Mengenai Saya

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur didirikan pada tanggal 21 Pebruari 1961 dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 167/SK/XI/66. Tujuan Kami, Mengembangkan Perdagangan Internasional (Ekspor) , Menggiatkan Usaha Kecil dan Menengah ( UKM ) dan Industri, Optimalisasi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia , Meningkatkan Pendapatan Devisa Ekspor Non Migas. Visi dan Misi Kami, Meningkatkan Sumber Daya Manusia , Memperluas Jaringan Pemasaran , Meningkatkan Daya Saing di Pasar Global , Meningkatkan Nilai Tambah Produk Ekspor

11 Februari 2009

STIMULUS HARUS DIALOKASIKAN ke Sektor yang Berdampak Signifikan


Kepala BKPM M. Lutfi mengatakan efek berganda dari dana stimulus fiskal itu dalam bentuk perputaran dana yang tercipta dalam aktivitas ekonomi masyarakat di Tanah Air setelah paket stimulus diaktifkan pemerintah pada tahun ini.
“Ini juga untuk menjaga agar perputaran uang perusahaan terbantu dan ada nilai tambahnya, tetapi nanti juga akan ada belanja pemerintah yang juga memiliki nilai tambah,” ujarnya.
Lutfi menjelaskan kapitalisasi efek berganda dihitung berdasarkan besaran total dana stimulus fiskal dikalikan dengan nilai tambah yang dihasilkan dari belanja pemerintah, pembangunan proyek infrastruktur dan subsidi ke dunia usaha.
Dengan begitu, satu rupiah stimulus diyakini mampu menarik investasi 1,58 kali lipat.
Hal tersebut, katanya, lebih baik dari pengalaman AS yang hanya memberikan stimulus dalam bentuk keringanan pajak sehingga nilai tambah yang dihasilkan dari dana stimulus pemerintah Negeri Paman Sam hanya sebesar 1,2.
“Kalau di AS, nilai tambah stimulus fiskal berupa keringanan pajak US$1 itu 1,2. Tapi kalau kita, 1,58. Jadi kalau Rp1 dimasukkan, akan kembali ke masyarakat 1,58 kalinya.”
Seperti diketahui, pemerintah telah mengalokasikan dana stimulus fiskal pada APBN 2009 sebesar Rp71,3 triliun. Jumlah ini setara 1,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Insentif itu untuk penghematan pajak Rp43 triliun, subsidi pajak Rp13,3 triliun dan subsidi serta belanja negara untuk dunia usaha Rp15 triliun.
Di sisi lain, Lutfi optimistis realisasi penanaman modal di dalam negeri, baik berupa penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) pada 2009 tidak akan terganggu kegiatan pemilu.

Sulit Diukur
Efektivitas realisasi dana stimulus ekonomi yang dialokasikan pemerintah sulit diukur. Ini juga termasuk dampaknya terhadap penciptaan lapangan kerja.
Anggota Komisi XI DPR Dradjad H Wibowo menilai, basis sektor yang mendapat alokasi dana stimulus tidak terlalu kuat, karena tidak adanya alat ukur tentang efektivitasnya. “Makanya saya pertanyakan, apakah pernah diukur bagaimana efektivitas pengalokasian dana stimulus ini ke perekonomian,” kata Dradjad.
Menurut dia, stimulus apa pun yang akan diberikan pemerintah harus memberikan manfaat dan dampak lanjutan secara signifikan.
“Misalnya spending (belanja) untuk program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM). Mungkin efeknya lebih rendah terhadap pertumbuhan ekonomi dibanding dengan belanja untuk pembangunan irigasi,” ujarnya.
Stimulus fiskal, lanjut Dradjad, memang diperlukan. Namun basis ekonomi per sektornya harus kuat, yaitu dialokasikan ke sektor-sektor yang memiliki multiplier effect cukup tinggi, termasuk dalam penciptaan lapangan kerja.
“Kalau hanya bagi-bagi uang saja, berarti kental untuk memperoleh suara dalam pemilihan umum mendatang. Masalah ini bisa terjadi jika alokasi stimulus tidak memiliki basis ekonomi yang kuat. Dana stimulus bisa jadi window dressing politik,” tutur Dradjad.
Dia mengungkapkan, pemerintah juga harus lebih detil dan terperinci dalam mengalokasikan dana stimulus untuk sektor infrastruktur. Ini karena tidak semua subsektor di infrastruktur memberikan dampak berantai yang maksimal dalam rangka penyerapan tenaga kerja.
“Infrastrukturnya harus jelas ke mana. Ini karena sektor telekomunikasi berbeda dengan irigasi. Infrastruktur telekomunikasi sifatnya padat modal, sementara irigasi ke tanaman pangan sehingga besar sekali pengaruhnya,” ucapnya.

Lazim
Di lain pihak, pemerintah mengakui bahwa dalam penyusunan pola kebijakan stimulus fiskal mengikuti kelaziman dalam program-program serupa yang disusun oleh negara lain. “Kami membuat definisi yang setara dengan negara lain. Ini supaya kita bisa membandingkan volume stimulus satu negara dengan negara lain,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Departemen Keuangan Anggito Abimanyu.
Dia menyebutkan, stimulus fiskal merupakan kebijakan yang sifatnya sementara (ad hoc) dan terefleksi dalam APBN, baik menyangkut penerimaan maupun belanja kepada masyarakat atau dunia usaha.
Sebelumnya pemerintah menyampaikan program mengatasi dampak krisis global melalui stimulus fiskal APBN 2009 kepada DPR. Total stimulus fiskal pada APBN 2009 dalam rangka antisipasi dan penanganan dampak krisis global akan mencapai jumlah Rp 71,3 triliun atau sekitar 1,4 persen dari produk domestik bruto (PDB). Jumlah stimulus fiskal itu terdiri dari penghematan pembayaran pajak (tax saving) sebesar Rp 43 triliun atau 0,8 persen dari PDB.
Pemerintah mencatat, pemerintah Malaysia paling besar memberikan stimulus fiskal, yaitu hingga mencapai 4,4 persen dari PDB. Sementara negara lain, AS 1,2 persen, Inggris 1,1 persen, China 0,6 persen, Jepang 1,0 persen, dan Korea Selatan 0,9 persen. Negara lainnya, Australia 1,5 persen, India 0,9 persen, Singapura 1,1 persen, dan Thailand 1,8 persen.
Sementara itu, mengenai angka stimulus fiskal yang sebelumnya disebut sebesar Rp 12,5 triliun dan kemudian ditambah Rp 15 triliun sehingga menjadi Rp 27,5 triliun, Anggito menjelaskan, jumlah tersebut sudah termasuk dalam Rp 71,3 triliun. “Jadi kita tidak lagi menghitung yang Rp 12,5 triliun, kemudian Rp 15 triliun, meskipun itu ada dalam Rp 71,3 triliun. Inilah yang bisa dipertanggungjawabkan secara teknis dan dapat dibandingkan dengan negara lain,” katanya.

Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar