Mengenai Saya

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur didirikan pada tanggal 21 Pebruari 1961 dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 167/SK/XI/66. Tujuan Kami, Mengembangkan Perdagangan Internasional (Ekspor) , Menggiatkan Usaha Kecil dan Menengah ( UKM ) dan Industri, Optimalisasi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia , Meningkatkan Pendapatan Devisa Ekspor Non Migas. Visi dan Misi Kami, Meningkatkan Sumber Daya Manusia , Memperluas Jaringan Pemasaran , Meningkatkan Daya Saing di Pasar Global , Meningkatkan Nilai Tambah Produk Ekspor

04 Januari 2009

Utilisasi Industri Manufaktur Turun


Masalah utama industri manufaktur adalah infrastruktur seperti kemacetan dari dan ke pelabuhan, serta kurangnya pasokan listrik dan gas,” kata Fahmi.
Utilisasi rata-rata kapasitas produksi industri barang kayu dan hasil hutan justru turun dari 64,8 persen menjadi 63,5 persen di 2007. Sedangkan utilisasi industri tekstil dan produk tekstil mencapai 75,93 persen, dan 70 persen bagi industri elektronika.
Fahmi mengungkapkan, minimnya pasokan gas untuk industri memicu hengkangnya enam dari sepuluh investor pabrik sarung tangan karet di Sumatera Utara ke Thailand.
“Indonesia tadinya menduduki posisi ketiga produsen sarung tangan karet di dunia setelah Thailand dan Malaysia. Tapi sekarang pabrik sarung tangan karet kita tinggal empat. Mereka hengkang ke Thailand karena memiliki pasokan gas yang mencukupi,” katanya.
Depperin mencatat, selain masalah pasokan gas dan listrik, perlu pembenahan kapasitas dan pelayanan pelabuhan serta kereta api untuk mengatasi kepadatan arus barang untuk ekspor maupun ke pabrik.

Redaksi

Mati Suri
Krisis ekonomi global yang berimbas pada perekonomian Tanah Air belum juga menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Berbagai analisa mengemuka bahwa sektor industri yang pertama akan terkena “palu godam” perlambatan ekonomi.
Anjloknya order-order membuat sektor industri harus memutar otak untuk menggerakkan perputaran uang di sektor ini. Bila tidak, efisiensi dan PHK akan menjadi alternatif terakhir yang tidak diinginkan semua pihak.
Oleh karena itu, pemerintah harus aktif dengan melakukan berbagai stimulus berupa insentif maupun kompensasi bagi sektor industri agar terus berjalan. Laju sektor industri tidak akan semulus sebelum krisis, namun setidaknya bisa untuk menutup biaya operasional dan memberikan sedikit keuntungan.
Pemerintah menyadari kondisi ini. Itu ditandai dengan langkah merevisi target pertumbuhan industri. Departemen Perindustrian menyatakan perlunya revisi target pertumbuhan industri. Untuk target 2008, target direvisi menjadi hanya 4,8 persen dan pada 2009 target pertumbuhan industri kembali melorot ke angka 3,6-4,6 persen.
Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengatakan pihaknya masih menghitung target realistisnya. Untuk angka pastinya akan diumumkan 23 Desember mendatang.
“Melemahnya pertumbuhan industri dan perlambatan ekspansi dipicu krisis keuangan global, penurunan ekspor industri, turunnya ekspansi kredit, serta melemahnya daya beli,” ujarnya di Jakarta, kemarin.
Pertumbuhan sektor industri yang terus menurun sejak 2004 bisa menjadi batu sandungan bagi klaim keberhasilan ekonomi pemerintahan SBY-JK. Pada 2004, pertumbuhan industri mencapai angka 7,4 persen, seiring pertumbuhan waktu angkanya terus melorot pada 2006 menjadi 5,8 persen, di 2005 menjadi 5,3 persen dan 2007 kembali turun menjadi 5,1 persen.
Target 2008 juga diproyeksikan hanya 4,8 persen setelah mengalami revisi yang ketiga. Pada awal tahun, pemerintah sempat menargetkan pertumbuhan industri 2008 sebesar 7,4 persen. Namun, melonjaknya harga minyak dunia periode Mei-Agustus membuat target direvisi menjadi 6,5 persen dan kemudian diubah lagi menjadi 6 persen. Fahmi mengatakan, beberapa sektor industri yang perlu mengalami revisi pertumbuhan meliputi cabang industri tekstil dan produk tekstil (TPT); industri alat angkut, mesin, dan peralatan; industri pupuk, kimia, dan barang dari karet; serta barang kayu dan hasil hutan.
Hingga kini, Departemen Perindustrian memang mencatat berbagai hambatan bagi industri, baik yang berorientasi ekspor maupun domestik. Untuk industri pengekspor, melemahnya pasar di Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Jepang akan membuat persaingan memperebutkan pasar ekspor makin ketat. Terkait beratnya tantangan yang dihadapi sektor industri, pemerintah kini mencoba menjalankan beberapa strategi. Untuk industri berorientasi ekspor, pemerintah kini menyiapkan beberpa program untuk menjaga daya saing, diantaranya dengan peninjauan kembali kenaikan tarif THC (terminal handling charge), mendorong terlaksananya pembangunan dry port di kawasan industri PT Jababeka Cikarang-Bekasi, serta mengurangi ekonomi biaya tinggi dengan percepatan restitusi PPN dan bea masuk.
Strategi lainnya, kata Fahmi, adalah dengan menjaga akses pasar. Caranya dengan negosiasi dan lobi untuk memperkuat distribusi pemanfaatan ritel internasional dalam baentuk MoU antara industri kecil menengah (IKM) dengan ritel global seperti Carrefour (Perancis), Delhaize (Belgia), serta Maruzen dan Takasimaya (Jepang).
Untuk membantu industri yang selama ini membutuhkan bahan baku impor, maka pemerintah berencana memberikan insentif berupa pembebasan bea masuk (bea masuk ditanggung pemerintah/BMDTP) pada 2009 senilai Rp 2,1 triliun.
Fahmi mengatakan, insentif tersebut akan diberikan untuk 10 industri, yakni aluminium sheet, baja, tin plate, susu, kimia, otomotif, elektronika, telematika, kapal, dan alat tulis. ’’Saat ini, insentif sedang kami usulkan ke Menteri Keuangan,’’ katanya.
Sedangkan Wakil Ketua Komisi VI DPR Agus Hermanto mengatakan pihaknya memahami betul kondisi yang dihadapi industri saat ini. Karena itu, Komisi VI mendorong pemerintah untuk sesegera mungkin mengamankan pasar dalam negeri dari ancaman serbuan produk asing.
“Selain itu, kami juga meminta agar pemerintah menstimulasi sektor usaha, baik swasta maupun BUMN untuk memprioritaskan belanja produk-produk dalam negeri,” ujarnya. Langkah-langkah yang diupayakan tersebut harus segera diimplementasikan. Mengingat kondisi krisis sudah di depan mata, keterlambatan pelaksanaan kebijakan akan berdampak fatal bagi roda perekonomian Tanah Air. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar