Mengenai Saya

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur didirikan pada tanggal 21 Pebruari 1961 dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 167/SK/XI/66. Tujuan Kami, Mengembangkan Perdagangan Internasional (Ekspor) , Menggiatkan Usaha Kecil dan Menengah ( UKM ) dan Industri, Optimalisasi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia , Meningkatkan Pendapatan Devisa Ekspor Non Migas. Visi dan Misi Kami, Meningkatkan Sumber Daya Manusia , Memperluas Jaringan Pemasaran , Meningkatkan Daya Saing di Pasar Global , Meningkatkan Nilai Tambah Produk Ekspor

23 Desember 2009

Kinerja Industri Belum Normal, Implementasi FTA Bisa Perlebar Defisit Perdagangan

Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Inovasi dan Produktivitas Ahmad Safiun memprediksikan, kinerja industri pada tahun depan masih akan dibayangi ketidakpastian sehingga kinerja ekspor masih akan melemah dibandingkan dengan kondisi 2008.
Apalagi pada 2010 kesepakatan FTA (free trade agreement/ perjanjian perdagangan bebas) antara Asean dan China diimplementasikan. Industri manufaktur bisa sangat terpukul. Defisit perdagangan bisa semakin lebar,” katanya.
Pada periode 2004-2008, jelasnya, neraca perdagangan tumbuh negatif dengan rerata pertumbuhan -17,96 persen di mana sektor manufaktur berkontribusi paling besar terhadap defisit tersebut dengan pertumbuhan -11,69 persen.
Dalam kurun waktu yang sama, lanjutnya, pertumbuhan ekspor rata-rata hanya mencapai 17,18 persen, jauh di bawah rerata pertumbuhan impor yang mencapai 25,83 persen sehingga berpotensi menjadikan Indonesia sebagai negara net importer.
Perbaikan kinerja industri manufaktur pada kuartal III/2009 dinilai sebagian kalangan tidak normal (anomali) karena realisasi PDB industri pengolahan tumbuh sangat kecil dibandingkan dengan pertumbuhan sektor-sektor usaha lainnya.
Ekonom Universitas Gadjah Mada Sri Adiningsih berpendapat, industri manufaktur dapat tumbuh dengan baik apabila pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sektor ini terhadap berbagai sektor usaha lainnya lebih tinggi.
“Kalau pertumbuhan sektor manufaktur lebih rendah dibandingkan dengan berbagai sektor lain, berarti ada masalah serius,” katanya.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan industri pada kuartal III/2009 hanya 2,8 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan sektor pertanian yang sebesar 7,3 persen, sektor konstruksi (5,5 persen), transportasi dan komunikasi (5,1 persen), dan sektor perdagangan hotel serta restoran (4,6 persen).
Pada periode itu, empat sektor usaha tersebut bahkan mampu tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi yang hanya 4,2 persen. Menurut BPS, kencangnya pertumbuhan sektor pertanian dipicu pertumbuhan yang cukup tinggi pada subsektor perkebunan yang mencapai 26,2 persen.
Pada sisi lain, rendahnya pertumbuhan industri justru dipicu melemahnya ekspor dan masih besarnya ketergantungan terhadap impor barang modal serta bahan baku/penolong. Kondisi ini, lanjut Sri, membuat sektor manufaktur pada kuartal III/2009 tumbuh tak berkualitas.
“Pertumbuhan industri selama kuartal III hanya didorong oleh sektor konsumsi sedangkan tambahan investasi nyaris tidak ada. Pertumbuhan industri seperti ini tidak akan kokoh sehingga rentan mengalami pembalikan pada periode selanjutnya. Terlalu dini jika kita mengatakan industri nasional tumbuh membaik. Konsekuensi sosial ekonomisnya sangat berat,” kata Sri.
Keadaan itu sejalan dengan pemaparan BPS yang menyebutkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III sebagian besar hanya ditopang oleh komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga sebesar 2,6 persen, sedangkan komponen pembentukan modal tetap bruto-yang mencakup investasi-hanya tumbuh 0,9 persen.
Ironisnya, kontribusi ekspor produk manufaktur pada periode itu justru anjlok 4 persen sedangkan impor barang dan jasa tumbuh negatif 7,4 persen. “Pertumbuhan yang hanya didominasi belanja konsumen [domestik] tidak akan bertahan lama menyusul masih tingginya risiko inflasi dan pelemahan daya beli konsumen global yang mengancam pertumbuhan ekspor,” jelasnya.
Pada periode itu, komponen ekspor hanya berkontribusi 23,5 persen terhadap total PDB atas harga berlaku (2009) Rp1.452,5 triliun. Kontribusi itu lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama 2008 sebesar 28,9 persen.

Target Pertumbuhan
Industri manufaktur diperkirakan dapat tumbuh 4,8 persen dalam lima tahun ke depan atau pada 2010-2014. Angka tersebut jauh lebih rendah dari proyeksi berdasarkan potensi pertumbuhan jangka panjangnya yang sebesar 7,5 persen.
Skenario lebih optimistis berdasarkan kecenderungan yang terjadi belakangan memproyeksikan pertumbuhan industri manufaktur rata-rata 5,4 persen per tahun dengan pertumbuhan ekonomi 6,9 persen. Kadin menetapkan target pertumbuhan berdasarkan skenario optimistis tersebut.
Selama periode 2010-2014, industri manufaktur nonmigas akan tumbuh semakin mendekati pertumbuhan PDB. Pertumbuhan industri manufaktur dipacu oleh pertumbuhan industri alat angkut, mesin, dan peralatannya, industri makanan dan minuman, industri pupuk dan industri tekstil dan produk tekstil.
Manufaktur nonmigas ditargetkan berperan makin penting sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi pada 2010-2014 dan industri alat angkut, mesin dan peralatannya dan mamin tetap menjadi andalan pertumbuhan industri manufaktur nonmigas pada 2010-2014.
Adapun tiga misi utama industri nasional pada road map 2015 adalah pertumbuhan ekonomi di atas tujuh persen, peningkatan daya saing produk industri nasional, serta penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan.
Untuk mewujudkan tiga misi utama industri nasional tersebut diperlukan tiga kebijakan strategis berupa restrukturisasi industri nasional (peremajaan mesin dan peralatan untuk meningkatkan produktifitas), reorientasi kebijakan ekspor bahan mentah, dan integrasi pasar domestik untuk memperkuat basis industri nasional.
Pemerintah bertekad menggandakan pertumbuhan industri manufaktur melalui upaya revitalisasi untuk mendorong kinerja ekspor pada tahun depan.
Menurut Menko Perekonomian Hatta Rajasa, pertumbuhan industri manufaktur sekitar 2,67 persen pada kuartal III-2009 masih terlalu rendah. “Sekarang harus cepat didouble- kan,” paparnya.
Pertumbuhan industri manufaktur yang cepat diperlukan untuk merespons kenaikan permintaan impor negara-negara maju pada tahun depan seiring pemulihan ekonomi global.
Industri manufaktur pada kuartal III-2009 hanya tumbuh 0,02 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pertumbuhan ini, terutama tampak pada industri manufaktur berbasis ekspor.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati melihat fenomena ini wajar lantaran permintaan impor dari negaranegara maju anjlok sejak terkena krisis keuangan global.
Hatta berharap pertumbuhan industri manufaktur akan membaik pada kuartal IV-2009. Hatta memperkirakan pertumbuhan ekonomi juga akan mencapai puncaknya pada kuartal IV-2009 dan secara keseluruhan diprediksi mencapai 4,3 persen.
Hatta optimistis target pertumbuhan ekonomi 4,3 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2009 bisa tercapai mengingat konsumsi rumah tangga masih mampu tumbuh di atas lima persen.
Belanja pemerintah juga akan terus naik pada kuartal akhir, termasuk stimulus fiskal. Terkait stimulus, Hatta sudah meminta seluruh kementerian/lembaga penerima stimulus untuk menggenjot penyerapannya.
“Syukur-syukur di atas 95 persen realisasinya, “paparnya.
Sementara itu, Kepala ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, ada peningkatan kepercayaan konsumen selama Oktober lalu terhadap kemampuan pemerintah melaksanakan tugas-tugasnya.
Setelah menurun pada survei sebelumnya, Indeks Kepercayaan Konsumen terhadap Pemerintah (IKKP) naik 0,67 persen menjadi 114,2 pada Oktober. Sedikitnya ada tiga komponen pembentuk IKKP yang tercatat meningkat, yakni indeks yang mengukur kemampuan pemerintah menjaga stabilitas harga, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menjaga keamanan.
Namun, dua komponen lainnya, yakni indeks yang mengukur kemampuan pemerintah untuk menegakkan hukum dan menyediakan sarana umum menurun. Selain itu, dalam risetnya, Danareksa Research Institute menyebutkan, optimisme konsumen terhadap kondisi perekonomian nasional selama Oktober kemarin mengalami penurunan. Disebutkan, Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) pada Oktober turun 0,1 persen dari bulan sebelumnya.
Menurut Purbaya, penurunan tipis tersebut menunjukkan sedikit kekhawatiran konsumen terhadap kondisi perekonomian saat ini.”Kekhawatiran ini terutama terhadap tingginya harga bahan makanan pokok dan makanan jadi,”ujarnya.
Kendati begitu, dia melanjutkan, jumlah konsumen yang mengkhawatirkan tingginya harga bahan makanan semakin berkurang,yakni dari 62,9 persen pada September menjadi 54,2 persen pada Oktober lalu. Tetapi, Purbaya mengingatkan,hal ini tetap menjadi faktor penting yang memengaruhi keadaan ekonomi lokal konsumen dalam tiga bulan terakhir. Dana reksa juga mencatat ada penurunan minat beli konsumen terhadap barang tahan lama dalam enam bulan mendatang.
Hal ini sejalan dengan turunnya ekspektasi ketersediaan lapangan kerja di masa mendatang.Menurut survei, konsumen yang berencana membeli barang-barang tahan lama dalam enam bulan mendatang turun dari 24,8 persen pada September menjadi 22,7 persen Oktober lalu.

Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar