Mengenai Saya

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur didirikan pada tanggal 21 Pebruari 1961 dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 167/SK/XI/66. Tujuan Kami, Mengembangkan Perdagangan Internasional (Ekspor) , Menggiatkan Usaha Kecil dan Menengah ( UKM ) dan Industri, Optimalisasi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia , Meningkatkan Pendapatan Devisa Ekspor Non Migas. Visi dan Misi Kami, Meningkatkan Sumber Daya Manusia , Memperluas Jaringan Pemasaran , Meningkatkan Daya Saing di Pasar Global , Meningkatkan Nilai Tambah Produk Ekspor

10 Januari 2009

Mendongkrak Harga Kopi Meningkatkan Pendapatan Petani


Kopi memang menjadi komoditas yang paling menarik perhatian dunia. Kopi menghasilkan devisa yang besar bagi negara produsennya. Namun, kenikmatan bagi peminumnya dan keuntungan yang diperoleh dari perdagangan kopi, tak jarang hanya menetes ke bawah.
Petani kopi menjadi kelompok dari mata rantai perdagangan komoditas kopi yang paling tidak diuntungkan. Anjloknya harga kopi dalam beberapa bulan terakhir ini, membuat petani semakin tidak berdaya. Harga kopi ditingkat petani jatuh pada kisaran Rp 3.700/kg, padahal sebelumnya bisa mencapai Rp 7.000-Rp 8.000/kg.
Anjloknya harga kopi ini tidak terjadi satu kali ini saja. Gunjang-ganjing harga kopi terjadi berulangkali. Sebelumnya, keadaan terburuk pernah dialami petani selama 30 tahun terakhir yang hanya menjual kopi seharga Rp 2.500 per kg sedangkan harga dunia mencapai 42 dolar AS sen/kg. Masa keemasan petani yang pernah menjual kopi hingga Rp 15.000/kg sudah berlalu.
Tidak banyak yang bisa dilakukan pemerintah untuk memperbaiki harga. Anjloknya harga kopi tidak lepas dari supply dan demand. Di dunia supply kopi berlebih sedangkan kemampuan penyerapan pasar sangat kecil.
Para petani kopi dan berbagai komoditas hasil bumi andalan ekspor perlu dilindungi menghadapi dampak buruk krisis ekonomi global. Krisis tersebut sangat mungkin segera berimbas ke Jawa Timur, terutama menurunkan harga komoditas ekspor dan penurunan pembelian untuk ekspor ke sejumlah negara tujuan komoditas pertanian dan perkebunan asal Jatim itu.
Direktur Pabrik Pengolahan Kopi PT Golden Harvestindo Drs H Muhammad Zakki, M.Si – dalam bukunya ”Kopi Ekspor Integrasi Industri Hulu-Hilir” mensinyalir, para petani dan pekebun kopi, kakao, coklat dan komoditas perkebunan dan pertanian lainnya di daerah itu, dipastikan akan terkena dampak krisis global yang terjadi saat ini.
Karena itu mereka perlu mendapatkan perlindungan yang memadai dari pemda dan dinas teknis terkait, sehingga tidak merugi dan terpuruk. Menurut Zakki, selain para petani dan pekebun, perlindungan dari dampak krisis global itu juga harus dilakukan terhadap sektor pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan di Jatim umumnya.
Jangan sampai para petani, pekebun dan peternak serta nelayan dan pengusaha di sektor itu di daerah Jatim tidak mendapatkan dukungan perlindungan dari pemerintah sebagaimana mestinya. Padahal mereka selama ini menjadi andalan dan tulang punggung ekspor serta penopang utama ekonomi Jatim.
Oleh karena itu, Ia meminta pemda Jatim segera menyikapi dan mengantisipasi kemungkinan dampak krisis global menerpa petani, pekebun, dan nelayan serta masyarakat di daerahnya.
Disebutkan, pemasaran biji kopi ke luar negeri sejak dua tahun terakhir mengalami penurunan volume ekspor, yakni sekitar 11 persen, yaitu dari 68.219 ton pada 2005 menjadi 60.611 ton pada 2006. Hal ini karena terkurasnya stok kopi yang berada di tangan eksportir, juga lesunya suplay koipi ditingkat lokasi maupun nasional.
Penurunan volume ekspor kopi tidak hanya terjadi di Indonesia, produsen kopi dunia, Vietnam dan Brazil juga mengalami kondisi yang sama akibat iklim yang kurang kondusif.
Meski demikian, kata Zakki pemilik perkebunan sekitar 700 hektar di Tulung Agung, Jatim, terjadi kenaikan nilai ekspor kopi Jatim. Pada 2005 nilai ekspor mencapai 85.777 dolar AS naik sekitar 12 persen dibandingkan tahun sbelumnya 2006 sekitar 76.458 dolar AS.
Kejatuhan harga kopi ini tidak lepas dari lahirnya Vietnam sebagai salah satu produsen kopi terbesar di dunia disamping Brazil. Kopi diekspor secara besar-besaran sehingga terjadi oversupply.

Harga
Untuk mengangkat harga, Indonesia dan Vietnam melalui Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) dan Asosiasi Eksportir Kopi dan Kakao Republik Sosialis Vietnam (Vietnam Cocoa and Coffee Exporters Association/Vicofa) sepakat mengurangi pasokan kopi ke pasar dunia hingga 50 persen sebagai upaya memulihkan harga kopi.
Tentu saja hasilnya belum bisa dilihat sekarang, karena AEKI dan Vicofa belum membuat kesepakatan kapan perjanjian itu akan dilaksanakan dan seperti apa bentuknya.
Namun, harga akan bisa terdongkrak hingga 1 dolar AS/ton. Namun, menilai faktor di dalam negeri, yakni penguatan kurs rupiah terhadap dolar memicu anjloknya harga komoditi ini. Bagaimanapun, kenyataannya harga kopi turus meluncur sedangkan kesepakatan kedua negara untuk dijalankan masih tahap penggodokan.
Sementara gunjang-ganjing harga kopi adalah ulah pedagang spekulan yang tidak menginginkan harga kopi membaik. Setiap kebijakan yang dikeluarkan bertujuan mengangkat harga tidak akan pernah disetujui oleh para pedagang.
“Itu hanya move untuk menakut-nakuti negara produsen supaya harga bisa ditekan. Mereka melepas stok secara besar-besaran. Para pedagang ini jelas menginginkan status quo,” katanya.
Ia menekankan kesepakatan mengurangi ekspor kedua negara tujuannya hanya untuk meningkatkan harga ditingkat petani. Pemerintah akan tegas dalam hal ini, karena tidak ingin petani dikorbankan.
Pengurangan ekspor ini diharapkan akan meningkatkan gairah petani untuk menanam kopi. Apabila harga kopi terus turun akan mendorong petani menghentikan usahanya dan beralih kepada usaha pertanian lain yang lebih menjanjikan.
Kesepakatan ini tidak akan berhenti antara Indonesia dan Vietnam. Supaya harga terbaik bisa diperoleh Brazil akan diikutsertakan dalam kesepatakan itu.
“Sebenarnya dua negara sudah cukup efektif mengangkat harga, karena Vietnam adalah produsen robusta terbesar di dunia. Tapi kita menginginkan harga terbaik bisa diperoleh,”.
Mengatasi krisis kopi, kata Zakki, tidak cukup dengan mengendalikan harga namun harus ada peningkatan mutu dan produktivitas kopi. Bahkan pembinaan para petani kopi melalui pelatihan-pelatihan. Karena dengan sumber daya petani kopi yang rendah apapun program yang dilaksanakan tidak akan mencapai sasaran. Hal itu diakui oleh Zakki, yang menegaskan kopi belum mampu menjadi motor penggerak kesejahteraan petani.
Ancaman terhadap ekspor kopi semakin besar. Tidak hanya pelarangan ekspor kopi bermutu rendah dengan kadar cacat 150/300 gr ke atas, tapi juga ambang batas kandungan jamur OTA yang akan diterapkan negara konsumen akan akhir tahun ini. Belum lagi akan adanya UU Coffee Purity Act (UU Larangan Impor Kopi Mutu Rendah) yang sedang dibahas Senat AS saat ini.
Akibatnya jika berbagai ketentuan ini diberlakukan harga kopi di tingkat petani akan makin tertekan. Sebelum ambang batas itu diterapkan Indonesia harus melakukan antisipasi sejak dini agar kopi yang diekspor kelak tidak sampai ditolak negara konsumen.
Dengan masih terbukanya peluang ekspor kopi mutu rendah berarti masih ada waktu bagi eksportir untuk menutup kontrak-kontrak yang telah disepakati dengan pembeli di luar negeri. Sementara bagi petani dan instansi terkait bisa terus melakukan program-program perbaikan mutu.

Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar