Mengenai Saya

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur didirikan pada tanggal 21 Pebruari 1961 dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 167/SK/XI/66. Tujuan Kami, Mengembangkan Perdagangan Internasional (Ekspor) , Menggiatkan Usaha Kecil dan Menengah ( UKM ) dan Industri, Optimalisasi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia , Meningkatkan Pendapatan Devisa Ekspor Non Migas. Visi dan Misi Kami, Meningkatkan Sumber Daya Manusia , Memperluas Jaringan Pemasaran , Meningkatkan Daya Saing di Pasar Global , Meningkatkan Nilai Tambah Produk Ekspor

23 Desember 2009

Sektor Infrastruktur Yang Memadai, Dukung Pertumbuhan Maksimal Menggaet Investor

Minimnya pembangunan infrastruktur RI, merupakan pekerjaan rumah besar bagi pemerintahan baru. Baik untuk mendukung pertumbuhan maksimal maupun menggaet investor.
Permasalahan utama pemerintahan yang baru, ternyata bukan terletak pada kebijakan ekonomi makro. Namun lebih menyasar ke sektor mikro, terutama dari sisi infrastruktur. “Karena pembangunan infrastruktur ada multiplayer efeknya,” ujar Fauzi Ichsan, Vice President & Economist Standard Chartered.
Multiplayer efek yang dimaksud, adalah tersedianya infrastruktur yang memadai, yang dapat merangsang pembangunan di suatu daerah atau negara. Sekaligus dapat menjadi penentu kelancaran dan akselerasi pembangunan, karena dapat memicu peningkatan investasi. “Kalau infrastruktur tidak memadai, bagaimana investasi bisa naik,” katanya.
Menurut Fauzi, ada beberapa infrastruktur yang kebutuhannya saat ini dirasa cukup mendesak. Seperti pembangunan jalan tol dan pelabuhan yang menjadi gerbang masuknya devisa asing.
Selain itu, belum meratanya pembangunan pembangkit tenaga listrik di Indonesia juga menjadi masalah ekonomi yang perlu diperhatikan. “Pasalnya listrik merupakan motor penggerak roda perekonomian,” tuturnya.
Ia menilai, masalah tersebut harus segera diselesaikan. Para investor terutama investor asing baru akan menanamkan modalnya, jika mendapat kejelasan dari sisi ekonomi. “Indonesia sangat potensial untuk investasi, tapi investor mana yang bersedia menanamkan modalnya jika sarana dan prasarana belum jelas,” tukasnya.
Pemerintah pusat maupun daerah pun diharapkan dapat merapatkan barisan dan bekerjasama dalam pembangunan infrastruktur, termasuk dengan pihak swasta. “Permasalahannya bukan uang, tapi bagaimana pelaksanaannya. Urgensinya itu di pemda,” ujar Fauzi.
Sebelumnya, Bapenas melansir kebutuhan dana untuk pembangunan infrastruktur lima tahun ke depan (2009-2014) diperkirakan mencapai Rp 1.600 triliun. Dari jumlah itu, pemerintah sangat berharap pihak swasta bisa membantu 70 persen dari total kebutuhan dana atau setara Rp 1.120 triliun.
Buruknya kondisi infrastruktur Indonesia diakui Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi. Menurutnya, pembangunan infrastruktur masih jauh tertinggal ketimbang Vietnam dan India.
Tak heran, calon investor enggan menanamkan modalnya di Tanah Air. “Di sini mau menambah kapasitas produksi, tapi listriknya tidak mendukung. Wajar saja kalau investor akhirnya banyak yang pindah ke Vietnam karena tidak perlu menambah biaya,” ujarnya.
Sementara Ekonom Faisal Basri, lebih menekankan pada integrasi ekonomi domestik, sebagai salah satu tantangan dalam pembangunan infrastruktur di masa mendatang. Ia menilai, mekanisme perekonomian nasional selama ini menjadi contoh buruk bagi dunia, “Terutama sebagai negara dengan perekonomian yang paling tidak terintegrasi,” katanya.
Ia pun menyayangkan aksi pemerintah yang berani mengintegrasikan diri dengan perekonomian regional dan global. Padahal ekonomi domestik belum terintegrasi.
“Bayangkan kita menandatangani FTA dengan India, Korsel, Selandia Baru, Australia, Jepang, atau kerangka APEC, tetapi kita mengabaikan integrasi ekonomi domestik kita sendiri,” tukasnya.
Menurutnya, selama model perekonomian domestik belum terintegrasi, Indonesia akan mengalami banyak kerugian dan hambatan, khususnya dalam mengembangkan pasar domestik. Seperti ketika barang produksi dan produk-produk unggulan suatu daerah tidak mampu diperdagangkan di daerah lain. Di sisi lain, produk impor justru lebih dikenal.
“Kondisi tersebut muncul akibat perekonomian antara satu pulau dan pulau lainnya belum terintegrasi dan memicu ekonomi biaya tinggi. Padahal ekonomi lokal merupakan tumpuan utama bagi pertumbuhan produk domestik bruto,” paparnya.
Persoalan tidak berhenti disini. Pasalnya, proyek-proyek infrastruktur di Indonesia ternyata belum memenuhi kaidah internasional, misalkan saja masalah pembebasan lahan.
“Kondisi seperti inilah yang menyebabkan keengganan investor masuk ke proyek pembangunan infrastruktur,” ujar Bambang Susantono, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Menurut Bambang, investor akan masuk selama profil risikonya rendah dan berbiaya lebih murah. Selain itu adanya kepastian untuk menjangkau tingkat profitabilitas. “Untuk terobosan ini menunggu pemerintahan yang baru. Yang jelas, ada yang bertanggung jawab menangani tanah, sharing risiko untuk 5 tahun ke depan,” jelasnya. Infrastruktur yang memadai, memang menjadi faktor krusial dalam peningkatan perekonomian negara. Selain dapat menyerap investasi lebih banyak, pembangunan infrastruktur juga dapat membuka lapangan kerja baru.

Investasi
Indonesia memerlukan peningkatan investasi dalam infrastruktur di industri dan pelayanan serta teknologi baru dan dunia pendidikan untuk mendukung pertumbuhan 7 persen.
Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan, investasi merupakan salah satu kunci untuk lebih kompetitif dalam perdagangan dan menggerakkan usaha kecil dan menengah. “Ini menjadi salah satu kunci untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sekitar 7 persen,” kata MS Hidayat.
Sebelumnya Indonesia kehilangan kesempatan karena terlalu lamban dalam mereformasi Indonesia sebagai tempat investasi. Untuk itu pemerintah Indonesia akan menghapuskan sumbatan dalam perekonomian. Indonesia yang memiliki kekayaan alam dan pertanian diharapkan bisa menolong Indonesia menjadi bagian dari mengatasi krisis global.
Ia mengatakan Indonesia membutuhkan tetap modal Inggris, inovasi, teknologi dan kebutuhan lainnya . Indonesia menginginkan pertumbuhan ekspor ke Inggris. “kita menginginkan investor Inggris melihat Indonesoa sebagai tempat untuk ekspansi tidak hanya pasar domeatik tetapi juga Asia,”ujar Hidayat.
Menteri Perdagangan Inggris Lord Davis mengatakan kerjasama Inggris dan Indonesia perlu ditingkatkan mengingat Indonesia sebagai negara besar. Hadir dalam pertemuan tersebut Menteri Perdagangan Inggris Lord Davis dan Duta Besar Inggris Martin Hatfull.

Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar