mesin di Industri tekstil lokal sudah banyak yang tua.
Sedangkan dari sisi Jepang, dengan adanya skema kemudahaan pembiayaan pembelian mesin termasuk dengan memberikan potongan kredit akan membantu menjual mesin-mesin mereka yang tidak laku sehingga bisa menekan pemutusan hubungan kerja (PHK) di Jepang.
“Bagi Jepang tentunya akan membantu kinerja ekspor mesin tekstil, bagi Indonesia membantu program restrukturisasi mesin tekstil Indonesia,” ucapnya.
Seperti diketahui pada tahun 2008 lalu, banyak produk-produk Jepang yang menumpuk tidak ada yang membeli sebagai dampak krisis global. Misalnya untuk kendaraan bermotor turun 3,7 persen, produk elektronika turun 9,3 persen, produk mesin turun 4,3 persen dan khusus mesin tekstil turun tajam hingga 25,7 persen.
“Apabila kerjasama ini bisa dilakukan akan menyelamatkan industri mesin Jepang sendiri. Mesin tekstil kalau dia kasih kita, pasarnya di kita, dan bisa menekan PHK disana,” seru Benny.

Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar